Jakarta, Gesuri.id - Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur (Jatim) Sri Untari Bisowarno yang mendukung penuh kebijakan sejumlah kepala daerah di Jatim, dengan meniadakan acara wisuda kelulusan siswa, baik di tingkat dasar maupun menengah.
“Kondisi perekonomian masyarakat saat ini sedang tidak baik-baik saja, jadi sebaiknya ditiadakan saja wisuda kelulusan siswa. Karena akan menambah beban bagi para orang tua,” ungkap Sri Untari, Kamis (8/5).
Baca: Ganjar Ingatkan Presiden Prabowo Segera Ambil Alih Kendali
Penasihat Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jatim itu juga berharap, Dinas Pendidikan Jawa Timur berani mengeluarkan surat edaran untuk pelarangan kegiatan wisuda kelulusan bagi SMA/SMK di Jatim.
“Kita harusnya memiliki sense of crisis di tengah kondisi ekonomi seperti ini, toh itu wisuda bukan hal yang bersifat mutlak. Berbeda dengan di perguruan tinggi, sebab kalau gak ikut wisuda ijazahnya tidak bisa diambil,” terangnya.
Sri Untari menawarkan konsep sederhana namun bermakna, untuk merayakan kelulusan siswa tanpa membebani biaya.
“Kelulusan siswa, sebaiknya cukup dilaksanakan di sekolah dengan cara mengumpulkan seluruh siswa, kemudian mereka yang akan meninggalkan sekolah bersalaman dengan para guru dan adik-adik kelasnya,” jelasnya.
“Saya kira itu sudah keren dan tanpa biaya. Mengingat, jika wisuda di gedung biayanya tidak sedikit. Selain harus sewa gedung, sewa pakaian, make up, makanan dan lain sebagainya. Kalau ditotal tentu akan memberatkan orang tua,” imbuhnya.
Baca: Ganjar Ingatkan Presiden Prabowo Untuk Berhati-hati
Lebih lanjut, selain menyoroti wisuda, Sri Untari juga menanggapi soal kegiatan wisata atau study tour yang sering dibebankan kepada pelajar. Ia menilai urgensi kegiatan ini kurang maksimal, dan sebaiknya tidak diwajibkan oleh sekolah.
“Selain wisuda, Sri Untari juga mendukung program wisata (study tour) pelajar tidak perlu diwajibkan atau didorong karena urgensinya kurang maksimal. Sebaliknya, jika melakukan study banding pihaknya masih bisa mentolelir. Mengingat, karakteristik suatu daerah dengan daerah yang lain tidak sama,” lanjutnya.
Ia mencontohkan kondisi pelajar di kota besar seperti Surabaya, yang mungkin kesulitan memahami dunia pertanian karena keterbatasan lahan.