Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi I DPRD Provinsi Bali dari Fraksi PDI Perjuangan, I Wayan Bawa, menyoroti peran Majelis Desa Adat (MDA) Bali yang dinilai mulai keluar dari fungsi utamanya.
Menurutnya, MDA bukanlah lembaga struktural di atas desa adat, melainkan hanya forum koordinasi antardesa adat di Bali.
"MDA itu hanya forum koordinasi, seperti forum perbekel di desa dinas. Desa adat tidak berada di bawah forum. Atasan desa adat itu ya Ida Bhatara Kahyangan Tiga dan krama desa, bukan MDA," tegas Wayan Bawa, dikutip dari balinews.id, Minggu (31/8).
Pernyataan ini dilontarkannya menyikapi maraknya persepsi bahwa MDA memiliki kewenangan mengatur bahkan mengangkat dan memberhentikan bendesa adat. Menurutnya, hal itu keliru dan bertentangan dengan nilai-nilai keadilan desa adat yang bersumber dari krama.
Sebagai Bendesa Adat Seseh, Bawa mengaku tidak pernah dilantik oleh MDA, namun tetap menerima SK penyampaian dari lembaga tersebut. Apalagi karena tidak mengikuti pola yang diharapkan MDA, dana BKK sebesar Rp100 juta untuk desanya tidak dicairkan.
Lebih jauh lagi, ia juga menyerap munculnya gelar seperti “Bendesa Agung” di tubuh MDA.
"Logikanya kalau forum, ya dipimpin oleh ketua forum yang jelas diambil dari banddesa-bandesa aktif. Tapi sekarang muncul 'ratu-ratu' entah dari mana. Siapa yang pilih? Mungkin hanya kelompok kecil. Kami di bawah ini tidak pernah tahu prosesnya," ujarnya.
Untuk menghindari polemik berkelanjutan, Wayan Bawa berencana mengusulkan pembahasan khusus di Komisi I DPRD Bali dengan mengundang pihak MDA dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD). Hal ini memastikan tidak ada benturan aturan antara Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat dengan UU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali.
Seperti diketahui, Bendesa memiliki arti kepala atau pemimpin tertinggi dalam institusi Desa Adat, terutama di Bali, bertanggung jawab mengurus dan menjalankan pemerintahan desa sesuai hukum adat setempat.