Ikuti Kami

Ansy Desak KLHK Optimal Atasi Karhutla di NTT

Karhutla di NTT meningkat pesat, mencapai 108 HA atau 33% dari total luas hutan di NTT.

Ansy Desak KLHK Optimal Atasi Karhutla di NTT
Anggota Komisi IV DPR RI Yohanis Fransiskus Lema (Ansy Lema). (Foto: Istimewa)

Jakarta, Gesuri.id -  Anggota Komisi IV DPR RI Yohanis Fransiskus Lema (Ansy Lema) mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI untuk secara optimal mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di NTT, khususnya di Pulau Sumba. 

Hal itu dikatakan Politikus PDI Perjuangan itu ketika Komisi IV DPR RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat dengan Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, para Direktur Jenderal, serta Kepala Badan Restorasi Gambut, baru-baru ini. 

Baca: Didesak Ansy, Kementan Bergerak Perangi ASF di NTT

"Karhutla di NTT meningkat pesat, mencapai 108 HA atau 33% dari total luas hutan di NTT. Penyebabnya karena kemarau dan pembukaan lahan," ujar Ansy. 

Yang terbaru, lanjut Ansy, karhutla terjadi di lima titik di wilayah Savana di Sumba Timur dan tiga titik di Sumba Tengah. 

"Padang Savana adalah destinasi pariwisata, sekaligus daya tarik Pulau Sumba. Karhutla mengancam ekosistem Savana sebagai salah satu ikon Pulau Sumba," ujar Ansy. 

Ansy juga  menanyakan, apakah KLHK memiliki peta zonasi wilayah konservasi secara nasional maupun peta konservasi NTT. 

"Pertanyaan kuncinya adalah daerah mana saja di NTT yang masuk wilayah konservasi dan karenanya harus diproteksi, dan daerah mana yang boleh diinvestasi, dieksploitasi dan dieksplorasi?"ujar Ansy. 

Wakil Rakyat dari Dapil NTT II itu menilai, hal tersebut penting agar diketahui, mana  zona konservasi dan mana zona investasi. Dengan adanya peta tersebut, investasi tidak menabrak aturan konservasi. 

"Kejelasan peta zonasi mengakibatkan ekosistem dan keanekaragaman hayati terpetakan dan terdata secara baik," ujar Ansy.

Ansy mencontohkan penolakan masyarakat terhadap rencana pembukaan Tambang Batu Gamping dan Pabrik Semen di Kabupaten Manggarai Timur.

Alasan penolakan itu karena rencana tersebut mengancam bentangan alam Karst sebagai sumber air bagi masyarakat empat kabupaten.

"Di kawasan Hutan Bakau disebutkan bakal dibangun dermaga angkutan pabrik semen, padahal Hutan Bakau berfungsi mencegah abrasi dan menahan merembesnya air laut ke sawah rakyat," papar Ansy. 

Ansy juga mengingatkan, tentang belum pulihnya sektor pariwisata yang mengakibatkan sumber pendapatan warga yang hidup dari sektor tersebut ikut terpukul.

Kendati destinasi wisata di bawah KLHK seperti Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Suaka Margasatwa sudah dibuka, namun butuh waktu mendatangkan wisatawan seperti semula.

"Sedikit wisatawan, sedikit pula pendapatan pelaku pariwisata. Di Taman Nasional Komodo, misalnya, ada sekitar 225 orang yang menyandarkan hidup dari berjualan souvenir dan kuliner.Kini, mereka kembali ke mata pencaharian sebelumnya, yakni melaut," ungkap Ansy.

Baca: Cegah Flu Babi Afrika, Ansy Usulkan Proteksi Wilayah

Namun, sambung Ansy, persoalan muncul karena ada yang melaut dengan cara melakukan destructive fishing.

Ada yang mengambil Abalon atau Kerang Mata Tujuh, yang jika terus diambil berpotensi merusak ekosistem laut TN Komodo.

"Warga Komodo sebenarnya sangat kooperatif menjaga habitat TN Komodo. Mereka adalah perawat, pemelihara ekologi komodo, namun untuk hidup mereka tidak punya pilihan lain akibat pariwisata lesu," ujar Ansy. 

Ansy pun mengusulkan agar KLHK melakukan mitigasi dampak ekologi, dengan tujuan membantu menghidupkan kembali ekonomi warga, agar mereka tidak merusak ekologi.

Faktanya, TN Komodo telah "merubah" mata pencaharian mereka dari nelayan ke pariwisata.  Karena itu, menurut Ansy, KLHK tidak cukup hanya melarang atau menindak pelaku perusak alam.

"KLHK harus memberikan bantuan konkrit, misalnya alat tangkap ikan ramah lingkungan dan bertindak sebagai off-taker yang membeli ikan mereka. Sebab ada kaitan erat antara aspek ekonomi dan ekologi," ujar Ansy.

Quote