Ikuti Kami

Beri Tudingan Miring ke Bung Karno, Bamusi 'Sentil' Haikal

Sekjen Habib Rizieq Shihab Center itu menyebut Bung Karno sebagai 'tukang penjarakan ulama'. 

Beri Tudingan Miring ke Bung Karno, Bamusi 'Sentil' Haikal
Ustad Haikal Hassan.

Jakarta, Gesuri.id - Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) menanggapi pernyataan miring Ustad Haikal Hassan tentang Presiden Soekarno dalam satu unggahan video yang beredar di media sosial baru-baru ini. 

Dalam pernyataannya, Sekjen Habib Rizieq Shihab Center itu menyebut Bung Karno sebagai 'tukang penjarakan ulama'. 

Tak hanya itu, Haikal Hassan pun lantas menceritakan sejarah pertemuan muktamar ulama (ijtimak) yang pertama pada 11 September 1957. Muktamar ulama tersebut, menurut Haikal, digelar di Palembang dan dihadiri sejumlah ulama dan tokoh nasional seperti Buya Hamka, Muhammad Natsir, Syahrir hingga Kahar Mudzakkar.

Baca: Mantan Ketua PKB Malang, Kini Pimpin BAMUSI Malang

Dan Bung Karno, menurut Haikal,  bersama tokoh PNI, PKI dan Nasakom menjelek-jelekkan para ulama yang sedang melangsungkan muktamar di Palembang tersebut. Bahkan, dikatakannya, Bung Karno dan para tokoh PNI serta PKI menuduh ulama dan tokoh nasional yang menghadiri muktamar itu tidak bermoral (amoral).

Sekretaris Umum Pengurus Pusat Bamusi Nasyirul Falah Amru (Gus Falah), menegaskan Haikal telah menyampaikan sejarah secara tidak utuh. Sehingga, yang muncul adalah penyesatan publik. 

Gus Falah mengungkapkan, Haikal berupaya membangun framing bahwa Bung Karno anti atau memusuhi Ulama, hanya berbasiskan pandangan terhadap satu atau dua peristiwa sejarah tanpa menyertakan konteks. 

"Yang perlu dipahami, dalam sejarah, Bung Karno memang pernah berbeda pandangan politik dengan beberapa tokoh nasional, yang kebetulan ulama. Tapi apakah Bung Karno memusuhi seluruh ulama di negeri ini? Ya jelas tidak!" tegas Gus Falah.

Gus Falah pun menyatakan, muktamar ulama yang disebut oleh Haikal itu, adalah kegiatan bertajuk "Muktamar Ulama se-Indonesia" tanggal 8-11 September 1957 di Palembang. 

Yang perlu dipahami, lanjut Gus Falah, Muktamar itu diinisiasi oleh tokoh-tokoh Masyumi.

"Kala itu, Bung Karno dengan tokoh-tokoh Masyumi memang sedang ada perbedaan pandangan, tentang beberapa isu politik. Memang, beberapa tokoh Masyumi itu adalah ulama. Tapi tak bisa dikatakan, Bung Karno memusuhi Ulama, karena banyak juga ulama yang tak sepakat dengan Masyumi sekaligus muktamar itu," ungkap Gus Falah.

Gus Falah mencontohkan, pada tanggal 10 November 1957, para Ulama Betawi menggelar musyawarah di Gosrul Wafidin, Jalan Bidaracina, Jakarta Timur.  Musyawarah itu merupakan reaksi dari  hasil Muktamar Ulama di Palembang yang diinisiasi oleh Masyumi tersebut. 

"Hasil musyawarah ulama Betawi itu adalah Penolakan terhadap Putusan Muktamar Alim Ulama di Palembang, yang tertuang dalam risalah sebanyak empat belas halaman dengan bahasa Indonesia, menggunakan aksara Latin dan Pego. Itu fakta sejarah, bahwa Muktamar Palembang itu tidak merepresentasikan aspirasi ulama atau umat Islam Indonesia," ungkap Gus Falah, yang juga Bendahara PBNU ini. 

Bamusi sendiri, sambung Gus Falah, sejatinya tak ingin mengorek-ngorek kembali konflik antar sesama pemimpin  atau tokoh bangsa di masa lalu. Seluruh tokoh bangsa baik Bung Karno, maupun tokoh-tokoh di Masyumi, NU, PNI, PSI, PARKINDO maupun Partai Katolik punya jasa besar bagi bangsa dan negara Indonesia.

"Karena itu, hendaknya semua pihak termasuk Haikal itu, tidak membuka kembali secara picik lembaran kelam berupa konflik para pemimpin bangsa di masa lalu, apalagi untuk kepentingan politik individu atau kelompok tertentu. Sebab itu bisa menimbulkan luka dan konflik kembali di masa kini, dimana yang dibutuhkan saat ini sejatinya adalah persatuan dan gotong-royong," ujar Gus Falah. 

Gus Falah pun menegaskan, fakta sejarah justru menunjukkan bahwa Bung Karno adalah pemimpin yang dekat dengan ulama.  Bung Karno sering menjadikan ulama sebagai tempat meminta nasihat, pandangan, dan saran terkait berbagai kebijakan penting soal bangsa dan negara.

Seperti ketika  merumuskan Pancasila, serta  menentukan hari untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Baca: Penuduh Jaran Kepang Syirik, Terinfeksi Virus Wahabi!

"Beberapa hari sebelum proklamasi kemerdekaan, Bung Karno sowan  pada Kiai Hasyim Asy’ari. Dan Kiai Hasyim Asy’ari pun memberi masukan, hendaknya proklamasi dilakukan hari Jumat pada Ramadhan. Jumat itu Sayyidul Ayyam (penghulunya hari), sedangkan Ramadhan itu Sayyidus Syuhrur (penghulunya bulan). Hari itu tepat 9 Ramadhan 1364 H, bertepatan dengan 17 Agustus 1945. Maka kemerdekaan Indonesia pun diproklamasikan di tanggal itu oleh Sukarno-Hatta," ujar Gus Falah.

Gus Falah pun mengungkapkan fakta sejarah,  ketika Bung Karno diberi gelar oleh Nahdlatul Ulama (NU) di tahun 1954.

“Bung Karno pada tahun 1954 diangkat sebagai Waliyy Al-Amr Al-Daruri Bi Al-Syaukah oleh NU, yang bermakna pemimpin nasional dalam keadaan darurat dengan kewenangan mutlak,” ujar Gus Falah.

"Sehingga, lagi-lagi, pernyataan Haikal atau siapapun yang menyebut Bung Karno memusuhi atau 'tukang penjarakan' ulama, sangat tidak berdasar dan menyesatkan!" pungkasnya.

Quote