Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, menegaskan bahwa kondisi ketahanan pangan nasional Indonesia saat ini sangat rapuh dan memerlukan transformasi regulasi secara menyeluruh.
Hal ini disampaikannya dalam Webinar Nasional yang diselenggarakan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) melalui Bidang III IPTEK, Agromaritim, dan Lingkungan Hidup bersama LBH ICMI, Jumat malam (11/7/2025).
Webinar bertajuk “Transformasi Regulasi Pangan untuk Mewujudkan Swasembada yang Berkelanjutan” ini dibuka oleh Ketua Umum ICMI, Prof. Dr. Arif Satria, dan menghadirkan sejumlah tokoh nasional seperti Menteri Pertanian Dr. Ir. Andi Amran Sulaiman, Wakil Ketua ICMI Prof. Dr. Mohammad Jafar Hafsah dan Direktur LBH ICMI Dr. Yulianto Syahyu. Moderator webinar adalah anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika.
Dalam pemaparannya, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan bahwa pangan merupakan elemen vital dalam pembangunan manusia dan kemajuan bangsa.
“You are what you eat bukan sekadar slogan, tetapi prinsip pembangunan berkelanjutan,” tegas Rektor Universitas UMMI Bogor itu.
Ia menyoroti lima tantangan dan potensi pangan nasional, sekaligus menekankan pentingnya peran pangan dalam menentukan kualitas SDM dan kedaulatan bangsa.
“Pangan adalah kebutuhan dasar paling hakiki yang sangat menentukan status gizi, kesehatan, dan kecerdasan individu, serta kemajuan sebuah bangsa,” jelasnya.
Menurutnya, jika kekurangan pangan dan gizi buruk terjadi secara luas, maka Indonesia berisiko mewariskan generasi yang lemah dan tidak produktif.
“Dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju, sejahtera, dan berdaulat,” tegas Rokhmin.
Lebih jauh, ia juga mengaitkan isu pangan dengan ketidakstabilan politik yang pernah terjadi di beberapa negara akibat krisis pangan.
“Kelangkaan dan meroketnya harga bahan pangan acap kali menimbulkan instabilitas politik yang berujung pada pelengseran Kepala Negara, seperti yang terjadi di Haiti, Pakistan, Meksiko, Argentina, Nigeria, Mesir, dan Tunisia pada tahun 2008,” ujarnya.
Ia menambahkan, permintaan pangan global terus meningkat sementara suplai cenderung menurun akibat alih fungsi lahan, krisis ekologis, tensi geopolitik, dan pembatasan ekspor pangan oleh negara produsen.
“Pangan adalah hidup & matinya sebuah bangsa,” tandasnya, mengutip semangat Bung Karno.
FAO (2000), sebut Rokhmin, menyatakan bahwa negara dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta jiwa tidak mungkin sejahtera jika pemenuhan pangannya tergantung dari impor.
“Ditambah data dari Kementan, bahwa sektor pertanian/pangan menyerap sekitar 36% angkatan kerja dan menyumbang sekitar 15% PDB,” ujar anggota Dewan Pakar ICMI itu.
Menurutnya, Indonesia punya potensi besar untuk mencapai swasembada dan menjadi lumbung pangan dunia. Namun, berbagai permasalahan struktural dan regulasi membuat kinerja sektor pangan masih jauh dari optimal. Ia merinci 15 masalah utama, di antaranya:
1. Mayoritas buruh tani dan nelayan masih hidup dalam kemiskinan.
2. Usaha pangan berskala kecil masih tradisional dan tidak efisien.
3. Minimnya kolaborasi antara korporasi pangan besar dengan UMKM.
4. Petani dan nelayan tidak menikmati keuntungan terbesar dari sektor pangan.
5. Hilirisasi pangan rendah, nilai tambah kecil.
6. Alih fungsi lahan terus terjadi, menurunkan rasio lahan terhadap penduduk.
7. Sulitnya akses UMKM ke sarana produksi berkualitas.
8. Kekurangan bibit, benih unggul, dan pakan berkualitas.
9. Tidak adanya jaminan pasar dengan harga ekonomis.
10. Infrastruktur dasar dan pertanian belum memadai.
11. Adanya mafia pangan yang mengandalkan impor.
12. Dampak perubahan iklim global yang makin nyata.
13. Akses pembiayaan sektor pangan masih lemah.
14. SDM pertanian yang menua dan kualitasnya rendah.
15. Kebijakan moneter, fiskal, dan investasi yang kurang kondusif.
Dengan paparan ini, Prof. Rokhmin Dahuri menekankan urgensi reformasi regulasi dan tata kelola sektor pangan secara total. Ia mengajak semua pihak untuk bergandengan tangan mewujudkan kedaulatan pangan nasional yang berkelanjutan.