Jakarta, Gesuri.id - Anggota Balitbang PDI Perjuangan Kanti W Janis kembali menanggapi penyegelan batu Satangtung di Kawasan Curug Goong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kuningan, awal pekan ini.
Baca: Segel Makam Sunda Wiwitan, Pemda Bermitra Dengan Preman
Batu Satangtung itu sendiri merupakan bakal makam Pangeran Djatikusumah, pupuhu Komunitas Adat Sunda Wiwitan yang berpusat di Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan.
Kanti menegaskan, setelah peristiwa penyegelan itu, Pemda, pemprov maupun pemerintah pusat seharusnya jangan sekali-sekali "berjualan" pariwisata berbasis kebudayaan nusantara. Sebab, terbukti negara tidak bisa melindungi komunitas penjaga adat, sebagaimana yang terjadi dengan komunitas Sunda Wiwitan Cigugur itu.
"Kebudayaan nusantara dan adat istiadat bukan komoditi semata!" ujar Kanti.
Kanti pun melontarkan saran sekaligus sindiran kepada pemerintah. Menurutnya, sebaiknya pemerintah "menjual" saja trend atau budaya 'Sahara'.
Kanti meminta pemerintah memasang poster "prostitusi halal" ala Puncak, kemudian mengabarkannya pada dunia.
"Jangan pasang poster penari-penari tradisional, pantai exotic tapi pas ke sana dirazia ormas karena pakai celana pendek," sindir Kanti.
Seperti diketahui, aksi penyegelan batu Satangtung oleh Pemda Kuningan itu didukung oleh ribuan massa dari kelompok-kelompok radikal, seperti FPI, LPI, Gardah, Markaz Harokah Aswaja, dan Harokatul Muslimin.
Bangunan Batu Satangtung ditanah milik Komunitas Adat Sunda Wiwitan itu disegel oleh Pemda Kuningan dengan alasan bakal makam itu tidak memiliki kelengkapan izin mendirikan bangunan (IMB).
Padahal menurut pendapat komunitas Adat Sunda Wiwitan yang dibenarkan oleh ahli hukum, bangunan makam itu tidak memerlukan IMB.
Baca: Soal Kue Klepon, Bersiap Indonesia Jadi Truly Sahara
Namun begitu, pihak Paseban Tri Panca Tunggal tetap berupaya mengajukan IMB. Tapi justru ditolak pihak Pemda Kuningan, dalam hal ini Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dengan alasan belum ada juklak dan juknisnya.
Selain itu, berbagai ormas keagamaan radikal ikut menolak pembangunan makam karena khawatir makam itu menjadi tempat pemujaan. Padahal, sejak dahulu, fakta menunjukkan komunitas Sunda Wiwitan Cigugur tak pernah memiliki tradisi pemujaan terhadap makam.