Ikuti Kami

Safaruddin: RUU KUHAP Perlu Kesatuan Tafsir dan Standar Penerapan Restorative Justice

Safaruddin menyatakan saat ini masih terjadi perbedaan penerapan RJ antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

Safaruddin: RUU KUHAP Perlu Kesatuan Tafsir dan Standar Penerapan Restorative Justice
Anggota Komisi III DPR RI, Safaruddin.

Jakarta, Gesuri.id - Komisi III DPR RI menegaskan perlunya kesatuan tafsir dan standar penerapan restorative justice (RJ) dalam Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak.

Anggota Komisi III DPR RI, Safaruddin, menyatakan saat ini masih terjadi perbedaan penerapan RJ antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, karena masing-masing lembaga menggunakan aturan internal yang berbeda.

“Restorative justice ini implementasinya masih beda-beda. Di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, masing-masing punya aturan sendiri. Kita ingin dalam KUHAP nanti penafsirannya sama, tidak multitafsir lagi,” ujar Safaruddin dikutip Minggu (6/7).

Mantan Kapolda Kaltim itu menyebutkan bahwa penyidik kepolisian menggunakan peraturan Kapolri, kejaksaan berpegang pada peraturan Jaksa Agung, dan pengadilan mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma), sehingga satu kasus bisa ditangani dengan pendekatan berbeda tergantung lembaganya.

“Padahal kita ingin semua sistem peradilan pidana, dari kepolisian, kejaksaan, sampai pengadilan, punya panduan yang sama. KUHAP baru harus jadi landasannya,” tegas Safaruddin.

Lebih lanjut, Safaruddin mendorong agar persyaratan penerapan RJ dalam KUHAP baru harus tertulis dan dibakukan secara nasional untuk menghindari penyimpangan dan menjaga prinsip keadilan.

“Persyaratannya nanti harus jelas. Tidak boleh lagi ada interpretasi sendiri-sendiri oleh penyidik, jaksa, atau hakim,” katanya.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Benny Utama menyoroti pentingnya menjadikan pemulihan hak korban sebagai elemen utama dalam keadilan restoratif.

“Keadilan tidak hanya soal pelaku dan aparat, tapi juga menyangkut martabat dan kerugian korban. Pemulihan korban harus jadi prinsip utama RJ,” kata Benny.

Ia menyoroti bahwa saat ini banyak kasus dinilai hanya dari nilai kerugian materiil, misalnya di bawah Rp2,5 juta tidak diproses ke pengadilan. Padahal, korban bisa saja mengalami trauma, tekanan moral, atau kehilangan rasa keadilan.

“Walau kerugiannya kecil, korban tetap merasa tidak adil. Harus ada ganti rugi atau pemulihan dulu sebelum RJ dianggap selesai,” jelasnya.

Baik Safaruddin maupun Benny sepakat bahwa RUU KUHAP harus menjadi satu-satunya payung hukum penerapan RJ secara nasional, agar seluruh aparat penegak hukum memiliki acuan yang seragam dan tidak terjadi bias perlakuan terhadap pelaku maupun korban.

“KUHAP baru harus jadi pedoman tunggal. Bukan hanya demi efisiensi penanganan perkara, tapi juga untuk menjamin keadilan restoratif yang sejati—adil bagi korban, pelaku, dan masyarakat,” pungkas Benny.

Quote