Ikuti Kami

DPR Tegaskan Indonesia Terapkan Politik Bebas Aktif

Indonesia menganut asas Politik Bebas Aktif untuk ikut serta menjaga ketertiban dunia.

DPR Tegaskan Indonesia Terapkan Politik Bebas Aktif
Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan.

Jakarta, Gesuri.id - DPR RI menyatakan bahwa Pasal 5 dalam Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang mencantumkan frasa “oleh warga negara Indonesia” dinilai tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Sebab, Indonesia menganut asas Politik Bebas Aktif untuk ikut serta menjaga ketertiban dunia.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan secara daring dalam acara mendengarkan keterangan DPR RI dan Presiden Republik Indonesia perihal Pengujian Materiil UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Jakarta, Senin (28/11). 

Baca: PDI Perjuangan Tegaskan Tak Miliki Kepentingan Dalam RKUHP

Dirinya pun menekankan politik Bebas Aktif yang dianut Indonesia adalah citra dari Pancasila.

“Konsep politik luar negeri indonesia yang Bebas Aktif merupakan gambaran usaha indonesia untuk membantu terwujudnya perdamaian dunia. Tujuan dari politik Bebas Aktif Indonesia, yaitu menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan kemerdekaan bangsa, menjaga netralitas Indonesia di kancah internasional dengan tetap aktif dalam menciptakan perdamaian dunia, dan memperbaiki persaudaraan antarbangsa sendiri sebagai citra dari semangat Pancasila,” ucap Arteria.

Mewakili DPR RI, ia menerangkan, terkait mekanisme pelanggaran HAM berat, Indonesia meyakini bahwa setiap negara memiliki masing-masing yurisdiksi. Sehingga, sebutnya, setiap kejahatan yang terjadi di wilayah negara tersebut merupakan wewenangnya sehingga tidak dapat dipaksakan secara internasional.

“Tentang keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat, DPR berpandangan hak korban pelanggaran HAM berat telah dijamin oleh perundang-undangan maupun hukum HAM Internasional. Terkait WNA yang melakukan pelanggaran berat di luar negeri untuk diadili di Indonesia, hal yang paling mungkin dilakukan pemerintah Indonesia adalah menangkal kedatangan pelaku pelanggaran HAM berat dengan deportasi ke negara asalnya,” tandas Politisi PDI-Perjuangan ini.

Baca: Arteria: Tak Ada Lagi Alasan Menunda Pengesahan RKUHP

Sebagai informasi, saat ini Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana pengujian materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di mana, gugatan tersebut diajukan oleh mantan Jaksa Agung periode tahun 1999-2001 Marzuki Darusman, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, dan Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ika Ningtyas.

Gugatan tersebut berisi permintaan untuk menguji frasa ‘oleh warga negara Indonesia’ dalam pasal 5 UU Nomor 26 Tahun 2000 yang tertulis “Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia."

Masing-masing ketiga pemohon tersebut menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut juga dianggap tidak sesuai dengan amanat UUD 1945. Sehingga, frasa ‘warga negara Indonesia’ dalam pasal 5 UU Nomor 26 Tahun 2000 dinilai bisa membatasi penegakan hak asasi manusia, baik dari sisi korban maupun pelaku kasus HAM berat.

Quote