Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman, meminta pemerintah untuk meninjau ulang izin pengelolaan hutan oleh perusahaan di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Ia menilai rencana pemanfaatan kawasan hutan tersebut mengancam keberlangsungan lingkungan hidup serta kehidupan masyarakat adat di pulau kecil itu.
“Luas Pulau Sipora itu sekitar 615,18 kilometer persegi dan termasuk dalam kategori pulau kecil. Sepertiganya atau sekitar 20 ribu hektare sedang diusulkan untuk izin pengelolaan hutan. Ini bisa berdampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat adat,” kata Alex saat kunjungan kerja Komisi IV DPR RI ke Sumatera Barat, Jumat (20/6/2025).
Alex menjelaskan bahwa Pulau Sipora tidak memiliki pegunungan yang dapat berfungsi sebagai sumber cadangan air. Satu-satunya sumber air bersih bagi masyarakat berasal dari kawasan hutan yang masih tersisa. Karena itu, menurutnya, jika hutan terganggu atau hilang, maka pasokan air bersih bagi masyarakat lokal akan ikut terancam.
“Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat. Berkurangnya hutan juga berisiko menimbulkan bencana seperti banjir dan longsor,” ujarnya.
Politisi PDI Perjuangan tersebut juga menyoroti bahwa hutan memiliki nilai budaya yang sangat penting bagi masyarakat adat Mentawai. Bagi mereka, hutan bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan bagian dari identitas dan sistem sosial-budaya yang telah berlangsung turun-temurun.
“Tanpa hutan, budaya Mentawai bisa terpinggirkan. Maka kami dari Komisi IV DPR RI meminta Kementerian Kehutanan untuk meninjau kembali rencana pemberian izin pengelolaan hutan di Mentawai,” tegasnya.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar juga mengkritisi izin yang diberikan kepada PT Sumber Permata Sipora (PT SPS) untuk memanfaatkan hutan seluas 20.706 hektare di Pulau Sipora. Izin tersebut terbit pada tahun 2023 melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atas nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan nomor 28032311111309002.
Koalisi menilai bahwa pemberian izin tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam undang-undang itu, pulau kecil seperti Sipora seharusnya menjadi prioritas untuk konservasi, bukan eksploitasi.