Jakarta, Gesuri.id - Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan di tengah ketidakpastian global menuai apresiasi dari kalangan legislatif.
Anggota Komisi XI DPR RI, Harris Turino, menyebut langkah BI sebagai keberanian untuk mengambil posisi independen yang sesuai dengan kepentingan domestik, bukan sekadar mengikuti tekanan eksternal, termasuk dari Amerika Serikat.
“BI menunjukkan bahwa mereka tidak tunduk pada tekanan Amerika. Mereka memilih kebijakan berdasarkan kondisi riil dalam negeri, bukan sekadar mengikuti The Fed,” ujar Harris Turino merespons hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20-21 Mei 2025.
BaCa: Ganjar Ungkap Hal Ini Akan Usulan Solo Jadi Kota Istimewa
RDG memutuskan menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,50%, Deposit Facility menjadi 4,75%, dan Lending Facility menjadi 6,25%. Kebijakan ini dipandang sejalan dengan inflasi yang rendah dan kebutuhan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut Harris, keputusan BI tidak berdiri sendiri, melainkan dibarengi oleh bauran kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran yang terintegrasi.
Ia menyoroti langkah BI dalam memperkuat intervensi di pasar valuta asing, pelonggaran rasio likuiditas, serta ekspansi sistem pembayaran digital dan QRIS antarnegara sebagai bagian dari upaya komprehensif yang progresif.
“Langkah seperti memperluas QRIS antarnegara adalah bentuk keberanian untuk memperkuat ekonomi digital kita sendiri. Ini penting untuk UMKM dan perdagangan lintas batas. Tidak semua negara berani ambil langkah ini,” tegas Harris.
Namun demikian, Harris juga menekankan bahwa sejumlah catatan kritis tetap harus diperhatikan. Ia mempertanyakan efektivitas transmisi penurunan suku bunga ke sektor riil, yang sering kali tidak langsung terasa oleh masyarakat dan pelaku usaha.
“Kita harus jujur, transmisi ke sektor riil sering lambat. Apakah bank akan langsung turunkan bunga kredit? Apakah masyarakat bisa langsung akses kredit produktif? Ini harus diawasi,” ujarnya.
Selain itu, ia menilai risiko eksternal tetap harus diwaspadai, terutama terkait nilai tukar rupiah. “Volatilitas global masih tinggi. Walaupun BI bilang komit menjaga rupiah, eksposur kita terhadap gejolak global itu nyata,” kata Harris.
Ia juga mengingatkan perlunya inovasi kebijakan moneter ke depan, termasuk sinergi yang lebih konkrit antara fiskal dan moneter.
BaCa: Ganjar Pastikan PDI Perjuangan Siap Upgrade Kurpol Perempuan
“Kita butuh koordinasi fiskal-moneter yang operasional, bukan hanya slogan sinergi. Misalnya, bagaimana program Asta Cita disokong lewat bauran kebijakan nyata,” ujarnya.
Harris juga menyoroti pentingnya pemerataan infrastruktur digital agar digitalisasi sistem pembayaran tidak hanya dinikmati kawasan perkotaan. “Transformasi digital jangan sampai elitis. Di luar Jawa, banyak yang belum siap. Pemerintah dan BI harus dorong infrastruktur dan literasi,” pungkasnya.
Secara keseluruhan, Harris menilai kebijakan BI kali ini sebagai wujud kehati-hatian yang berpihak pada pertumbuhan tanpa mengabaikan stabilitas. Namun, efektivitas kebijakan tetap sangat ditentukan oleh implementasi di lapangan serta kekompakan antar pemangku kebijakan.