Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana atau RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) masih kurang partisipatif atau terbuka terhadap masukan publik.
Sebab, masih terjadi pro dan kontra terhadap beberapa isu krusial serta pasal-pasal dalam RUU KUHAP dari para pemerhati hukum dan elemen masyarakat lainnya.
“Kekhawatiran karena beberapa tema krusial yang terkait dengan pelindungan hak asasi manusia seperti upaya paksa dan hubungan pengawasan atau kewenangan, dirasa akan merugikan kepentingan publik. Namun, seperti apa sebenarnya proses perancangan dan penyusunan RUU KUHAP yang akan dilakukan di Komisi 3 DPR RI, serta apa yang masih menjadi perdebatan di masyarakat,” kata Wayan, pada Rabu (7/5/2025).
Ia menambahkan, urgensi pembaruan terhadap KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) merupakan hal yang telah berlangsung lama setelah kurang lebih 44 tahun berlaku.
Berbagai perkembangan dalam masyarakat terkait pelaksanaan sistem peradilan pidana telah jauh berjalan, dan tentunya membutuhkan pengaturan.
Selama ini, kata Wayan, perkembangan tersebut telah diakomodir dalam berbagai instrumen peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan MA, Peraturan Kapolri, Peraturan Kejaksaan, Surat Edaran MA, maupun UU khusus seperti UU KPK, UU Polri, UU Kejaksaan, UU Pemasyarakatan, UU Kekuasaan Kehakiman, hingga UU lain seperti UU TPPU dan lain sebagainya.
“Berbagai penyesuaian maupun penyimpangan terhadap KUHAP telah dilakukan untuk menjawab berbagai tantangan dan perkembangan baru dalam sistem peradilan pidana. Oleh sebab itu, seiring lahirnya UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang menandakan reformasi Hukum Pidana Nasional, maka kebutuhan pembentukan KUHAP menjadi keniscayaan untuk memodernisasi Hukum Pidana secara implementatif,” jelasnya.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan ini melihat bahwa proses politik yang ada saat ini walaupun terlihat sedikit alot atau rumit dalam mencapai kesepakatan politik, namun semangatnya tetap sama yakni menghadirkan KUHAP yang dapat melindungi hak warga negara, keseimbangan kewenangan penegakan hukum dan pelindungan HAM, serta menciptakan keadilan substantif.
“Modernisasi hukum pidana dalam KUHP yang ingin mencapai keadilan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif, disamping menciptakan kepastian hukum dan kemanfaatan merupakan fitur baru yang sama-sama disepakati untuk diterapkan. Maka dalam RUU KUHAP ini, kita perlu mengedepankan prinsip keadilan restoratif dan keseimbangan dalam kepentingan hukum antara negara atau kewenangan institusional dan warga negara yang mencerminkan modernisasi tersebut,” ujarnya.
Kemudian, Wayan melihat bahwa pengaturan peran advokat untuk melakukan pembuktian dan pendampingan di semua tahap akan menjadi faktor penyeimbang dalam melindungi kepentingan negara maupun kepentingan tersangka atau terdakwa.
Oleh sebab itu, kata dia, penting bagi pembahasan RUU KUHAP untuk mendapat masukan atau gambaran ideal mengenai peran advokat yang efektif namun tetap profesional.
“Dalam RUU KUHAP saat ini, lanjut dia, peran advokat diperluas untuk melakukan pendampingan di setiap tahapan. Hal ini menjadi kunci untuk keseimbangan pula,” ucapnya.
Selain itu, Wayan menyebut pembahasan mengenai mekanisme praperadilan masih menjadi salah satu topik yang menarik. Perdebatan panjang dari berbagai sudut pandang mengenai mekanisme praperadilan yang perlu untuk diperkuat.
Terdapat beberapa pandangan ilmiah mengenai pentingnya penguatan praperadilan (pretrial hearing), namun juga tidak sedikit yang mengkritik atau khawatir dalam pelaksanaannya di lapangan yang rentan dengan penyalahgunaan.
“Praperadilan pada intinya dibentuk untuk melindungi hak hukum seseorang dari penyalahgunaan atau penggunaan kekuasaan atau kewenangan secara berlebihan. Pra-peradilan mengawasi atau mengevaluasi kewenangan aparat penegak hukum yang melakukan tindakan hukum atau upaya paksa terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana,” ungkapnya.
Di Indonesia saat ini, menurutnya, KUHAP mengatur pra peradilan untuk mengawasi pelaksanaan upaya paksa termasuk diperluas hingga penetapan tersangka.
Pra-peradilan pada praktiknya dianggap hanya sebagai pemeriksaan administratif alih-alih memberikan pemeriksaan substantif-proaktif terhadap setiap tindakan aparat penegak hukum.
“Dalam beberapa kajian komparatif dan pelaksanaan di beberapa negara, terdapat metode praperadilan yang bervariasi di beberapa negara. Pra peradilan (pre-trial hearing) menjadi mekanisme untuk mengawasi pelaksanaan kewenangan aparat yang membatasi hak seseorang yang dijamin dalam Konstitusi atau undang-undang baik secara prosedural maupun substantif,” pungkasnya.
Sumber: www.viva.co.id