Ikuti Kami

Menelaah Quo Vadis Pandemi Covid-19

Oleh: Dr. Harris Turino, Politisi PDI Perjuangan yang juga Doctor in Strategic Management.

Menelaah Quo Vadis Pandemi Covid-19
Politisi PDI Perjuangan, Dr. Harris Turino (kiri) saat bersama Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. (Foto: @harristurino)

Jakarta, Gesuri.id - Sampai tanggal 22 September 2020 jumlah pasien terkonfirmasi positif Covid-19 Indonesia mencapai lebih dari 250.000 orang.

Jumlah rerata penambahan pasien seminggu terakhir adalah 3.904 pasien per hari dengan jumlah pasien sembuh rerata mencapai 3.198 orang per hari. 

Berarti terjadi penambahan jumlah kasus aktif sebanyak 706 pasien per hari. Dengan menggunakan asumsi bahwa 15% pasien membutuhkan perawatan rumah sakit dan 5% pasien membutuhkan penanganan ICU, berarti dibutuhkan tambahan jumlah ranjang rumah sakit sebanyak 105 ranjang per hari dan tambahan 35 ranjang fasilitas ICU. Angka ini adalah angka agregat nasional.

Data menunjukkan bahwa 30% jumlah pasien terkonfirmasi positif Covid-19 berada di Jakarta. Dengan menggunakan alur logika yang sama, maka jumlah penambahan ranjang rumah sakit yang dibutuhkan Jakarta adalah 31 ranjang dan 10 ranjang fasilitas ICU per hari. 

Ketersediaan fasilitas rumah sakit dan ICU ini penting untuk mengobati pasien positif yang bergejala dan tentu saja mengurangi fatalitas (angka kematian).

Bagaimana perkembangan pandemi Covid-19 sejak mulai menjangkiti Indonesia di Maret 2020? Data Effective Reproduction Number (Rt) di Indonesia yang penulis dapatkan dari Prof. Pitoyo Hartono, selama 26 minggu dimulai dari 22 Maret 2020 sampai 22 September 2020 bahwa Rt di Indonesia menunjukkan trend menurun, meskipun masih tinggi. 

Rt terakhir di angka 2.1148, artinya seseorang yang terinfeksi akan menulari lebih dari 2 orang lain. Dari angka ini terlihat bahwa penambahan pasien masih bersifat eksponensial dan belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Hal ini terlihat seperti pada gambar 1.

Beberapa pihak menafsirkan pergerakan grafik Rt tersebut sebagai munculnya gelombang kedua, ketiga dan keempat seperti yang pernah terjadi pada pandemi flu Spanyol yang terjadi pada tahun 1914 – 1918 dan saat ini juga dialami banyak negara lain di Eropa dan Australia. 

Kalau ini benar, maka ini adalah tanda-tanda baik, yaitu bahwa serangan gelombang kedua, ketiga dan keempat lebih kecil dibandingkan dengan serangan pada gelombang pertama.

Grafik Rt Jakarta juga menunjukkan gejala yang serupa, yaitu Rt menunjukkan tren penurunan, tetapi angkanya juga masih di kisaran di atas angka 2.21. Artinya seseorang yang terinfeksi akan menulari lebih dari 2 orang lain, sehingga penambahan pasien juga masih bersifat eksponensial. Hal ini terlihat pada gambar 2. 

Pandemi Covid-19 ini memporak-porandakan perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Sebelum munculnya pandemi, Indonesia bisa bertumbuh di atas 5% secara berkesinambungan. Gegara Covid-19 pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal pertama turun menjadi +2.97% dan bahkan kita mengalami pertumbuhan negatif sebesar -5.3% di kuartal kedua tahun 2020. 

Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan memberikan update informasi bahwa di kuartal ketiga kemungkinan pertumbuhan eknomi Indonesia akan masih berada pada zona negatif sebesar -2.9% sampai -1.0%.

Angka ini sudah membaik dibandingkan dengan kuartal kedua, walaupun sekaligus berarti bahwa Indonesia akan masuk fase resesi karena mengalami pertumbuhan negatif dalam dua kuartal berturut-turut. Tetapi jelas bahwa resesi sama sekali bukan berarti kehancuran ekonomi Indonesia.

Kalau dilihat dari polanya, diperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi pada kuartal keempat 2020 akan berada pada kisaran nol persen, tetapi diyakini bahwa pertumbuhan akan mulai pulih pada tahun 2021. 

Dari data ini diharapkan bahwa terjadi keseimbangan antara perbaikan penanganan protokol kesehatan dan penanganan pertumbuhan ekonomi karena memang kedua hal ini bukanlah suatu
dikotomi yang perlu dipertentangkan. Keduanya bisa berjalan seiring seperti ujar-ujar kuno “The Beauty of AND dan bukan The Tyranny of OR”.

Untuk mencapai keselarasan ini diperlukan kerja sama dan kerja keras antara pemerintah dan masyarakat. Di satu sisi masyarakat harus patuh pada protokol kesehatan dalam menjalankan aktifitas bisnisnya dalam bentuk 3M (mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker). Sedangkan peran pemerintah dalam bentuk 3T (testing, tracing, dan treatment).

Yang menjadi pertanyaan lanjutan adalah apakah kesinambungan ini benar bisa berjalan seiring tanpa dihantui ketidak-pastian? Tentu saja setiap kebijakan harus dievaluasi secara berkala. 

Mintzberg dan Waters (1985) mengatakan bahwa sejalan dengan perkembangan lingkungan yang semakin dinamis, maka dibutuhkan “emergent initiatives” sebagai komplemen terhadap strategi yang sudah direncanakan.

Kepastian itu baru bisa terjadi jika memang sudah ditemukannya vaksin yang benar-benar ampuh dan aman dan sudah didistribusikan secara merata ke sebagian besar penduduk Indonesia. Di titik ini kita bisa berharap bahwa kita akan kembali pada level pertumbuhan yang berkesinambungan seperti pada masa sebelum munculnya pandemi Covid-19.

Saat ini yang dibutuhkan adalah kita tetap sehat dan menjaga protokol kesehatan agar tidak ikut terpapar Covid-19. Pada tataran negara, sesuai dengan pesan Raden Pardede, Sekretaris Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), ini adalah saatnya untuk Indonesia Bekerja, dan Indonesia Bertumbuh dan Bertransformasi. 

Transformasi mutlak dilakukan karena dalam kondisi sekarang, pertumbuhan tidak bisa mengandalkan business as usual. Pandemi Covid-19 telah mengubah perilaku dalam konsumsi rumah tangga hingga investasi swasta, bahkan layanan kesehatan. 

Oleh karena itu, pemerintah harus mempersiapkan diri agar bisa tumbuh lebih cepat, bahkan bisa melewat target pra Covid-19. Inilah kesempatan bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain.

Semoga kita bisa memenangkan pertarungan ini. Insya Allah.

Quote