Jakarta, Gesuri.id - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah mengapresiasi upaya Presiden Prabowo menurunkan tarif impor Indonesia ke Amerika Serikat dari 32 persen ke 19 persen.
Namun, dia menilai angka tersebut masih menyisakan beban di sektor industri.
"Dari sisi negosiasi, ya berhasil. Akan tetapi itu adalah cost. Industri kita terbebani. Tidak sedikit 19 persen. Persoalannya bukan 19 persennya. Cara-cara sepihak yang ditempuh itu yang tidak equal dan tidak adil," ujar Said kepada wartawan, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (17/7).
Baca: Ganjar Harap Kepemimpinan Gibran Bisa Teruji
Lebih lanjut, Said juga merespons kekhawatiran masyarakat soal klaim sepihak Presiden AS, Donald Trump yang mendapatkan akses penuh ke Indonesia. Meski begitu, dia mengatakan pemerintah hingga kini, belum melakukan deregulasi terkait investasi asing.
"Dari akses secara umum yang kita baca, tapi pemerintah kan belum melakukan deregulasi terhadap syarat-syarat investasi di kita. Kita lihat nanti, kan tidak setiap investasi direct investment dari luar yang masuk di republik tercinta kita itu kan ada regulasinya. Maka pemerintah akan membuat deregulasi yang menggunakan semua investor," kata dia.
"Tapi tentu ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh investor dari manapun investor datangnya. Dari negara manapun," tambah politikus senior asal PDI Perjuangan itu.
Di sisi lain, soal adanya dugaan pemberian tarif rendah dari AS diduga karena akan menguasai Laut China Selatan, Said menekankan bahwa Indonesia tetap berada di posisi non blok.
Baca: Ganjar Pranowo Ajak Kepala Daerah Praktek Pancasila
"Kalau soal geopolitik, saya pikir Amerika Serikat mau kuasai Laut China Selatan, sama dengan China. Ya kita harus memperkuat ketahanan kita di situ, pertahanan dan keamanan kita. Toh, kita nonblok. Kita punya sikap sendiri. Tapi pada saat yang sama kita punya kewajiban sesuai konstitusi untuk aktif dalam perdamaian dunia," jelas dia.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump resmi mengumumkan penurunan tarif impor bagi barang dari Indonesia menjadi 19 persen, lebih rendah dari angka sebelumnya yang dipatok 32 persen.