Ikuti Kami

Basarah dan Ijtihad Pengujian UU Berdasarkan Pancasila

Oleh: Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP), Syaiful Arif.

Basarah dan Ijtihad Pengujian UU Berdasarkan Pancasila
Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah.

Jakarta, Gesuri.id - Sebagai dasar negara, ideologi negara, dan khazanah intelektual bangsa, Pancasila telah lama diabaikan. Itulah sebabnya persoalan-persoalan fundamental dari dasar negara kita ini belum banyak dirumuskan.

Salah satu persoalan fundamental itu adalah penempatan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum, yang tidak terhenti pada dimensi normatif tetapi juga prosedural-konstitusional.

Artinya, ketika Pancasila telah ditetapkan sebagai dasar negara dengan konsekuensi menjadi sumber segala sumber hukum, maka langkah-langkah yuridis untuk melaksanakan hal itu, seharusnya telah lama kita lakukan. Salah satu langkah yuridis itu ialah penempatan Pancasila sebagai tolok ukur bagi pengujian undang-undang (UU) atau judicial review terhadap Undang-Undang Dasar (UUD).

Hanya dengan melakukan hal ini, maka status Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum bisa terwujud.

Baca: Berikut 10 Fakta Menarik Pancasila

Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah sangat concern dengan hal ini. Itulah mengapa pada 2016, ia merumuskan hal ini melalui karya akademik dalam bentuk disertasi program doktor ilmu hukum di Universitas Diponegoro.

Disertasi tersebut berjudul, Eksistensi Pancasila sebagai Tolok Ukur dalam Pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945 di Mahkamah Konstitusi: Kajian Perspektif Filsafat Hukum dan Ketatanegaraan.

Melalui disertasi itu, Basarah telah mengembangkan ijtihad dalam wacana hukum Indonesia. Sebagaimana terminologinya dalam hukum Islam, ijtihad adalah inisiatif rasionalitas manusia untuk menggagas kebaruan hukum.

Dalam hukum Islam, ijtihad dilakukan untuk menerapkan nash (Al Quran dan hadist) ke dalam konteks kehidupan masyarakat baru, yang secara tekstual tidak diatur oleh nash. Akan tetapi, hukum Islam itu sendiri menyediakan metodologi, baik dalam bentuk qiyas maupun ijma’, sehingga nash bisa dikonstruksikan untuk melahirkan hukum baru.

Dalam konteks hukum modern, Basarah telah melakukan ijtihad dengan menempatkan Pancasila sebagai “teks suci” yang dijadikan pijakan bagi pengujian terhadap UU. Disebut ijtihad, karena pemikiran Basarah ini merupakan inovasi dan kebaruan mengingat hingga kini pengujian UU baru terhenti pada UUD, bukan kepada Pancasila.

Melampaui konstitusi

Dalam menyusun argumentasinya, Basarah berangkat dari teori Pancasila sebagai norma dasar negara (grundnorm), berdasarkan gagasan Hans Kelsen. Pijakan teoretis ini memiliki dampak serius bagi kajian kepancasilaan secara umum.

Mengapa? Karena penempatan Pancasila sebagai grundorm berbeda dengan pemahaman umum status yuridis Pancasila yang selama ini berkembang.

Misalnya, status yuridis Pancasila yang dikembangkan filsuf hukum Pancasila, Prof. Notonagoro yang menempatkan Pancasila sebagai kaidah fundamental negara (staatfundamentalnorm) berdasarkan gagasan Hans Nawiasky. Berdasarkan pijakan teoretis ini, maka Notonagoro, dan sebagian besar ahli hukum tata negara menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

Ini dikarenakan pemahaman yang menyatakan bahwa staatfunfamentalnorm itu sendiri ialah Pembukaan UUD 1945. (Notonagoro, 1957: 9)

Hal ini berbeda dengan Basarah yang berpijak dari teori grundnorm. Menurut Basarah, sebagai grundnorm, Pancasila tidak termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Mengapa? Karena grundnorm bersifat meta-legal, melampaui konstitusi.

Sebagai norma dasar yang melandasi konstitusi dan peraturan perundang-undangan, Pancasila tidak berada di dalam konstitusi. Artinya, ia tidak terletak di dalam konstitusi, dalam hal ini, Pembukaan UUD yang merupakan bagian dari konstitusi.

Lalu apakah lima nilai yang termuat di alinea keempat Pembukaan UUD yang selama ini kita kenal dengan Pancasila? Lima nilai tersebut, menurut Basarah adalah “rumusan sila-sila” Pancasila, tetapi bukan eksistensi Pancasila sebagai norma dasar negara.

Pemahaman bahwa Pancasila tidak termuat dalam Pembukaan UUD oleh Basarah, didasarkan pada beberapa argumentasi. Pertama, berdasarkan konsep teoretis tentang norma dasar negara (grundnorm) yang bersifat meta-yuridis, melampaui konstitusi.

Berangkat dari stufenbautheorie yang disusun Hans Kelsen, Basarah menempatkan Pancasila sebagai norma dasar yang “mengatasi” norma hukum di bawahnya. Sebagai norma dasar negara, Pancasila bukan bagian dari peraturan perundang-undangan (algemene venbindende voorschrifften), melainkan sumber dari segala sumber (source of the source) dari semua tatanan peraturan perundang-undangan (Basarah, 2017: 67-68).

Dalam sistem hukum Indonesia, penempatan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum yang merupakan penerapan dari status Pancasila sebagai norma dasar negara, menurut Basarah telah terwujud secara historis.

Penempatan tersebut tertuang dalam; (1) TAP MPRS RI No. XX/MPRS/1966 tahun 1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tata Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI; (2) TAP MPR RI No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan; (3) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan (4) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), sebagaimana diubah oleh UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua terhadap UU No. 12 Tahun 2011 tentang PPP.

Lebih lanjut, Basarah menjelaskan pemahaman Pancasila sebagai sumber segala sumber ini berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang PPP. Pada satu sisi, UU ini tidak menempatkan Pancasila sebagai bagian dari hierarki norma hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 ayat (1), di mana hierarki norma hukum meliputi; UUD NRI 1945, Ketetapan MPR, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam hierarki norma hukum ini, tidak terdapat Pancasila. Pada saat bersamaan, UU PPP tersebut menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang PPP. Artinya, UU tersebut sudah tepat meletakkan Pancasila sesuai statusnya sebagai norma dasar negara, bukan sebagai norma hukum.

Kedua, berdasarkan fakta hukum bahwa Pembukaan UUD ditetapkan sebagai bagian dari UUD. Hal ini ditetapkan dalam ketentuan Aturan Tambahan Pasal II UUD 1945 yang berbunyi, “Dengan ditetapkannya perubahan UUD ini, UUD Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.”

Dari aturan ini bisa dipahami bahwa jika Pancasila terdapat dalam Pembukaan UUD, sedangkan Pembukaan merupakan bagian dari konstitusi, maka Pancasila merupakan bagian dari konstitusi. Hal ini tentu bertentangan dengan status Pancasila sebagai norma dasar negara yang melampaui konstitusi.

Baca: Hari Lahir Pancasila, Pemikiran dan Pandangan Bung Karno

Dalam kaitan ini proses amandemen terhadap UUD memang tidak merambah pada Pembukaan. Sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 yang membatasi perubahan terhadap UUD hanya terhadap pasal-pasalnya, yakni, “Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari anggota MPR.”

Namun menurut Basarah, karena ketentuan tersebut terdapat dalam pasal, maka ketentuan tersebut bisa diubah berdasarkan mekanisme dalam Pasal 37 ayat (1) UUD itu sendiri. Artinya, jika 1/3 anggota MPR sepakat mengubah ketentuan perubahan UUD termasuk perubahan Pembukaan, hal tersebut bisa terjadi. Jika hal ini terjadi, maka Pancasila yang diasumsikan terdapat dalam Pembukaan pun berubah. (Basarah, 2017: 68-71)

Menurut Basarah, perubahan ini pernah terjadi dalam sejarah konstitusi kita. Yakni dalam Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950), di mana rumusan sila-sila Pancasila mengalami perubahan dari rumusan UUD 1945.

Di Pembukaan Konstitusi RIS, sila-sila Pancasila berbunyi; Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan sosial. Dalam Pembukaan UUDS 1950 pun rumusan sila-sila tersebut sama dengan Konstitusi RIS.

Quote