Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, menyampaikan sejumlah catatan strategis dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI bersama Menteri Pertanian Republik Indonesia, Senin (24/11).
Dalam rapat tersebut, ia menekankan pentingnya arah pembangunan pertanian yang berkelanjutan demi ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.
"Keberhasilan tersebut tidak boleh membuat pemerintah lengah, melainkan menjadi momentum untuk memperkuat ketahanan pangan nasional di tengah tantangan global seperti perubahan iklim, krisis energi, dan gejolak geopolitik," tegas Rektor Universitas UMMI Bogor ini.
Prof. Rokhmin menilai capaian swasembada beras dalam beberapa tahun terakhir adalah prestasi besar yang harus dilanjutkan dengan kebijakan nyata di lapangan.
Namun ia menekankan bahwa keberhasilan ini tidak akan berarti jika petani sebagai pelaku utama tidak mendapatkan pendapatan yang layak. Menurutnya, peningkatan kesejahteraan merupakan fondasi utama keberlanjutan sektor pertanian.
“Petani harus menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek. Kesejahteraan mereka adalah fondasi bagi keberlanjutan sektor pertanian,” ujarnya.
Ia juga menyoroti perlindungan lahan pertanian dari alih fungsi yang semakin masif. Menurut Prof. Rokhmin, tata ruang nasional harus memberikan prioritas bagi kepentingan produksi pangan, agar lahan subur tidak terus tergerus oleh pembangunan permukiman maupun industri. Selain itu, ia menekankan pentingnya tata kelola komoditas sawit yang lebih terukur, transparan, serta memberikan nilai tambah bagi masyarakat.
Menteri Kelautan dan Perikanan 2001–2004 itu juga menyinggung efektivitas Satgas PKH dan Danantara, yang menurutnya harus dikelola lebih terintegrasi agar pelaksanaan perlindungan sosial serta pemberdayaan masyarakat desa benar-benar berdampak nyata.
Dalam paparannya, Prof. Rokhmin menyampaikan apresiasi kepada Kementerian Pertanian atas sejumlah indikator positif yang berhasil dicapai. Ia menyebut bahwa Indonesia diperkirakan mencapai swasembada beras tahun ini, dengan selisih produksi yang lebih tinggi daripada konsumsi nasional. Ia juga menilai realisasi anggaran yang mencapai lebih dari 70 persen di Oktober, dan diperkirakan 93,8 persen di akhir tahun, telah memenuhi nilai baik dalam standar BPK.
Namun, ia mengingatkan bahwa peningkatan angka Nilai Tukar Petani (NTP) tidak bisa menjadi satu-satunya tolok ukur kesejahteraan. Berdasarkan data resmi, pendapatan petani saat ini masih berada di sekitar Rp2,4 juta per bulan, jauh dari standar kesejahteraan yang dipatok Bank Dunia.
Ia menyebut, petani sejahtera harus memiliki pendapatan sekitar Rp7,5 juta per bulan. Karena itu, peningkatan pendapatan riil petani harus menjadi agenda besar pemerintah dan DPR dalam periode mendatang.
Di sisi lain, Prof. Rokhmin mengingatkan bahwa swasembada pangan tidak boleh berhenti pada beras. Masih ada komoditas strategis lain yang dinilai memiliki potensi besar seperti jagung, kedelai, gula, hingga daging sapi. Ia meyakini bahwa selama kepemimpinan Menteri Pertanian saat ini yang mendukung penuh program Presiden, target tersebut sangat mungkin dicapai.
Dalam konteks ketahanan pangan, ia juga mengingatkan bahwa surplus hasil panen tahun ini dipengaruhi oleh kondisi iklim yang relatif bersahabat. Namun perkembangan musim ke depan, terutama jika terjadi El Niño panjang, perlu diantisipasi dengan langkah mitigasi yang matang.
Masalah varietas tanaman tahan iklim juga menjadi perhatian. Dari kunjungan lapangan di Bali, Prof. Rokhmin menyebut belum menemukan inovasi varietas padi dan komoditas lain yang benar-benar tahan terhadap tekanan iklim. Ia menilai, pengembangan varietas di bidang ini sangat penting, bukan hanya untuk beras tetapi untuk seluruh komoditas strategis.
Selain itu, ia memberikan perhatian pada persoalan luas lahan petani yang semakin mengecil. Rata-rata kepemilikan lahan padi di Pulau Jawa kini hanya 0,4 hektar, sementara kebutuhan ekonomis minimal mencapai 2 hektar agar petani dapat memenuhi standar penghasilan yang layak. Ia mencontohkan kebijakan pertanian di China yang berhasil mengendalikan lahan pertanian mereka sejak 1978 agar tidak berubah fungsi.
Penurunan kualitas tanah akibat pemakaian pupuk kimia jangka panjang juga menjadi kekhawatiran. Ia mendorong agar Indonesia kembali memperkuat penggunaan pupuk organik yang terbukti mampu menjaga kualitas tanah dalam jangka panjang. Ia menegaskan bahwa produsen pupuk organik perlu diaudit agar kualitas pupuk di lapangan terjamin.
Terkait rantai pasok pangan, Prof. Rokhmin menilai masih terjadi ketidakteraturan harga yang berdampak pada pendapatan petani. Ia meminta agar sistem distribusi pangan dikelola secara lebih terintegrasi agar harga di tingkat petani dan pasar lebih stabil.
Ia juga menyentuh persoalan irigasi, bantuan alsintan, dan serangan hama yang masih banyak ditemukan di berbagai daerah. Perbaikan di bidang ini disebutnya akan sangat memperkuat kinerja pertanian nasional.
Dalam konteks industri sawit, Prof. Rokhmin mengingatkan bahwa komoditas tersebut masih menjadi penopang utama neraca perdagangan Indonesia. Ia mengkritik kebijakan Satgas PKH yang dianggap menindak perusahaan sawit tanpa diferensiasi yang jelas, sehingga perusahaan yang sudah baik tetap terkena dampak.
Ia mendorong agar penegakan hukum dilakukan secara selektif, adil, dan berbasis data lapangan agar tidak merusak sumber pertumbuhan ekonomi nasional yang sudah ada.
Secara keseluruhan, Prof. Rokhmin menegaskan bahwa sektor pertanian adalah tumpuan utama saat banyak sektor industri mengalami tekanan. Jika sektor ini gagal dijaga, maka dampaknya akan dirasakan seluruh rakyat.
Dengan berbagai catatan tersebut, ia menekankan pentingnya komitmen bersama antara pemerintah dan DPR untuk mengawal kebijakan pertanian agar berbasis bukti, menyejahterakan petani, menjaga lingkungan, dan memperkuat posisi Indonesia dalam ekonomi pangan global.

















































































