Ikuti Kami

Ancam Industri Tembakau, Banteng Tolak Revisi PP 109/2012

Industri tembakau atau rokok, dari hulu ke hilir merupakan sektor dimana banyak orang menggantungkan hidup.

Ancam Industri Tembakau, Banteng Tolak Revisi PP 109/2012
Ketua DPP PDI Perjuangan Mindo Sianipar.

Jakarta, Gesuri.id -  Ketua DPP PDI Perjuangan Mindo Sianipar bersama dengan Kapoksi IX Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Abidin Fikri dan Muhammad Nabil Haroen, Anggota Komisi IX DPR RI menerima audiensi dari Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) yang terdiri dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) dan Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI), Selasa, (15/6).

Dalam audiensi di Ruang 704 Fraksi PDI Perjuangan DPR RI tersebut, Budidoyo Siswoyo, Ketua Umum AMTI menyampaikan penolakan revisi PP 109 tahun 2012.

“Hal tersebut karena PP 109/2012 sudah sangat eksesif dan lebih dari cukup untuk membatasi dan mengendalikan konsumsi tembakau di Indonesia. Jika PP ini tetap direvisi maka akan mengancam 20 juta tenaga kerja dan keluarganya karena kehilangan mata pencaharian,” ungkap Budidoyo. 

Baca: Petani Kopi Didorong Berinovasi & Lakukan Rekayasa Genetika

Abidin Fikri, menyatakan menerima aduan dari AMTI dan akan mengkaji lebih dalam penolakan AMTI terhadap revisi PP 109 tahun 2012. 

“Secara prinsip yang perlu diperhatikan adalah kebijakan atau aturan tidak boleh menciptakan ketidakpastian bagi dunia industri, termasuk industri tembakau. Terlebih di masa pandemi saat ini,” Jelas Abidin Fikri.

Lebih lanjut Anggota Komisi IX DPR RI yang membidangi ketenagakerjaan itu menjelaskan bahwa, industri tembakau atau rokok, dari hulu ke hilir merupakan sektor dimana banyak orang menggantungkan hidup. Sektor industri tembakau saat ini terbukti tangguh untuk bertahan dan berjuang di masa pandemi covid 19. 

Sehingga perlu kebijaksanaan dari pemerintah untuk tidak merevisi PP 109 Tahun 2012 karena kekhawatiran akan banyak para pelaku usaha dalam industri hasil tembakau yang gulung tikar dan berdampak pada pengangguran.  

“Kalau dilihat dari kajian , PP ini memang untuk membatasi industri hasil tembakau dan sudah berjalan untuk mengatur secara komprehensif. Sehingga saat ini lebih baik agar dilaksanakan sebaik-baiknya, jika diatur lebih ketat lagi akan berimplikasi pada mata pencaharian petani tembakau, petani cengkeh, dan tenaga kerja di seluruh sektor yang bergantung dari industri hasil tembakau,” tegas Abidin. 

Mindo Sianipar dalam forum audiensi ini berpesan kepada pemerintah agar cukai rokok tidak lagi naik di tahun ini karena membebani industri hasil tembakau.

 “Dalam beberapa tahun belakangan kinerja Industri Hasil Tembakau mengalami tekanan berat, terutama dengan kenaikan cukai 23% di tahun 2020 dan pandemi COVID-19. Kedua aspek tersebut menyebabkan volume industri turun,” jelasnya.

Lebih lanjut Anggota Komisi IV yang membidangi pertanian itu berpendapat bahwa, saat ini pengaturan dan pengawasan produk tembakau telah diatur secara komprehensif dalam PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau. 

Baca: Ansy Dukung Seminari Mataloko Bangun Pertanian & Peternakan

“PP 109/2012 tidak perlu direvisi karena belum tentu efektif, sehingga hanya diperlukan implementasi peraturan yang sudah ada,” tegasnya.

Untuk diketahui bahwa sektor ini cukup bertahan di masa Pandemi dan bisa menyumbang cukai kepada APBN. Pada 2020 realisasi penerimaan cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp 146,03 triliun, tumbuh 9,74% secara tahunan. Pencapaian ini pun setara 88,53% terhadap outlook akhir tahun senilai Rp 164,94 triliun. 

Data Kemenkeu pun menunjukkan produksi industri hasil tembakau turun 10,2% yoy. Namun Dana Bagi Hasil (DBH) cukai hasil rokok dan pajak rokok masing-masing mencapai sebesar Rp. 3,3 triliun dan Rp. 16,9 triliun.

Quote