Ikuti Kami

Bonnie Triyana Usulkan Sejarah dan Sastra Dijadikan Mata Pelajaran Wajib

Indonesia menghadapi tantangan serius dalam hal penguatan kapasitas kognitif generasi muda yang tergerus pola konsumsi konten medsos.

Bonnie Triyana Usulkan Sejarah dan Sastra Dijadikan Mata Pelajaran Wajib
Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana.

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, mengusulkan agar mata pelajaran Sejarah dan Sastra dijadikan mata pelajaran wajib dalam revisi Undang-Undang No 20 Tahun tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). 

Menurutnya, hal ini penting untuk meningkatkan minat membaca anak. 

“Saya mengusulkan mata pelajaran Sejarah dan Sastra itu menjadi wajib. Karena untuk meningkatkan gairah membaca dan meningkatkan kapasitas imajinasi berpikir, sekaligus kesadaran kognitif itu dari baca, dan baca itu melalui sastra, itu penting,” kata Bonnie dalam keterangan resminya, Selasa (12/8).

Menurut Bonnie, Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius dalam hal penguatan kapasitas kognitif generasi muda yang tergerus pola konsumsi konten media sosial. Dia menyoroti maraknya fenomena brain rot atau kondisi ketika kesadaran kognitif tidak lagi berkembang maksimal.

Baca: Ganjar Minta Publik Bersabar Akan Nama untuk Posisi Sekjen

“Bisa dibayangkan, dengan kebiasaan mengakses internet, kemudian mengonsumsi konten yang ada di media sosial itu, berbagai kajian sudah muncul,” katanya.

“Ada fenomena namanya brain rot, atau lama-lama kesadaran kognitif itu tidak bisa lagi maksimal. Karena kebiasaan menerima konten-konten yang macam-macam, yang sebetulnya cuma memuaskan dahaga emosinya saja,” imbuh Bonnie.

Usulan tersebut merupakan bagian dari komitmen komisi X DPR RI untuk memperjuangkan sistem pendidikan nasional yang tidak hanya menekankan capaian akademis, tetapi juga membentuk karakter dan daya pikir generasi penerus bangsa.

Adapun, dalam UU yang lama pelajaran wajib ada di pasal 37, namun pada RUU Sisdiknas yang tengah digodok DPR bersama Pemerintah, pada pasal baru sekalipun isinya tetap tidak mencantumkan sejarah dan sastra sebagai pelajaran wajib di sekolah. Untuk itu, Bonnie mendorong agar dua pelajaran ini masuk sebagai pelajaran wajib.

“Kami juga sedang ada Panja Sisdiknas. Saya termasuk di dalamnya bersama rekan-rekan di Komisi X. Saya juga mengusulkan kalau perlu, dan semoga pimpinan juga setuju, mata pelajaran Sejarah dan Sastra itu menjadi wajib. Karena untuk meningkatkan gairah membaca dan meningkatkan kapasitas imajinasi berpikir,” paparnya.

Berdasarkan data yang dia miliki, pada tahun 2025, Indonesia memiliki sekitar 212 juta penduduk dengan 74,6 persen di antaranya adalah pengguna internet dan 143 juta atau 50,2 persen merupakan pengguna media sosial aktif. Dari jumlah tersebut, 34 persen adalah Gen Z dan 30,62 persen merupakan generasi milenial yang aktif bermedia sosial.

“Kita menghadapi persoalan ini. Jadi, kita bicara soal tingkat literasi, kita bicara soal tingkat numerasi, sementara penguatan fundamental kognitifnya itu nggak terjadi. Salah satu solusinya tentu baca,” ucap Bonnie.

Bonnie juga menyoroti tingkat literasi membaca di Indonesia yang rendah di mana hal ini ditunjukkan dengan berbagai fenomena adanya siswa sekolah lanjut yang belum bisa membaca tulis dengan lancar.

Hal ini seperti menegaskan hasil temuan UNESCO yang menyebut bahwa hanya sekitar 0.001 persen atau satu dari seribu orang Indonesia yang memiliki minat baca.

Dalam rapat Komisi X DPR bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, beberapa waktu lalu, ada juga laporan soal siswa kelas siswa-siswa kelas 1-2 SMP di Serang, Banten yang belum bisa baca-tulis. Bahkan masih banyak siswa SMP di Kota Serang yang kesulitan menulis kata 'Indonesia Raya'.

Temuan serupa juga terjadi di Buleleng, Bali. Berdasarkan informasi, ratusan siswa di wilayah tersebut tak bisa membaca dengan lancar. Dari 34.062 siswa di Buleleng, sebanyak 155 siswa dinyatakan termasuk dalam kategori tidak bisa membaca (TBM). Sementara 208 siswa siswa termasuk dalam kategori tidak lancar membaca (TLM).

Untuk itu, Bonnie menggarisbawahi pentingnya menghidupkan kembali budaya membaca, seperti yang dilakukan di beberapa negara maju. Ia menjelaskan beberapa negara sudah membatasi akses media sosial untuk anak hingga memiliki program wajib membaca buku.

“Saya sebetulnya ingin mengusulkan seperti di negara Skandinavia itu kebiasaan untuk baca buku itu sekarang jadi mainstream lagi. Di Australia kita tahu penggunaan medsos dibatasi untuk usia dini dan peningkat remaja,” ucap Bonnie.

Bonnie menilai bahwa Indonesia bisa mencontoh beberapa negara maju untuk meningkatkan literasi anak, khususnya pada minat baca. Menurut Bonnie, diperlukan bentuk intervensi agar anak-anak bisa lebih mencintai buku sebagaimana program ini berhasil di era generasi sebelumnya.

“Di Skandinavia, anak muda, siswa sekolah wajib baca buku lagi sebagaimana generasi kita dulu. Di kita sekarang tidak lagi, dan budaya ini yang harus dikembalikan dengan berbagai pendekatan,” sebut Legislator dari Dapil Banten I itu.

Baca: Ganjar Tegaskan Haul Bung Karno Padukan Semangat Spiritual 

Sebagai tindak lanjut, Bonnie juga mendorong Perpustakaan Nasional agar lebih proaktif dalam menyelesaikan persoalan literasi, tidak sekadar menjalankan program yang bersifat simbolis.

“Perpustakaan Nasional ini harus proaktif, melakukan langkah-langkah yang sekiranya meningkatkan minat baca, harus bisa mencari celah persoalan ini, menyelesaikannya yang lebih mendasar lagi,” ungkap Bonnie.

“Kita sering ke daerah, perpustakaannya paling ditinggalin tapi ya, gitu-gitu aja. Nah ini harus dicari caranya seperti apa,” imbuhnya.

Dengan semangat menyambut HUT ke-80 RI, Bonnie berharap usul agar sejarah dan sastra menjadi pelajaran wajib di sekolah untuk semua jurusan dapat dipertimbangkan.

“Tentunya hal ini juga sekaligus membangun semangat nasionalisme untuk generasi muda di tengah tantangan zaman dan era disrupsi yang semakin pesat. Dasar-dasar kehidupan kita sebagai masyarakat Indonesia harus dibangun sedini mungkin agar menjadi fondasi bagi anak-anak kita,” tutup Bonnie.

Quote