Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IV DPR RI, Paolus Hadi, menegaskan penguatan kelembagaan dan kemitraan strategis adalah kunci untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan keberlanjutan industri sawit.
Hal ini disampaikannya dalam acara seminar dan peringatan ulang tahun APKS Keling Kumang di Kabupaten Sekadau pada 12 September 2025.
Dengan sekitar 40% dari total areal kelapa sawit Indonesia dikelola oleh petani kecil, mereka kerap menghadapi kendala dalam hal akses teknologi, modal, dan pasar.
Penguatan kelembagaan, menurut Paolus Hadi, tidak hanya berfokus pada produksi, tetapi juga pada peningkatan kesejahteraan, keberlanjutan lingkungan, dan daya saing global.
Kelembagaan yang kuat dapat menjembatani petani kecil dengan pasar global, serta menyediakan layanan teknis, finansial, dan manajerial yang mereka butuhkan.
Dalam materinya, Paolus Hadi memaparkan tiga strategi utama yang dapat diterapkan kelembagaan untuk menyejahterakan petani sawit:
Peningkatan Kapasitas Produksi: Kelembagaan berperan menyediakan pelatihan budidaya yang baik (Good Agricultural Practices/GAP). Contohnya, Koperasi Sawit Sejahtera di Riau berhasil melatih 2.500 petani, yang menghasilkan peningkatan produktivitas rata-rata 15% dan kenaikan harga jual 8%.
Akses Permodalan dan Teknologi: Kelembagaan memfasilitasi akses petani terhadap kredit dengan bunga kompetitif melalui program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Koperasi Multi Guna Harapan Jaya di Kalimantan Tengah berhasil menyalurkan kredit senilai Rp15 miliar kepada 800 anggotanya.
Jaminan Pasar dan Stabilisasi Harga: Kelembagaan memfasilitasi kontrak jangka panjang antara petani dan pabrik kelapa sawit (PKS). Hal ini memberikan kepastian penjualan hasil panen dan harga yang lebih stabil.
Selain kelembagaan, Paolus Hadi menekankan pentingnya kemitraan dengan berbagai pihak. Kemitraan dengan perusahaan besar, seperti model inti-plasma, menciptakan sinergi dengan transfer teknologi, akses bibit unggul, dan dukungan infrastruktur.
Dirinya Menyebutkan Contoh, PT Astra Agro Lestari, melalui kemitraan dengan 15.000 petani, mencapai produktivitas rata-rata 24 ton TBS/ha/tahun, di atas rata-rata nasional sebesar 18 ton.
Selain itu, kemitraan horizontal antar koperasi dan kemitraan dengan pemerintah juga memperkuat posisi petani.
Program pemerintah seperti bantuan replanting dari BPDPKS dan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) gratis sangat membantu petani.
ISPO sendiri, sebagai standar sertifikasi berkelanjutan, membuka akses petani ke pasar ekspor yang semakin mensyaratkan produk berkelanjutan,
“seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat. Produk bersertifikat ISPO juga berpotensi mendapatkan harga premium 3-5% di pasar internasional, yang memberikan insentif ekonomi bagi petani” tambahnya.
Di akhir paparannya, Paolus Hadi menyebutkan tantangan utama seperti keterbatasan SDM dan fragmentasi kepemilikan lahan yang menyulitkan penerapan teknologi modern.
“Solusinya termasuk program capacity building dan pengembangan model collective farming” ungkapnya.
Ia juga merekomendasikan digitalisasi dan inovasi sebagai kunci transformasi kelembagaan kelapa sawit di masa depan. Contohnya, aplikasi “SawitKu” yang dikembangkan di Kalimantan Selatan digunakan oleh 3.000 petani untuk memantau kebun dan mengakses harga real-time.
Dengan penguatan kelembagaan dan kemitraan, Paolus Hadi optimistis petani kelapa sawit dapat mengakses teknologi modern, permodalan memadai, dan pasar yang menguntungkan, sehingga dapat mengangkat derajat hidup mereka.

















































































