Ikuti Kami

Sistematika Antisipasi Virus Polio Masuk ke Ibu Kota

Virus polio ini bukan penyakit sembarangan sehingga survei untuk semua jenis kelumpuhan tetap terus dilakukan.

Sistematika Antisipasi Virus Polio Masuk ke Ibu Kota
Anggota DPRD DKI Jakarta Komisi E Meryy Hotma, SH. (istimewa)

Jakarta, Gesuri.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menemukan satu kasus polio tipe 2 di Kabupaten Pidie, Aceh yang menjadikan Pemerintah Indonesia menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) polio.

Gejalanya mulai muncul pada 6 Oktober 2022 dimana sang anak mengeluh demam dan kemudian lumpuh setelah tiga hari yaitu pada 9 Oktober 2022.

Menurut Direktur Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu, dasar penetapan status KLB karena Indonesia sudah mendapatkan sertifikat eradikasi atau sertifikat bebas polio pada 2014. Meskipun sudah mendapatkan sertifikat, karena virus polio ini bukan penyakit sembarangan sehingga survei untuk semua jenis kelumpuhan tetap terus dilakukan.

Bagaimana langkah-langkah yang sepatutnya di ambil oleh pemerintah DKI Jakarta guna mengantisipasi virus polio ini masuk ke Ibukota? Berikut petikan wawancara khusus reporter Gesuri.id Haerandi bersama Anggota DPRD DKI Jakarta Komisi E Meryy Hotma, SH.

Kementrian Kesehatan tetapkan KLB polio, bagaimana menyikapi hal tersebut?

Pertama kita harus melihat bahwa perhatian kita ini cukup produktif dikarenakan data, jumlah bayi dan anak di Jakarta kurang lebih sekitar 1,2 juta. Virus polio sendiri rentan dijangkit umur 0-5 tahun. Oleh karena itu dengan jumlah yang cukup signifikan seperti ini layak DKI Jakarta memperhatikan himbauan dari Kementrian Kesehatan bahwa polio sudah masuk pada tahap KLB (Kejadian luar Biasa). 

Bicara polio ini bicara virus, bicara virus ini juga bicara tentang udara yang tidak kelihatan jadi Pemprov DKI dalam hal ini sebagai pemerintah yang memang harus menjaga warganya, dimana segala kegiatan di Pemprov DKI itu tujuannya adalah untuk menjaga keamanan,kenyamanan dengan tujuan kesejahteraan dan kecerdasan warganya. 

Kembali ke tujuan besar itu ketika sekarang ada sebuah situasi dimana pemerintah pusat melihat adanya virus polio yang mulai muncul maka naik ke tingkat KLB, berarti DKI Jakarta harus serius. Tingkat keseriusan di DKI Jakarta itu tidak boleh yang sifatnya parsial kalau sudah pemerintah pusat menetapkan ini KLB dan ini adalah virus dan tidak kelihatan berarti sudah harus menggunakan sistem tersistematik. 

Terencana hulunya dimana sampai ke proses dan hilirnya, hilirnya adalah bayi serta anak tersebut, hulunya adalah bicara penyebab virus itu dimana dan apa, lalu di tengahnya adalah proses. Proses tahapan bentuk pencegahan karena DKI Jakarta belum terdapat kasus.

Virus polio ini proses di tengahnya adalah tahapan pencegahan. Tahap pencegahan ini yang betul-betul harus diperkirakan melalui pengkajian, analisa dengan menggunakan konsultan. Lalu setelah mendapatkan hasil kajian dan analisa berdasarkan semua data dan potensi-potensi penyebab, bagaimana dan darimana penyebabnya barulah kemudian dibentuk yang namanya satuan petugas.

Memaksimalkan potensi Pemprov DKI yang ada di bawah misalnya Posyandu, ibu-ibu PKK, Dasa Wisma itu semua satgas-satgas DKI Jakarta yang ada, tinggal bagaimana menugaskan mereka di posisi dan seperti apa, ini proses di tengah tetapi sebelum bicara ke tengah hulunya ini harus jelas, misalnya kenapa KLB, DKI Jakarta masuk dalam kategori seperti apa misalnya siaga 1, 2 atau 3 dan pendataan bayi serta anak itu penting, kesiapan rumah sakit, sumber daya manusia rumah sakit, vaksinnya bagaimana itu penting. Semua Hal tersebut merupakan poin-poin yang menjadi satu sistem. 

Jadi jika berbicara KLB tidak boleh lagi parsial tidak boleh juga Pemprov DKI menunggu tapi sudah harus dipersiapkan pencegahan yang tersistematis.

Antisipasi yang seharusnya dilakukan seperti apa?

Kita bersyukur DKI Jakarta belum ada dan kita minta betul jangan ini menjadi wabah, lalu karena tidak mewabah di DKI Jakarta maka yang ada dan harus diperkuat adalah pencegahan, yang pertama itu yang harus dilakukan oleh Pemprov adalah sosialisasi kesehatan bisa melalui posyandu-posyandu yang ada, sosialisasi tentang makanan sehat pada anak, kebersihan lingkungan dan rumahnya, kesehatan tentang usia perkawinan karena usia perkawinan juga menentukan kualitas si bayi. 

Kalau terlalu cepat menikah ini juga memiliki resistensi terhadap bayi yang kurang sehat karena tuhan sudah menciptakan umur-umur kandungan yang siap dan ideal untuk melahirkan. 

Berikutnya mensosialisasikan bahwa polio sedang merebak, maka itu perlu pengantisipasian, lalu Pemprov DKI Jakarta juga harus mempersiapkan vaksin polio data-data di posyandu yang belum mendapatkan vaksin itu harus jemput bola, yang belum di vaksin harus vaksin yang sudah dipantau terus.

Yang paling utama dalam KLB virus ini perlunya pemerintah giat menggencarkan makanan bergizi dan vitamin di posyandu untuk anak polio (pencegahan tulang) misalnya seperti vitamin A untuk mata, kenapa tidak kita berikan lagi untuk anak berupa Vitamin D untuk tulang. 

Lalu berikutnya, perlu juga pemerintah dalam rangka pencegahan mempersiapkan semacam pembinaan yang sifatnya mungkin sangat sehat kepada ibu-ibu hingga tingkat RT, narasumbernya siapa? boleh ibu-ibu yang aktif di posyandu bekerjasama dengan Puskesmas. 

Trainernya siapa? dibina lagi oleh Dinas Kesehatan (Dinkes). Sebenarnya mumpung di DKI Jakarta belum terdampak virus polio, Dinkes ini masih memiliki waktu untuk menciptakan trainer-trainer untuk sosialisasi pembinaan warga di tingkat RT, siapa yang di trainer adalah ibu-ibu posyandu beserta tenaga-tenaga dari Puskesmas untuk mendampingi lalu bekerjasama dengan para RT untuk mendata siapa saja yang memiliki bayi dan anak untuk dibrifing serta dibina terkait misalnya merawat anak. 

Bagaimana kondisi tulang anak dan bagaimana mengantisipasi virus tersebut agar tidak sampai di DKI Jakarta.

Terkait kendala yang terjadi di lapangan misalnya orang tua tidak ingin anaknya di vaksin karena minimnya pengetahuan bagaimana melihat ini?

Ada sekitar 20% warga DKI yang agak di bawah tingkat ekonomi itu sekaligus juga kurang pemahaman tentang pentingnya memperhatikan kesehatan anaknya. Inilah yang saya usulkan supaya Dinkes membuat pembinaan, sosialisasi kesehatan kepada orang tua yang punya bayi dan anak.

Bagaimana caranya? mereka menciptakan trainer-trainer seperti ibu-ibu yang di posyandu, paling tidak ibu-ibu sudah ada empati didampingi oleh tenaga tenaga puskesmas. Mereka ini turun didampingi. 

Karena, setiap RW itu memiliki rata-rata sekitar 12 RT jadi bisa satu Posyandu itu 10 tenaga ibu-ibu PKK, dan 10 ini bisa dibina menjadi trainer mungkin satu RT satu trainer didampingi oleh Puskesmas untuk mensosialisasikan apa itu polio, apa itu anak, setelah itu bagaimana tentang kesehatan seseorang bayi, bagaimana kerja virus polio, bagaimana melindungi anak tersebut dari virus polio, apa yang dibutuhkan, vitamin, makanan sehat dan lingkungan yang bersih. 

Mungkin saat ini di DKI belum ada sehingga masih ada waktu.

Apakah satgas-satgas yang sudah ada saat ini sudah efektif jalankan tugas?

Itulah kebiasaan, jika belum ada korban semua masih tidur walaupun sebenarnya pemerintah pusat sudah memberikan warning KLB, sesungguhnya DKI Jakarta sebagai yang punya masyarakat padat penduduk sekitar 9 juta lebih bahkan hampir 10 juta serta jumlah anak dan bayi ada di sekitar 1,2 jutaan. 

Bukan lagi dianggap enteng ketika ada informasi atau ada satu warning dari pemerintah pusat bahwa ini KLB, seharusnya DKI Jakarta mulai hari ini sudah mempersiapkan satgas-satgas tapi sebelum satgas itu dibentuk harus segera melakukan kajian serta analisa terlebih dahulu.

1,2 juta anak dan bayi itu dimana mayoritas, di wilayah kumuhkah, di wilayah bersihkah, di wilayah komplek, di rumah penduduk biasa atau di wilayah banjirkah. Karena virus cenderung di wilayah kotor dan lembab itu yang perlu dikaji. 

Setelah melakukan pemetaan dimana bayi dan anak ini mayoritas maka satgas akan dibentuk dan pembinaan akan diperbanyak di titik itu.

Quote