Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VII DPR RI, Samuel JD Wattimena menilai, kualitas bahan, warna alam, dan kemampuan menarasikan identitas produk, akan menjadi kunci daya jual produk wastra di era digital saat ini.
Samuel tak menampik, wastra kita sudah mampu bersaing di pasar global.
''Kita tahu, wastra sudah menjadi bagian dari kehidupan dan kebanggaan masyarakat kita. Mereka menjaganya karena ada nilai ekonomi. Tapi lebih di atas itu, wastra sesungguhnya merupakan identity, dan karakter. Ketika nilai-nilai identitas itu ditunggangi nilai ekonomi, maka kualitas dan upaya pengenalan atau narasi akan jadi tantangan dan penentu daya jual di era digital,'' kata Samuel saat menjadi bintang tamu dalam program siaran Jendela Negeri, di Studio TVRI, Jakarta, Rabu (16/7).
Baca: Ganjar Tegaskan Haul Bung Karno Padukan Semangat Spiritual
Siaran Jendela Negeri yang dipandu Sheira Theresia dan Sammy Bastian mengusung tajuk ''Pengembangan Kreativitas Berbasis Wastra''. Sebagai pendukung program ini, TVRI juga menurunkan reportase ''Tenun sebagai Media Edukasi Warisan Leluhur di Kupang, NTT'' yang mengungkap kiprah kaum muda dalam menenun dan aktivitas mahasiswa Prodi Pembuatan Tenun Ikat Fakultas Sains dan Teknik Undana.
Perancang busana kenamaan itu mengakui, pada masa lalu wastra adalah sarana komunikasi untuk menghadirkan kebudayaan suatu daerah. Tetapi 50 tahun terakhir sudah menjadi potensi ekonomi. Akibatnya serba cepat dan ingin praktis dengan pewarna buatan.
Samuel yang tampil segar dengan paduan busana endek (kian tradisional Bali) dan selempang tenun Timor, menjelaskan, ketika wastra dijadikan potensi ekonomi, maka yang harus diperhatikan adalah quality dan narasi.
''Kita punya slogan Cintai Produk Dalam Negeri. Tapi apakah kualitas produk ini sudah diperhatikan? Jangan-jangan cepat luntur. Maka dari itu, sikap kritis sangat diperlukan. Yang, kedua soal narasi. Narasi di sini bukan ranah ahli sastra atau orang Marcom. Tapi dengan gadget, kita bisa menarasikan wastra-wastra yang bisa 'berbicara'. Ada kearifan lokal di sana, aspek ekonomi kreatif, ada unsur pariwisatanya juga,'' ujar mantan Stafsus Kementerian Koperasi dan UKM itu.
Pada kesempatan itu, dia juga menggambarkan bahwa tren wastra dengan chemical color yang lebih menyala tergeser oleh wastra dengan warna alam. Pasalnya pasar mancanegara lebih memilih produk yang environment friendly atau ramah lingkungan saat membeli produk dari negara lain.
''Makanya saya mendorong agar kepala daerah di Tanah Air turut menanam berbagai tanaman yang bisa menjadi pewarna alami untuk produk wastranya. Wastra yang ramah lingkungan akan lebih disukai dan tahan lama karena melalui proses yang panjang,'' tandasnya.
Pada sisi lain, Samuel merasa gembira karena generasi muda kita begitu euforia dengan berbagai wastra nusantara. Mengapa? Karena Generasi Z telah menjadi bagian dari masyarakat dunia. Dalam hitungan detik, mereka suda melihat langsung kebudayaan dunia.
Karena sudah menjadi bagian dari dunia, kata dia, mereka akhirnya tertarik mencari identitasnya. Mereka menjelajah ke Kalimantan, Maluku, Sumatera, baik langsung atau melalui gadget untuk menentukan jatidiri.
Baca: Ganjar Tegaskan Seluruh Kader PDI Perjuangan Taat Pada Aturan
''Mereka akan bertanya ''Who is My Identity''. Ketemulah wastra. Bahasa dan gaya rambut juga identitas. Tapi karena memiliki visual yang indah, wastralah yang dipilih sebagai sarana yang paling mudah dan universal,'' ujar legislator DPR RI dari Dapil Jateng I (Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kendal, dan Kota Salatiga) itu.
Ketika sudah menemukan identitasnya, tambah, sudah saatnya generasi muda ikut lebih mengenalnya. Karena sesungguhnya wastra itu diciptakan dengan beragam teknik, seperti membatik, menenun, dan tie-dye (jumputan) atau kain yang dicelup.
''Jangan sampai ada yang bilang, ''batik kamu bagus, padahal yang dilihat endek Bali atau tenun Timor''. Ada kesan kain yang etnik itu batik, padahal bukan. Saatnya generasi muda ditantang untuk bikin narasi-narasi agar wastra kita bisa dikenal di dunia global,'' tandasnya.