Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo menilai pemerintah dianggap masih menganaktirikan sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan informal saat penanganan pandemi virus corona (Covid-19).
Andreas mengungkapkan dampak Covid-19 semakin terasa bagi dunia usaha. Sebagaimana terlihat dari pertumbuhan ekonomi kuartal I turun cukup dalam menyentuh 2,97%.
Oleh sebab itu, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) 23/2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang menjadi turunan aturan pelaksana dari Perpu 01/2020. Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menjadi fokus pemerintah untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha yang sedang terpuruk dan terdampak terutama bagi UMKM maupun sektor informal akibat adanya PSBB.
Baca: Dampak Corona, Presiden Minta Permudah Kredit UMKM
Rencana anggaran yang akan digelontorkan untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ini pun tak tanggung-tanggung, sebanyak Rp318,09 triliun. Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk sembilan langkah pemulihan ekonomi nasional.
Jika mengacu pada PP 23/2020, sepatutnya kita berpegang teguh pada prinsip yang prudent, transparan, harus cepat, akuntabel, keadilan sosial, sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai ketentuan dan tidak menimbulkan moral hazard.
“Anggaran yang diperuntukan untuk BUMN dinilai terlalu besar dan kurang tepat mengingat rekam jejak pengelolaan BUMN sudah menjadi masalah sebelum adanya pandemi. Total anggaran untuk BUMN sebesar Rp155,6 triliun atau 49% dari total anggaran.” Kata Andreas ke Gesuri.id di Jakarta, Rabu (13/5).
“Rinciannya antara lain untuk percepatan pembayaran kompensasi dan penugasan untuk BUMN, penyertaan modal negara (PMN), dan talangan modal kerja BUMN. Hal ini berarti, pemerintah tidak serius untuk menyelamatkan perekonomian nasional karena fokus utama malah ke penyelamatan BUMN. Padahal, harapan sesungguhnya adalah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Tambahnya.
Lebih lanjut, pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan sumber-sumber krusial yang merupakan penyumbang utama pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang selama ini mendominasi perekonomian Indonesia (56% PDB). Di kuartal I-2020, Konsumsi Rumah Tangga hanya mampu tumbuh 2,84% (yoy) sebagai akibat pemberlakuan aturan Work From Home (WFH), Physical Distancing, dan PSBB.
“Perlu adanya upaya yang tepat dari pemerintah untuk mendorong konsumsi rumah tangga agar ekonomi kuartal II dan selanjutnya tidak kembali terpuruk.” Sambung Andreas.
Dalam kebijakan PEN, sektor UMKM dan informal masih dipandang sebelah mata. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat PEN, yakni untuk keadilan sosial. Padahal, kita ketahui sektor UMKM merupakan pilar penting perekonomian Indonesia sehingga perlu perhatian yang lebih dari pemerintah. Perekonomian Indonesia akan selamat jika sektor UMKM dan informal bisa dikelola dengan baik. Merujuk pada data Kementerian Koperasi dan UMKM 2018, kontribusi UMKM terhadap PDB sebesar 60,34%. Sektor ini juga menyerap tenaga kerja sebesar 97,02%.
Namun, porsi stimulus yang diberikan kepada sektor ini hanya sebesar Rp68,21 T atau setara dengan 21,4% dari total anggaran yang dialokasikan untuk tiga kebijakan. Salah satu kebijakan yang mengundang pertanyaan adalah Sektor UMKM hanya mendapatkan subsidi bunga selama 6 bulan sedangkan penangguhan pembayaran pokok selama 6 bulan bagi UMKM maupun sektor informal justru tidak diatur dalam skema kebijakan ini.
Baca: Ini Empat Langkah Mitigasi Presiden untuk UMKM
“Sektor UMKM dan informal memiliki peran besar dalam menggerakkan ekonomi sektor riil dan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Pemerintah sepatutnya bisa secara cepat memberikan dukungan penuh kepada pelaku usaha di sektor-sektor yang selama ini menggerakan perekonomian nasional. Dengan demikian, harapan kami adalah adanya upaya refocusing pada skema alokasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) agar tepat sasaran.” Paparnya.
Dalam pelaksananan pemulihan ekonomi nasional, pemerintah harus menerapkan kebijakan dengan penuh kehati-hatian, menerapkan tata kelola yang baik, transparan, akseleratif, adil, dan akuntabel untuk mendukung dunia usaha bisa efektif dan terhindar dari moral hazard sehingga mampu mendorong ekonomi Indonesia bisa bangkit dan cepat pulih kembali.