Ikuti Kami

Indonesia Berpotensi Jadi Produsen Akuakultur Terbesar

Dengan penghasilan 100 juta ton/tahun, dan saat ini baru diproduksi sekitar 17 juta,

Indonesia Berpotensi Jadi Produsen Akuakultur Terbesar
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Rokhmin Dahuri.

Ternate, Gesuri.id - Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Rokhmin Dahuri mendukung Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, Sakti Wahyu Trenggono dalam mewujudkan Perikanan Budidaya sebagai sektor unggulan (leading sector) dan penghela (prime mover) perekonomian nasional menuju Indonesia Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat paling lambat pada 2045.

“Seperti Bapak Menteri sampaikan di berbagai kesempatan sejak dilantik sebagai Menteri KKP oleh Presiden RI pada 23 Desember 2020, yakni Indonesia sangat berpotensi untuk menjadi produsen komoditas akuakultur terbesar di dunia, khususnya udang Vaname, pada 2024 dan itu sudah sejak 2009 Indonesia sudah menjadi produsen akuakultur terbesar kedua di dunia,” ujar Rokhmin melantik pengurus MAI Koordinator Daerah (Korda) Maluku Utara (Malut) periode 2021-2045, di Kampus Unkhair, Ternate, Selasa (8/2).

Berdasarkan surat Keputusan (SK) pengurus pusat MAI nomor: 07/Kep.PPMAI/KORDA-08/XII/2021, pengurus MAI Malut yang dikukuhkan yaitu: Ketua Dewan Pengarah Abdullah Assagaf, Ketua MAI Muhammad Aris, Wakil Ketua I Asmar Hi Daud, Wakil Ketua II Mufti Abd Murhum, Sekretaris I Tamrin, Sekretaris II Taufiq Abdullah, Bendahara I Ridwan Arsan, Bendahara II Fahmi Djafar.

Baca: Bersiap, Banteng Malut Siap Miliki Kantor Baru

Lebih lanjut, Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 itu mengungkapkan, potensi produksi akuakultur Indonesia terbesar di dunia. Dengan penghasilan 100 juta ton/tahun, dan saat ini baru diproduksi sekitar 17 juta ton (17%). 

“Jadi target Menteri KKP untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen akuakultur terbesar di dunai adalah sebuah keniscayaan,” katanya.

Menurut Rokhmin selain pertumbuhan ekonomi, ketahanan pangan, lapangan pekerjaan, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan pembangunan wilayah. “Sektor perikanan budidaya ke depan juga akan mampu berkontribusi bagi kedaulatan/ketahanan farmasi, energy, dan barang serta jasa lain yang dibutuhkan oleh umat manusia,” tuturnya.

Dalam kesempatan tersebut, Rokhmin menyampaikan informasi, MAI adalah organisasi profesi di bidang perikanan budidaya (Aquaculture) yang bersifat non-profit dan independen tingkat nasional. Hingga saat ini jumlah anggota MAI mencapai lebih dari 1.000 orang, organisasi, asosiasi, dan lembaga yang tersebar di seluruh Indonesia.

“Anggota MAI dari tingkat nasional sampai provinsi (Korda) yang berjumlah ribuan orang itu terdiri dari berbagai elemen, yaktni: peneliti, dosen, praktisi, pengusaha, pegawai pemerintah, wartawan, dan organisasi atau asosiasi, dan MAI sendiri dideklarasikan pada tanggal 30 Oktober 2011 di Universitas Dipenogoro, Semarang, Jawa Tengah,” terang Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Selain itu, lanjutnya, MAI juga bertujuan untuk pendorong dan pendukung utama pembangunan akuakultur nasional yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas, berkontribusi siginifikan bagi kedaulatan/ketahanan pangan, dan mensejahterakan rakyat secara berkeadilan, ramah lingkungan.

Ditempat yang sama, dalam Kuliah Umum Unkhair (Universitas Khairun) Hybrid, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University ini mengatakan, bahwa dampak perang Rusia vs Ukraina terhadap Indonesia mengakibatkan kenaikan harga minyak dan gas.

“Karena selain Rusia dan Ukraina merupakan dua negara produsen migas utama dunia, juga terganggunya transportasi dan rantai pasok global,” ujar Rokhmin dalam paparannya bertema “Positioning Unkhair Dalam Pembangunan Berbasis Ekonomi Biru, Ekonomi Digital, dan Pancasila Menuju Indonesia Emas 2045”.

Selanjutnya, kata Rokhmin, harga berbagai komoditas (raw materials) dan produk manufaktur asal impor (seperti gandum, kedelai, daging sapi, bijih besi, dan aluminium) meningkat tajam. “Meskipun kenaikan harga sejumlah komoditas (seperti CPO, batubara, dan nikel) juga menguntungkan Indonesia,” katanya.

Kemudian, terang Rokhmin aktivitas perdagangan (ekspor – impor) terganggu, karena terganggumya rantai pasok dan logistik dunia. Komitmen untuk mengurangi emisi GRK dan penerapan Blue and Green Economy tampak mengendur.

“Sejarah dan fakta empiris membuktikan, bahwa bangsa yang maju, makmur, dan berdaulat sejak masa Kejayaan Romawi, Era Keemasan Umat Islam (Fathu Makkah 645 M – berakhirnya Khilafah Utsmaniyah Turki 1924 M), hingga hegemoni Kapitalisme (1924 M – sekarang) adalah mereka yang memiliki SDM berkualitas yang mampu menguasai, menghasilkan, dan menerapkan hasil riset (inovasi IPTEKS) dalam segenap aspek kehidupan bangsa nya,” tuturnya.

“Sayangnya, hampir semua indikator yang terkait dengan dengan kapasitas IPTEK, Riset, Inovasi, dan Kualitas SDM kita bangsa Indonesia, itu masih rendah (tertinggal),” sambung Honorary Ambassador of Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, South Korea itu.

Bahkan, kata Rokhmin, Indonesia sebagai negeri terjajah secara politik-ekonomi berawal dari digantikannya UU No.5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dengan beberapa UU yang berwatak kapitalistis, yakni UU No. 11/1970 tentang Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan, dan UU Kehutanan yang membebaskan investor asing dan konglomerat nasional untuk mengeksploitasi ESDM dan hutan secara besar-besaran, yang sebagian besar ‘economic rent’ nya dinikmati oleh korporasi asing/MNC (Freeport, Newmont, Cevron, Inpex, Korindo, dll), konglomerat Indonesia, dan pejabat komprador (OLIGARKI).

Baca: Koster Apresiasi Garuda Kembali Layani Sydney-Denpasar

Padahal, terangnya, UUPA sangat berpihak pada rakyat, khususnya petani, dan anti kapitalis. “Revolusi (demokrasi) Indonesia tanpa land reform, sama saja dengan gedung tanpa pondasi, sama saja pohon tanpa akar/batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi.  Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan. Tanah untuk petani.  Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah” (Pidato Presiden Soekarno, 1965).

Hingga 2021, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-87 dari 132 negara, atau ke-7 di ASEAN. Bahkan, World Digital Competitiveness  pada 2021, Indonesia berada pada urutan ke-53 dari 64 negara. Begitu pula, Global Entrepreneurship Index Hingga 2019, Indonesia berada diurutan ke-75 dari 137 negara atau peringkat ke-6 di ASEAN.

Penyebab Ketertinggalan Indonesia secara internal antara lain: Belum ada “Road Map Pembangunan Nasional yang Komprehensif, Tepat, dan Benar” yang dilaksanakan secara berkesinambungan; Kualitas SDM (knowledge, skills, expertise, kapasitas inovasi, etos kerja, nasionalisme, dan akhlak) relatif rendah.

“Sementara, secara eksternal, sistem politik demokrasi liberal (Kapitalisme) yang sarat dengan politik uang dan kemunafikan, ketidak-adilan penegakkan hukum, dan KKN massif; Belum ada pemimpin yang capable, negarawan, IMTAQ kokoh, dan ikhlas membangun bangsa,” ujar Menteri Kelautaran dan Perikanan Kabinet Gotong Royong itu.

Quote