Jakarta, Gesuri.id - Di awal abad ke-20, ketika tanah air masih terbelenggu dalam penjajahan, seberkas cahaya muncul dari ruang-ruang pendidikan pribumi. Cahaya itu bernama Budi Utomo — sebuah organisasi pemuda yang menjadi tonggak awal kebangkitan nasional Indonesia.
Didirikan oleh Soetomo bersama rekan-rekannya dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), yakni Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji, organisasi ini lahir dari gagasan luhur dr. Wahidin Sudirohusodo — seorang dokter yang meyakini bahwa kemerdekaan sejati berawal dari kecerdasan bangsa.
Seperti dicatat dalam buku “Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, dari Budi Utomo sampai dengan Pengakuan Kedaulatan” terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1977), masa itu menandai titik mula lahirnya berbagai organisasi yang berani memimpikan kemerdekaan. Namun, sebagian besar organisasi masih bersifat lokal, bergerak di bidang sosial dan budaya, belum menyentuh cita-cita nasional.
Awal Lahirnya Kesadaran Nasional
Setelah tahun 1900, muncul golongan elit intelektual — anak-anak bangsa yang mendapat pendidikan Barat dan mulai menatap dunia dengan kesadaran baru. Mereka sadar, penjajahan bukanlah takdir, dan persatuan adalah kunci kebangkitan. Dari kesadaran itu, lahirlah Budi Utomo, organisasi yang bertekad mencerdaskan bangsa dan menumbuhkan rasa harga diri sebagai manusia Indonesia.
Perkumpulan ini secara resmi berdiri pada 20 Mei 1908, sebuah tanggal yang kelak dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sebelum berdirinya, telah terjadi pertemuan bersejarah antara dr. Wahidin Sudirohusodo, R. Soetomo, dan M. Soeradji di gedung STOVIA pada akhir tahun 1907. Dalam pertemuan itu, Wahidin menggulirkan gagasan mulia tentang “studiefonds” — dana pendidikan bagi anak-anak pribumi yang cerdas namun kurang mampu.
“Jika bangsa ini terdidik, maka ia tidak mudah diperdaya,” ujar Wahidin dalam semangat yang kelak menggugah nurani para pelajar muda. Ide itu disambut hangat oleh Soetomo dan rekan-rekannya. Mereka sadar: perjuangan harus dimulai dari kecerdasan dan martabat bangsa sendiri.
Berdirinya Budi Utomo dan Semangat Kaum Terpelajar
Dengan semangat yang membara, Soetomo mengumpulkan rekan-rekannya di Ruang Anatomi STOVIA — tempat sederhana yang menjadi saksi lahirnya organisasi besar. Dari ruang itulah, suara-suara muda yang haus perubahan memutuskan mendirikan Perkumpulan Budi Utomo, sebagai wadah perjuangan sosial, ekonomi, dan budaya.
Susunan pengurus pun dibentuk, dengan R. Soetomo sebagai Ketua, M. Soelaiman sebagai Wakil Ketua, serta nama-nama pelajar STOVIA lainnya yang kelak menjadi tokoh bangsa. Mereka menuliskan cita-cita dalam Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Budi Utomo — sebuah langkah kecil, tapi bernilai besar dalam sejarah bangsa.
Kongres Pertama dan Semangat Persatuan
Pada 3–5 Oktober 1908, Budi Utomo menggelar Kongres Pertama di Yogyakarta. Dari kongres inilah organisasi tersebut mulai berkembang menjadi gerakan nasional yang lebih luas. Kantor pusat ditempatkan di Yogyakarta dengan ketua RT A. Tirto Kusumo dan wakilnya dr. Wahidin Sudirohusodo.
Para pelajar STOVIA yang menjadi pendiri Budi Utomo dengan lapang dada menerima keputusan itu. Mereka sadar, perjuangan tidak berhenti pada siapa yang memimpin, melainkan pada semangat yang menyala di dada setiap pemuda Indonesia.
Tak lama kemudian, cabang-cabang Budi Utomo bermunculan di berbagai daerah. Suara kebangkitan mulai bergema dari Jawa hingga luar pulau, menyatukan semangat bangsa yang selama ini tercerai-berai.
Lambat Tapi Pasti: Filosofi Pohon Beringin
Budi Utomo memang bergerak dengan hati-hati. Organisasi ini memilih jalur sosial-budaya daripada politik langsung. Banyak yang menilai lamban, namun mereka teguh memegang prinsip: “Biar lambat asal selamat, daripada hidup sebentar mati tanpa bekas.”
Mereka mengibaratkan perjuangan seperti pohon beringin — tumbuh perlahan, namun kokoh dan menaungi banyak orang. Prinsip ini membuat Budi Utomo bertahan lama, dari tahun 1908 hingga 1926, menjadi sekolah pertama bagi lahirnya generasi pemimpin bangsa.
Namun, tak semua sepakat dengan jalan itu. Tokoh-tokoh seperti dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) akhirnya memilih keluar, menempuh jalannya sendiri yang lebih revolusioner. Dari sana, muncul gelombang baru perjuangan politik yang lebih tegas dan lantang.
Perubahan Arah ke Pergerakan Politik
Setelah dr. Soetomo pulang dari Belanda, semangatnya semakin menyala. Pengalaman memimpin Perhimpunan Indonesia di negeri penjajah menegaskan keyakinannya bahwa bangsa ini harus bergerak lebih jauh — dari sosial-budaya menuju politik kebangsaan.
Ia pun mendirikan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dan mendorong perubahan arah perjuangan Budi Utomo. Hingga akhirnya, pada 24–26 Desember 1935 di Solo, Budi Utomo bergabung dengan PBI membentuk Partai Indonesia Raya (Parindra) — tonggak penting dalam perjuangan menuju kemerdekaan.
Warisan yang Tak Pernah Padam
Budi Utomo mungkin bukan organisasi politik pertama, tetapi dialah api pertama yang menyalakan bara kesadaran kebangsaan. Dari sinilah rakyat Indonesia belajar tentang persatuan, harga diri, dan arti perjuangan tanpa kekerasan.
Warisan Budi Utomo hidup dalam setiap pemuda yang berani bermimpi tentang Indonesia merdeka.
Dan setiap tanggal 20 Mei, ketika bangsa ini memperingati Hari Kebangkitan Nasional, sejatinya kita sedang menundukkan kepala pada semangat luhur para pemuda STOVIA — yang dengan pena, pikiran, dan keberanian, menyalakan cahaya pertama di tengah kegelapan penjajahan.
Boedi Oetomo memang bergerak di bidang sosial, budaya, dan pendidikan, bukan politik. Namun, di balik sikap yang tampak lembut itu, tersimpan tekad baja: mencerdaskan, mempersatukan, dan membangkitkan kesadaran kebangsaan. Filosofinya diambil dari pohon beringin—tumbuh perlahan, berakar kuat, dan menaungi siapa pun yang berteduh di bawahnya.
Semangat Budi Utomo ini kemudian menjadi inspirasi generasi muda yang melahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Jika Budi Utomo adalah fajar kebangkitan, maka Sumpah Pemuda adalah matahari yang bersinar terang di langit perjuangan bangsa. Dari kesadaran kultural menuju kesadaran nasional, dari “kami orang Jawa” menjadi “kami bangsa Indonesia”.
Warisan Budi Utomo tidak berhenti pada organisasi, tetapi hidup dalam semangat setiap anak muda yang mencintai tanah air. Ia menanamkan keyakinan bahwa kemerdekaan tidak lahir dari pemberian, melainkan dari kesadaran dan persatuan.
Dan setiap kali kita memperingati Hari Sumpah Pemuda setiap tanggal 28 Oktober, sesungguhnya kita sedang menyalakan kembali api yang pertama kali dinyalakan oleh Budi Utomo—api yang membakar jiwa muda Indonesia untuk terus berani bersatu, berjuang, dan berkarya bagi Ibu Pertiwi.
*Tulisan ini merupakan rangkaian kegiatan Merah Muda Fest 2025 untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda 2025 yang akan diselenggarakan, Selasa 28 Oktober 2025 di Sekolah Partai DPP PDI Perjuangan Jakarta dan Sabtu 1 November 2025 di GOR Among Rogo Yogyakarta.
#MerahMudaFestival #MerahMuda #SumpahPemuda