Jakarta, Gesurj.id - Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Deni Wicaksono menegaskan pelarangan monopoli penjualan seragam di sekolah.
Penasihat Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur tersebut menuturkan solusi paling efektif menjawab persoalan ini bukan dengan melarang penjualan semata. Melainkan dengan membuka keran kebebasan pembelian seragam sekolah di mana saja.
Menurutnya, ini penting untuk menjaga persaingan sehat, mendorong pemerataan ekonomi, dan menghindari praktik monopoli yang kerap terjadi di lingkungan sekolah.
Baca: Koster Minta Dukungan DPR RI agar Daerah Wisata Dapat Insentif
"Kami menilai, membuka akses bebas membeli seragam di luar koperasi sekolah akan jauh lebih efektif untuk pemerataan ekonomi. Masyarakat bisa memilih penjahit atau toko seragam lokal dengan harga yang lebih terjangkau," ungkap Deni Wicaksono, dikutip Minggu (6/7/2025).
Deni yang juga Ketua PA GMNI Jatim tersebut menuturkan, telah menerima berbagai laporan dari masyarakat. Salah satunya dari wilayah Trenggalek, terkait praktik mewajibkan pembelian seragam melalui koperasi sekolah dengan harga yang dianggap sangat mahal.
"Kami mendapatkan aduan di Trenggalek, ada sekolah yang mewajibkan siswanya membeli seragam hanya di koperasi sekolah. Harganya luar biasa mahal, padahal banyak masyarakat yang sudah terbebani dengan sumbangan melalui komite sekolah," jelasnya.
Ia menekankan dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi, pembebanan biaya tambahan dalam bentuk seragam mahal tanpa adanya pilihan alternatif justru menciptakan diskriminasi ekonomi di lingkungan pendidikan.
Diketahui, pada akhir 2023 lalu, Gubernur Jawa Timur telah mencabut moratorium penjualan seragam di sekolah. Artinya, sejak 2024, koperasi sekolah kembali dibolehkan menjual seragam kepada siswa.
Namun, pencabutan moratorium ini tidak diimbangi dengan sistem pengawasan yang ketat. Deni menyebut, Dinas Pendidikan Jawa Timur seakan-akan lepas tangan, dan menyerahkan seluruh pengelolaan kepada masing-masing satuan pendidikan.
"Dinas Pendidikan cenderung melindungi atau setidaknya membiarkan praktek jual beli seragam ini berjalan tanpa kontrol. Ini sangat kami sayangkan," ujarnya.
Baca: Yudha Gelar Reses di Desa Haurpanggung
Padahal, selama masa moratorium, penjualan seragam memang sempat melambat, tetapi laporan Fraksi PDI Perjuangan mencatat bahwa pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran tetap sangat lemah. Situasi ini tidak banyak berubah meski moratorium dicabut.
"Moratorium dulu cukup efektif memperlambat penjualan seragam melalui koperasi, tetapi dalam jangka panjang tetap tidak menyelesaikan akar masalahnya, yaitu ketimpangan harga dan ketiadaan kontrol," imbuhnya.
Karena itu, Deni meminta Pemprov untuk segera menyusun kebijakan alternatif yang memperbolehkan siswa membeli seragam di luar koperasi sekolah, selama tetap memenuhi standar warna dan desain yang ditetapkan.
"Ini akan menciptakan iklim persaingan sehat. Masyarakat bisa memilih sendiri toko atau penjahit seragam, sehingga terjadi pemerataan ekonomi lokal. Ini jauh lebih adil ketimbang sistem tertutup yang monopolis seperti sekarang," pungkasnya.