Ikuti Kami

Mencari Cita-cita Kolektif Pemuda : Sebuah Panggilan Bergerak

Oleh : Ketua DPC TMP Kota Surabaya, Aryo Seno Bagaskoro. 

Mencari Cita-cita Kolektif Pemuda : Sebuah Panggilan Bergerak
Ketua DPC TMP Kota Surabaya, Aryo Seno Bagaskoro. 

Jakarta, Gesuri.id - Sudah lebih dari dua puluh tahun sejak dunia menyambut datangnya millenium baru yang dinanti-nanti. Sudah tahun ke-23 sejak pertama kali kalender Masehi menginjak angka 2000.

Sudah lebih dari duapuluh tahun sejak dunia bersorak sorai. Menyambut lahirnya sinar pertama dunia baru, yang meski digelayuti kekhawatiran dan tantangan baru, namun mengandung segenggam optimisme bahwa hari esok akan lebih baik.

Pijar harapan itu tidak hanya terpancar, tetapi juga terpatri melalui bergantinya hitungan abad. Ada alasan monumental yang dapat dijadikan pelatuk, moment of truth untuk me- restart semuanya, yakni pergantian abad.

Kita tahu, sebelumnya dunia telah melalui terowongan panjang abad ke-20 yang kental dengan peperangan, pergolakan, revolusi, perumusan formulasi tata dunia yang ajeg dan membawa gemah ripah loh jinawi, dalam rangka mencari jati diri peradaban.

Baca: Bang Dhin Gelar Sosialisasi Perda Tentang Kepemudaan

Pergulatan pemikiran menghiasi pertempuran antar multi-peradaban. Isme-isme tumbuh sembari pertentangan antar kekuatan besar sibuk memperluas rentang dominasinya demi menguasai sumber daya dan wilayah.

Warna itu menyesakkan seluruh dunia, meski di saat yang sama mendorong dunia untuk bergerak maju selangkah demi selangkah. Umat manusia menanti semburat warna baru si cakrawala transisi peradaban.

Di momen transisi sejarah itu, beragam peristiwa betul-betul terjadi. Indonesia merontokkan kuku kekuasaan Orde Baru dari pori-porinya. Tembok Berlin yang memisahkan dua hati kehidupan rakyat Jerman diruntuhkan. Di seluruh dunia ada gegap gempita dan euphoria tentang semangat membangun tatanan dunia yang lebih manusiawi.

Pencarian akan jalan tengah atau The Third Way dari pertempuran antar dua ideologi besar : isme kapital dan isme sosial, terus diperbincangkan. Pertarungan beragam ideologi yang menggelombang kemudian perlahan mengkristal menjadi satu isme, humanisme. Dunia menginginkan sebuah tata kelola yang berbasis persaudaraan antar manusia.

Cahaya abad ke-21 bersinar, berkelap-kelip, terang benderang. Bangunan peradaban kemakmuran dibangun bata demi bata, teknologi informasi digital menjadi pavingnya.

Dari situ kemudian Internet menjadi booming, informasi tidak lagi menjadi variabel sumber kekuatan, ia menjadi nilai kebutuhan. Perangkat-perangkat ini mewarnai corak khas abad yang ajaib ini. Kultur baru tumbuh : Orang ingin dapat terhubung setiap saat.

Perkembangan itu melahirkan kedalaman riset tentang algoritma, tentang cloud, dan Big Data. Internet tidak lagi menjadi sarana, ia meresap dalam setiap sendi kehidupan mamusia secara gradual.

Saat semua hal ini terjadi, manusia terus menambah populasi. Generasi baru lahir, menciptakan sebuah angkatan kelompok manusia yang kemudian disebut-sebut sebagai Generasi Z, adik kandung Generasi Millenial.

Di dalam suasana kebatinan dunia yang jengah terhadap perang dan sedang gandrung terhadap "mainan baru" teknologi digital, generasi Z lahir dan eksis.

Kaum ini menjadi penghuni asli,indigenous people, dari abad baru yang dinanti-nanti itu. Tidak hanya asli, generasi Z adalah penumpang pertama.

Jika di dalam pemikiran tentang geopolitik Bung Karno mengingatkan bahwa orang dan tempat tidak boleh dilepaskan, maka dalam konteks geo-demografi, orang dan waktu tidak bisa terpisah.

Maka di satu sisi, watak dan karakter generasi Z tidak bisa dilepaskan dari konteks jamannya. Situasi kebatinan yang disebut di atas menjadikan generasi ini sebagai kelompok usia yang tinggal dalam habitat dunia digital. Generasi Z piawai betul cara mengakses dan mengoperasikan handphone, komputer, tablet dan segala aplikasi di dalamnya.

Mereka mengakses informasi dan keterhubungan dari situ. Isolasi dari situasi itu dapat menyebabkan rasa cemas. Istilahnya, Fear of Missing Out (FOMO).

Sebagai imbas, situasi keterhubungan ini membuat generasi muda ini menormalisasi kedamaian dan toleransi sebagai nilai-nilai universal, satu hal yang anomali terjadi sekian puluh tahun sebelumnya.

Jika di masa lalu perbedaan pemikiran, latar belakang, dan kelompok disikapi dengan pertempuran fisik, di masa kini yang terjadi adalah perbedaan disikapi dengan pertempuran like, komen, dan share. Tetap ada potensi terjadi kekerasan digital, misalnya doxing, cyberbullying, juga peretasan-peretasan. Tapi peperangan fisik tidak lagi populer.

Hal ini mungkin juga didorong oleh tuntutan dunia, dimana populasi manusia makin padat dan perebutan sumber ekonomi semakin sulit. Secara alamiah, anak-anak muda dijejali dengan tuntutan untuk bersaing secara agresif dalam hal akademik, segera lulus pendidikan formal, kemudian mencari pekerjaan yang menghasilkan. Menikah bahkan tidak lagi menjadi sangat urgen di saat kepastian sulit dicari. Sebab menikah identik dengan tanggung jawab.

Dalam dunia yang sangat kompetitif tersebut, tentu saja generasi Z tidak sempat ingin untuk berperang. Untuk apa berperang apabila hidup tenang-tenang saja tidak menjamin kepastian? Untuk apa berperang jika tiap hari scroll Tiktok dan posting sekali dua kali sudah bisa memengaruhi kebijakan politik pemerintah?

Di satu sisi, semua bisa dilakukan dan dicapai dengan instan, memotong proses. Tapi di sisi lain, kultur instan tersebut tak serta merta datang sepaket dengan jaminan atas kepastian. Ada missing link disini.

Dunia yang serba terhubung dan di saat yang sama tidak menjamin kepastian akan masa depan membuat segala isme-isme yang mengandung risiko atas kenyamanan ditinggalkan.

Apalagi dengan perkembangan teknologi yang pesat, didukung oleh kapitalisme yang ekspansif, berbagai ketersediaan produk kian memanjakan seluruh sendi hidup.

Individualisme tumbuh. Pragmatisme tumbuh. Prinsip dan idealisme sekali-sekali diteriakkan saat penerimaan mahasiswa baru.

Ada perdebatan tentang "idealisme" yang luntur ini. Generasi ayah ibu dan kakak-kakak memandang bahwa Gen Z kehilangan spirit juang akan idealisme. Prinsip dan sikap dianggap tidak lagi menjadi hal penting.

Katakanlah tuduhan tersebut mengandung kebenaran, apakah salah? Tidak serta merta.

Masalahnya : idealisme macam mana lagi yang bisa kita teriakkan di abad yang agung dan gilang gemilang ini? Bukankah peradaban instan semacam inilah yang kita sepakati untuk muliakan bersama-sama? Bukankah setting dunia pasca millenium lama memang menuntut anak-anak muda untuk cepat lulus, cepat kerja, cepat nikah, cepat dapat kepastian? Bukankah idealisme memang selalu mengandung ketidakpastian nasib di kala jaman menuntut segala hal yang berbau cepat dan pasti?

Andaikata bukan ini setting wajah abad ke-21 yang kita inginkan, maka mungkin sudah saatnya kita duduk bersama dan membuat sebuah kesepakatan baru tentang roadmap masa depan secara kolektif.

Sebagai penghuni asli, rona wajah abad ke-21 akan dibentuk oleh generasi Z. Akan jadi cantik dan glowing atau jadi penuh luka dan mudah menua, semua tergantung kehendak dan tekad generasi ini.

Ada tanggung jawab di pundak generasi ini akan keberlangsungan hidup manusia dan segala isi bumi di masa yang akan datang. Tidak sekarang, tapi puluhan hingga ratusan tahun ke depan.

Beruntungnya, di tengah pesta pora abad ke-21 yang penuh glorifikasi akan kemajuan, kita diingatkan oleh alam dengan cara yang sangat memilukan. Beberapa peneliti menyebutnya siklus seratus tahunan, sebab tepat seratus tahun lalu dunia pernah menghadapi urusan serupa.

Pandemi Covid-19 terjadi selama beberapa waktu yang telah kita lewati, memporakporandakan dua sektor utama : kesehatan dan ekonomi. Kemudian berimbas pada sektor sosial, budaya, pendidikan, politik, seluruhnya.

Di dalam momentum tersebut naluri dasar kita sebagai makhluk hidup diganggu, yaitu : insting bertahan hidup. 

Sebagai satu kelompok populasi spesies Homo Sapiens, Kita diingatkan bahwa seberapa hebatnya kita sudah dan sedang terus mencapai kemajuan-kemajuan ala kita, ada hal-hal dasar yang tak bisa kita abaikan dalam hidup bersama-sama secara koeksistensial.

Generasi Z yang disebut-sebut individualis, pragmatis, anti-idealisme dipaksa berkenalan dengan nilai-nilai yang lebih kuno kalau boleh disebut fundamental, yaitu : gotong royong dan kolektivisme.

Dua nilai itu menjadi nilai yang mujarab untuk membebaskan dunia dari "peringatan" pandemi. Ibarat kita sedang gaspol berlari kencang, kita diminta untuk tarik kopling dan tata ulang haluan. Nilai-nilai kolektivisme jadi agak populer.

Tuntutan untuk menata ulang haluan tersebut sebenarnya sedang mulai disadari dan banyak menarik antusiasme kelompok-kelompok orang untuk melakukan inisiatif duduk bersama.

Pertemuan negara-negara G20 di Indonesia misalnya, berperan menghadirkan forum Youth-20 atau Y20 yang mengajak anak-anak muda dari berbagai negara untuk mencari titik temu pemikiran akan arah haluan dunia. Pertemuan itu menghasilkan poin-poin komunike yang kemudian disampaikan pada negara masing-masing.

Inisiatif serupa terjadi dalam beragam kesempatan untuk merumuskan berbagai formulasi pemikiran atas dasar keresahan-keresahan yang dirasakan. 

Setelah 20 tahun kita menari disko di abad-nya Gen Z, kita jadi ingat bahwa meskipun abad baru dengan segala hegemoninya menyediakan segala macam kenikmatan instan yang melenakan, ternyata penyakit-penyakit yang melemahkan tubuh abad ke-20 belum sepenuhnya hilang. Ia masih menjangkiti abad baru, meskipun dengan kadar imun dan wujud bentuk yang berbeda saja.

Kronisnya kapitalisme dan imperialisme abad lama masih membuat meriang banyak bangsa terjajah yang masih tertindas dan teraneksasi oleh supremasi kekuatan negara-negara adidaya. Batuknya neo-liberalisme dan kapitalisme masih menyebarkan virusnya. Demamnya individualisme dan pragmatisme masih menjangkiti hampir seluruh angkatan muda kita.

Bahwa anak muda kita tidak semua adalah Gen Z yang melek teknologi dan glimbang-glimbung di atas privilege jaman, bahwa masih banyak anak-anak generasi ini yang berkolong kemiskinan, menghadapi sulitnya membayar uang SPP, dan harus menghadapi kenyataan orangtuanya terlilit hutang. 

Bahwa ada anak-anak muda kita yang tinggal di gang-gang perkampungan padat penduduk, yang rumahnya bersebelahan dengan tumpukan sampah, bangkai tikus, dan buangan-buangan. Bahwa mereka tidak tahu apa itu FOMO dan siapa itu Justin Bieber. 

Bahwa lagu-lagu tentang rakyat miskin kota itu tidak hanya indah didengar dalam story-story Instagran dan demonstrasi-demonstrasi kebat kliwat tapi adalah satu realitas yang terjadi di seberang rumah.

Bahwa sebagai korban dari sakitnya peradaban kita yang terus menerus berdebat dan tidak sempat bertemu kata sepakat ini, satu potensi kekuatan, satu Krachten dapat dihimpun.

Kenyataan bahwa awareness ini mulai tumbuh dan terus diperbincangkan adalah fenomena yang sangat bagus dan perlu diberi hormat setinggi-tingginya.

Kita mungkin dapat sepakat bahwa muara dari segala keresahan dan kegundahan yang dirasakan secara kolektif adalah keresahan akan pencarian cita-cita bersama yang dapat kita sepakati. Mudahnya kita sedang me- refresh lagi peta haluan kita. 

Ya, kita punya Pancasila sebagai satu rumusan pandangan hidup. Ya, kita punya Sumpah Pemuda sebagai satu konsensus. Tapi mutiara-mutiara tersebut memerlukan satu pemberian nafas abad baru yang menyegarkan. Satu warna ikatan hati dan pemikiran Generasi Z yang dapat mengencangkan kembali kehendak kita. Tidak sebagai individu-individu, tapi sebagai satu kekuatan kolektif.

Kita perlu satu motif, yang dalam siklus seratus tahunan ini, memang sudah waktunya kita ingat kembali. Satu penguat cita-cita, yang mampu menyingkirkan sisa-sisa penyakit jaman ini dan mengantarkan kita tiba pada tujuan yang dikehendaki sejak awal. Kita perlu satu metode.

Oleh sebab itu, duduk bersama saja tidak cukup. Kursi-kursi kita sudah terlalu berlebihan menanggung beban orang-orang yang duduk bersama. Bunyi decitnya memilukan, menandakan kaki-kakinya akan segera patah.

Pemikiran-pemikiran sudah banyak diperbincangkan. Kampus-kampus kita tidak kekurangan kajian dan riset dari berkumpulnya orang-orang terpelajar yang dengan bebas merdeka dapat mengadu pemikirannya.

Forum-forum perdebatan sudah terlalu hangat, panas dengan beragam ide-ide cemerlang yang tidak dijalankan.

Maka tibalah saatnya untuk bangkit berdiri. Menyingkirkan kursi-kursi kemandegan dan bergerak maju. Menyadari bahwa ada satu wake up call untuk berbuat nyata, berkalang debu di tengah banyak orang, menyatu dan manunggal dalam bonding dengan keadaan riil.

Para pelajar dan mahasiswa yang memegang obor lentera ilmu, sudah saatnya untuk berhimpun dan beraliansi dengan rakyat. Turun dan membayar lunas hutang ilmu yang sudah didapat di tingginya tembok-tembok persekolahan dan perguruan dengan membantu sulitnya hidup rakyat.

Para pemuda yang sudah bergerak dan para pemuda yang masih terlelap dalam mati surinya individualisme, inilah saatnya untuk bergandeng tangan dan bahu membahu menurunkan kemampuannya. Platform dan wadah sudah tersedia, maka isi dengan tekad yang menyala-nyala untuk menuntaskan masalah-masalah.

Generasi muda yang dikenal punya reputasi magis dalam menentukan hitam putihnya sebuah jaman, inilah saatnya untuk bangkit sebagai satu kekuatan. 

Dalam tiap bidang dan ragam coraknya kemampuan, ikut berperan dalam gelombangnya gerakan yang bermilyun-milyun anak muda dapat berbondong-bondong bergabung. 

Baca: Rudianto Ajak Pemuda Bisa Berperan Penting Jaga Keutuhan NKRI

Sudah waktunya kita untuk berpihak pada Pak Joko yang rumahnya sulit mendapatkan kependudukan, sudah waktunya kita berjuang untuk Mbok Tinem yang rumahnya tidak punya jamban di kota besar.

Tiba waktunya untuk anak-anak muda, di penjuru kampus dan di sekolah, di dalam perpustakaan dan di ruang-ruang diskusi untuk turun sekarang!

Tiba waktunya untuk berpihak pada tercapainya cita-cita kesejahteraan dan keadilan sosial untuk gemuyunya pertiwi. By action, now!

Hanya dari situlah kita bisa masuk dalam tahap yang progresif dalam penentuan arah haluan abad kita. Hanya dari situlah kita bisa mengerti hatinya jaman ini. Tidak lagi hanyut dalam gelombang ketidakpastian. Kintir dalam ke kanan dan ke kirinya peradaban.

Menjadi Generasi Z yang melek teknologi, cinta damai, suka kemajuan individual, boleh! Tapi bukan berarti buta pada kenyataan akan demamnya peradaban.

Percayalah, dengan gerakan kolektif membantu rakyat yang dilakukan secara konsisten oleh individu-individu, kemudian menggulung dalam gerakan-gerakan gotong royong berskala besar, kita bisa perlahan-lahan membaca hati jaman ini, untuk menemukan lengkapnya cita-cita kita di abad ini. Percayalah! Bangkit generasi muda!

Quote