Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi ll DPR RI, Aria Bima, menegaskan pentingnya menjaga tradisi sekaten sebagai warisan budaya yang mengandung nilai sejarah, spiritualitas, dan gotong royong.
Menurutnya, sekaten adalah cerminan kekayaan budaya Nusantara yang harus terus dilestarikan.
"Kawan-kawan, sekaten selalu dimulai pada tanggal lima mulut. Seminggu penuh gamelan dimainkan di pelataran Masjid Gede atau Masjid Agung. Yang menghadirkan suasana yang tak sekedar khidmat, tapi juga membangkitkan kenangan akan suara zaman," kata Aria Bima, dikutip pada Sabtu (20/9/2025).
Ia menjelaskan bahwa puncak perayaan ditandai dengan prosesi sakral yang melibatkan masyarakat luas.
"Di puncaknya Gerbek Marut menghadirkan gunungan berisi hasil bumi dan berkah keraton diarak sebagai lambang rahmat dan kegotong royongan. Tentang gerbek, keraton mengenal tiga yang utama. Yang pertama Gerbek Poso bersamaan dengan Idul Fitri. Yang kedua Gerbek Besar bersamaan dengan Idul Adha. Dan yang ketiga Gerbek Marut bersamaan dengan Marut Nabi," jelasnya.
Aria Bima mengingatkan bahwa Grebeg dahulu memiliki makna politik yang signifikan.
"Pada masa lalu, Gerbek ditandai dengan pisuanan ageng. Saat para bupati dari wilayah macan negara menghadap raja, menyerahkan upeti sebagai tanda kesetiaan. Setelah prosesi usai, gamelan kembali ke keraton, laksana doa yang pulang ke pangkuan langit," ungkapnya.
Ia menekankan bahwa sekaten bukan hanya hiburan masyarakat, tetapi sarat makna filosofis.
"Namun sekaten bukanlah sekedar pesta bunyi, ada filosofis dibalik namanya. Ada yang menyebut dari kata sukacita, artinya kegembiraan menyambut iman baru. Sekaten ada pula yang mengkaitkan dengan seksek hati. Hati yang sesak karena meninggalkan keyakinan lamanya berganti dengan yang baru," paparnya.
Menurutnya, tafsir paling diyakini dari tradisi ini terkait erat dengan ajaran Islam.
"Tapi tafsir yang paling diyakini menyebut sekaten sebagai lidah Jawa, melafalkan syahadat Ain, dua kalimat syahadat inti dari perayaan ini," pungkasnya.