Ikuti Kami

Ratu Shima, Manifestasi Kesetaraan Gender Nusantara

Indonesia atau nusantara telah memiliki rekam jejak penerapan kesetaraan gender sejak abad ke-7. 

Ratu Shima, Manifestasi Kesetaraan Gender Nusantara
Dari kiri ke kanan: Kanti W. Janis, Putut Budi Santosa (Chiva Production), Lucky Wijayanti (Dosen IKJ).

Jakarta, Gesuri.id - Sekjen Satu Pena, Kanti W Janis, mengungkapkan bahwa Indonesia atau nusantara telah memiliki rekam jejak penerapan kesetaraan gender sejak abad ke-7. 

Tepatnya, tatkala Ratu Shima naik tahta di Kalingga, sebuah kerajaan yang kini termasuk dalam wilayah Jepara, Jawa Tengah. 

Baca: Daripada Urus Poligami, Aceh Perdakan Kesetaraan Gender

Hal itu dikatakan Kanti menjadi pembicara dalam acara "Road to Shima Ratu Adil 2020" di Museum Seni & Keramik, Kota Tua, Jakarta, Kamis (12/9). 

Kanti menjelaskan, berdasarkan catatan para penjelajah Tiongkok, Kalingga atau Ho-Ling adalah kerajaan yang sangat indah dan rakyatnya sangat jujur. Semua itu berkat kepemimpinan ratunya yang agung, yakni Ratu Shima. Dia naik tahta Kerajaan Kalingga setelah suaminya meninggal pada tahun 674 M hingga 692 M. 

"Keberadaan dan kiprah Ratu Shima menunjukan bahwa di Nusantara isu emansipasi perempuan sebenarnya tidak pernah menjadi masalah. Prasasti-prasasti kuno juga menunjukkan bahwa pada periode abad 7-15, lelaki maupun perempuan bisa menjadi raja," kata Kanti, yang juga anggota Balitbang DPP PDI Perjuangan ini. 

Karena itu, lanjut Kanti, pembahasan Ratu Shima sangat penting ketika gerakan kesetaraan gender seakan diam di tempat, bahkan mengalami kemunduran. Kanti prihatin bahwa di masa kini kampanye-kampanye yang melarang perempuan bekerja, atau menolak perempuan menjadi pemimpin masih cukup kencang. 

Dan tragisnya orang-orang yang melontarkan kampanye itu mengatakan gerakan keseteraan gender menabrak tradisi dan budaya nusantara. Padahal, fakta sejarah tentang Ratu Shima menunjukkan bahwa kesetaraan gender telah dipraktikkan ribuan tahun lalu di tanah Indonesia. 

"Sejarah Ratu Shima seperti sengaja dipendam, tidak diajarkan di sekolah-sekolah. Padahal keberadaan Shima adalah bukti bahwa sejak abad ke-7, di tanah nusantara telah ada Raja perempuan yang disegani sampai ke negeri lain. 
Kisah Shima akan membuka sejarah pemimpin-pemimpin perempuan lain milik Nusantara," ungkap  Kanti. 

Kanti pun mengungkapkan kesetaraan gender tidak hanya terjadi di pulau Jawa pada masa lalu, tapi juga di kawasan lain seperti Sumatera dan Sulawesi. Kanti mencontohkan yang menyalin karya sastra kuno terpanjang dari Sulawesi Selatan, I La Galigo, dari lisan menjadi tulisan adalah seorang perempuan bernama Colliq Pujié. Dan di Aceh, pada abad 14 sudah ada Laksamana perempuan pertama di dunia, Malahayati.

"Pergeseran peran perempuan seolah harus di bawah laki-laki itu baru terjadi secara masif saat masuknya kolonialisme Eropa dan agama samawi, lalu semakin terpukul sejak Diponegoro kalah dalam Perang Jawa.  Kartini itu khan muncul di periode sesudah Perang Jawa. Jadi yang melarang perempuan sekolah, keluar rumah dan sebagainya, itu sebenarnya memori kolektif Barat, Timur Tengah, dan India" ungkap Kanti. 

Baca: 21 Tahun Reformasi, Budiman: Raih Kesetaraan dan Kemajuan

Kanti pun menegaskan, saat ini ketika berbicara emansipasi perempuan, bangsa Indonesia harus memakai memorinya sendiri.  Bukannya menggunakan memori negara-negara Barat ataupun Timur Tengah. 

"Kita harus kembalikan memori kesetaraan gender di Nusantara. 
Jika sedang bicara tentang persamaan hak, saya sedang bicara tentang pengalaman nenek moyang saya. Karena sejatinya di Nusantara baik perempuan maupun lelaki merdeka menjadi apapun yang mereka inginkan," tegas Kanti.

Quote