Ikuti Kami

Mahfud MD: Politik Demokratis Menghasilkan Hukum Berkeadilan

Mahfud menuturkan, dulu dirinya gelisah melihat hukum yang berjalan selalu kalah dengan politik.

Mahfud MD: Politik Demokratis Menghasilkan Hukum Berkeadilan
Menko Polhukam Mahfud MD hadir dalam kuliah umum dengan tema “Menegakkan Konstitusi untuk Terciptanya Kehidupan Demokrasi yang Sehat” yang diselenggarakan di Universitas HKBP Nommensen, Medan, Sumut, Senin (15/1/2024).

Medan, Gesuri.id - Selain produk budaya, hukum juga merupakan produk politik. Warna dan penegakan hukum suatu negara tergantung dengan konfigurasi politik. Untuk mewujudkan hukum berkeadilan, politik harus ditata agar berjalan demokratis dan bermartabat.

Hal tersebut diungkapkan Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam kuliah umum dengan tema ”Menegakkan Konstitusi untuk Terciptanya Kehidupan Demokrasi yang Sehat” yang diselenggarakan di Universitas HKBP Nommensen, Medan, Sumatera Utara, belum lama ini.

Mahfud menuturkan, dulu dirinya gelisah melihat hukum yang berjalan selalu kalah dengan politik. ”Ternyata karena hukum merupakan produk politik. Yang memutuskan undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, gubernur, sampai peraturan terbawah, semuanya politik. Tidak ada hukum yang lahir tanpa proses politik,” katanya.

Menurut Mahfud, ada beberapa teori yang menjelaskan hukum sebagai produk budaya, peradilan, dan hubungan internasional. Namun, dari pengamatan dan penelitiannya, ia menyadari bahwa konfigurasi politik juga turut menentukan karakter hukum. ”Jika politiknya demokratis, hukumnya responsif. Jika politiknya otoriter, hukumnya konservatif,” ujar calon wakil presiden nomor urut 3 itu.

Terdapat dua karakter hukum sebagai hasil dari politik. Politik demokratis ditandai dengan peran partai politik dan DPR yang dominan, pemerintah netral, dan pers bebas. Hasilnya adalah pembuatan hukum yang mengutamakan proses legislatif dan pengadilan, wajah hukum yang aspiratif, dan ada pembatasan intepretasi.

Sementara politik yang otoriter ditandai partai politik dan DPR yang dikooptasi kepentingan, pemerintah yang kerap mengintervensi, dan aktivitas pers yang dibatasi. Hasil dari politik otoriter adalah hukum konservatif dan terbuka akan berbagai intervensi.

Mahfud menilai baik dan demokratis produk hukum yang dilahirkan pada periode 1945–1959. ”Saat itu tidak ada jual-beli politik, jabatan, dan pasal. Hukum dibuat memang untuk rakyat. Politik demokratis dan pemerintah bersikap netral,” katanya.

Namun, ini berubah memasuki era Orde Baru karena pemerintah bersikap otoriter. Pemerintah membuat aturan-aturan berdasarkan kehendaknya sendiri dan bukan untuk kepentingan rakyat. Pengawasan juga lebih ketat. ”Tidak ada kebebasan pers karena perusahaan pers diancam. Kalau mau ’main-main’ ada ancaman dibredel, disita gedungnya, atau tidak mendapatkan jatah kertas. Itu negara otoriter,” kata Mahfud.

Kini, pada era modern, menurut Mahfud, seharusnya tidak ada lagi hukum yang ditafsirkan suka-suka. ”Jika kita ingin hukum jadi panglima, politik harus ditata agar demokratis dan bermartabat. Bukan demokratis tipu-tipu. Kalau (demokrasi) tipu-tipu, nantinya hanya menunggu waktu hingga runtuh,” katanya.

Sumber

Quote