Ikuti Kami

Penegakkan TAP MPRS 25/1966 untuk Kesaktian Pancasila

Oleh: Badan Sosialisasi MPR, Fraksi PDI Perjuangan, Ketua Kaukus Pancasila DPR RI, Eva Kusuma Sundari.

Penegakkan TAP MPRS 25/1966 untuk Kesaktian Pancasila
Eva Kusuma SUndari.

Setiap tahun di ujung Bulan September, hampir dapat dipastikan isu G30S akan direbakkan kembali terutama di sosmed, tetapi tidak di media-media utama. Isi berita kebanyakan hoax, ujaran kebencian, maupun propaganda dan kampanye hitam ditujukan untuk merusak reputasi Presiden Jokowi, PDI Perjuangan dan politisi-politisi partai berlambang banteng tersebut. 

Di sosial media terutama face book dan group-group WA banyak dikirim film-film pendek tentang kebangkitan PKI, penyebaran ajaran komunisme oleh China, perebutan RI oleh tentara China yang dikemas sebagai laporan tv yang tentu saja tv nya abal-abal karena tidak punya ijin siaran. Hal tersebut tidak dimuat di media utama yang terikat pada etika dan disiplin jurnalisme yang harus akuntabel sesuai Hukum Pers maupun Hukum Kriminal. 

Berita-berita tersebut disebar bukan saja pada akhir September menjelang Peringatan Hari Kesaktian Pancasila, tetapi juga setiap menjelang diadakannya pemilu-pemilu legislatif, kepala daerah maupun presiden. Mengapa demikian? Karena tujuannya adalah politik, yaitu memenangkan dampak elektoral jadi bukan sungguh-sungguh untuk menegakkan TAP MPRS No 25/1966 demi menjaga NKRI dari ancaman komunisme dan ideology lain yang mengancam Pancasila. 

Selain membubarkan PKI dan mengharamkan penyebaran Komunisme-Marxisme/Leninisme, TAP MPRS 25/1966 juga mengamanatkan kepemimpinan negara dalam melakukan penguatan dan pembinaan ideologi Pancasila. Hal ini sudah dilakukan oleh Presiden Jokowi dengan menerbitkan Keppres no 24/2016 tentang Hari Lahir Pancasila, pembentukan Badan Pembinaan Ideology Pancasila (BPIP) dan yang terakhir adalah pembuatan UU no 16/2017 tentang Ormas. 

Baca: Cara Baru Milenial Memahami Pancasila Zaman Now

Sebelumnya, almarhum Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR menggagas dan melembagakan Sosialisasi 4 Pillar yang ‘memaksa’ semua politisi Senayan menyelenggarakan pendidikan politik Pancasila dan konstitusionalisme ke masing-masing konstituen mereka. Upaya terpimpin oleh negara ini dengan jelas telah direspon positif secara sistematis dan terlembaga oleh PDI Perjuangan dengan mengintegrasikan Pancasila ke dalam tata kelola kepartaiannya. 

PDI Perjuangan mencantumkan Pancasila secara eksplisit sebagai ideologi partai dalam konstitusinya (AD/ART) sehingga Pancasila menjadi arus utama (mainstream) dalam pengelolaan partai. Artinya, PDI Perjuangan menjadikan Pancasila sebagai paradigma dalam pembuatan, analisa dan advokasi kebijakan partai, tata kelola organisasi, rekrutmen kader, dan dalam penyusunan kurikulum kaderisasi dan semua pelatihan-pelatihan khususnya. 

Salah satu materi pokok dalam kaderisasi Tingkat Pratama, Madya maupun Utama adalah memasukkan materi-materi terkait amanat TAP MPRS 25/1966. Selain Materi Pancasila secara tersendiri, ada juga Materi Ancaman terhadap Ideology Pancasila yang berisi bahwa Pancasila sebagai ideologi beraliran tengah akan selalu menghadapi ancaman laten dan permanen dari ideology ekstrim kiri (komunisme-marxism/leninisme) dan ekstrim kanan (ekstrimisme agama dan individualisme). 

Baca: Menggelorakan Semangat Pancasila Lewat Majelis Pengajian

Materi yang lain adalah Metode Berpikir Bung Karno yang isinya metode analisa Kritis-Dialektik untuk memampukan kader melakukan analisa pembedaan antara ideologi-ideologi tandingan terhadap ideologi Pancasila. Materi ini pula yang akan membekali kader untuk melakukan analisa sosial sebagai dasar Materi Analisa Sosial sebagai dasar pula untuk melakukan advokasi-advokasi kasus praktis kerakyatan maupun kasus strategis kebangsaan. 

Bukan saja di tataran konsep, kaderisasi di PDI Perjuangan juga meminta setiap alumni untuk melakukan praksis Pancasila misalnya dengan menjadi penggerak koperasi dan menjadi motor gerakan kebudayaan seni-budaya tradisional di lingkungan masing-masing. Tidak heran jika di beberapa kantor propinsi dan cabang PDI Perjuangan ada koperasi yang dikelola oleh pengurus setempat atau ada kelompok-kelompok kesenian binaan pengurus cabang atau anak cabang PDI Perjuangan. 

Bagaimana menegakkan TAP MPRS No 25/1966 saat ini? Selain PKI, maka HTI pun sudah dinyatakan sebagai organisasi terlarang karena keduanya mengusung ideologi selain Pancasila. Sehingga, penyebaran pengajaran faham dan ideologi Komunisme-Marxisme/Leninisme dan ideologi Khilafah yang hendak mengganti Pancasila juga harus dihentikan dan diharamkan. 

Meski demikian, pembinaan ideologi hingga saat ini hanya dilakukan oleh MPR tetapi, jangkauan para politisi DPR/MPR dalam melakukan sosialisasi 4 pillar amat terbatas. Sehingga sepantasnya cabang-cabang kekuasaan lain yaitu eksekutif dan yudikatif, juga melakukan pembinaan ideologi Pancasila dan konstitusionalisme di internal masing-masing.

Di jajaran eksekutif malah sudah pada tingkat emergency karena para penyebar hoax dan ujaran kebencian justru banyak dilakukan oleh para PNS terutama guru dan dosen yang seharusnya menjadi kunci dalam pembentukan karakter berkepribadian Pancasila bagi para siswa dan mahasiswa. 

Hal yang sama juga ditemukan di antara para birokrat di Kementrian Keuangan, Kementrian Agama, Kementrian BUMN, Kemendagri. Artinya, pembinaan ideologi ini sudah merupakan kebutuhan mendesak karena sudah ada yang “terciduk” oleh aparat kepolisian.  Ini membuka mata kita bahwa  organisasi terlarang HTI (dan sehaluan) penganut ideologi khilafah telah membajak ruang kosong untuk pembinaan PNS terkait ideologi (Pancasila).

Bagaimana dengan lembaga independen seperti BI dan BPK? Atau lembaga TNI-POLRI? Setali tiga uang. Masjid-masjid di lembaga-lembaga tersebut tampaknya sudah kesusupan elemen radikal pro khilafah dan sempat menjadi debat di sosial media karena ketahuan mengundang penceramah yang dikenal sebagai penyebar kebencian kepada pemerintah yang sah dan konsisten menyebar propaganda pembentukan khilafah. 

Baca: Pancasila Payung Kehidupan Berbangsa yang Mempersatukan

Pembinaan ideologi Pancasila juga harus dilakukan oleh Mahkamah Agung mengingatp beberapq hakim secara terbuka mendukung dan menjadi anggota HTI.  Kita patut sangsi apakah mereka menggunakan  Pancasila dan konstitusi sebagai dasar saat memutus perkara.

Penyelesaian darurat Pancasila di antara PNS dan aparat negara yang paling moderat adalah dengan melakukan pembacaan ulang Sumpah Jabatan yang berisi kesetiaan pada Pancasila dan konstitusi. Hal itu diikuti dengan pembinaan ideology Pancasila di masing-masing lembaga yang disertai sistem monitoringnya. Sebagai pencegahan, ada baiknya diadakan penyaringan ideology saat perekrutan CPNS baru terkait preferensi mereka terhadap ideologi Pancasila. 

Penegakkan TAP MPRS No 25/1966 justru menemukan relevansinya di saat darurat ideologi Pancasila seperti saat ini. Ancaman terhadap ideologi dan Dasar Negara Pancasila tidak hanya PKI dengan komunisme-marxism/leninisme tetapi juga HTI dengan ideologi khilafah-nya yang bertujuan mengganti Pancasila dan UUD RI 1945, menolak Bhinneka Tunggal Ika dan membongkar NKRI.

Untuk menggenapi upaya kultural tersebut, penegakkan hukum juga perlu dilakukan terhadap siapa saja yang melanggar Tap MPRS No 25/1966 dan UU no 16/2017 tentang Ormas. Bagi mereka yang melakukan ujaran kebencian atau melakukan penyebaran ideologi Kommunisme dan propaganda khilafah harus diproses hukum. 

Penegakkan TAP MPRS No.25/1966 dan UU No 16/2017 tentang Ormas akan menjadi kunci Kesaktian dari Pancasila. Hal ini akan terwujud jika negara (legislatif, eksekutif, yudikatif, dan lembaga tinggi independen) bekerja melakukan pembinaan ideologi dan Sosialisasi Pancasila dan konstitusionalisme. Semua itu demi kokohnya NKRI.

Quote