Ikuti Kami

Sistem Pembangunan Kacau, Indonesia Butuh Haluan Negara

Rezim UU Nomor 25/2004 bersifat eksekutif centris.

Sistem Pembangunan Kacau, Indonesia Butuh Haluan Negara
Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema "Pelaksanaan Rekomendasi MPR 2014-2019" di Media Center Parlemen, Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Jumat (6/12). Selain Basarah hadir juga sebagai narasumber yaitu Wakil Ketua MPR RI Syarifuddin Hasan dan Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono. (Foto: Elva Nurrul Prastiwi)

Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menegaskan rezim pembangunan berbasiskan Undang-Undang (UU)  Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tidak cukup baik memastikan kesinambungan pembangunan nasional. 

Baca: Tanpa Haluan Negara Arah Pembangunan Tidak Jelas
 
Sebab, lanjut Basarah, rezim UU Nomor 25/2004 bersifat eksekutif centris, alias hanya memberikan pedoman pada pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional bangsa Indonesia. 

Hal itu dikatakan Basarah dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema 'Pelaksanaan Rekomendasi MPR 2014-2019' yang diselenggarakan di Media Center Parlemen, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (6/12). 

“Padahal tujuan pembangunan bangsa Indonesia bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Namun lembaga-lembaga Negara yang diberikan kewenangan oleh diberikan oleh UUD, seperti DPR, BPK, MK dan sebagainya punya tanggung jawab yang sama dalam mencapai tujuan pembangunan bangsa Indonesia,” kata Basarah.

Hal itu terjadi, lanjut Basarah, pasca dihapuskannya kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) , dalam amandemen UUD 1945. Sejak saat itu, rezim pembangunan berbasiskan GBHN melalui ketetapan MPR diganti dengan UU Nomor 25/2004. 

Basarah pun melanjutkan UU Nomor 25/2004 juga memiliki kelemahan lain. UU itu menetapkan visi dan misi calon presiden, calon gubernur, calon walikota dan calon bupati yang terpilih sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Walhasil, konsepsi pembangunan nasional itu berjalan sendiri-sendiri dan membuahkan diskoneksivitas.

“UU Nomor 25/2004 juga tidak memberikan sanksi apabila kepala pemerintahan yang baru tidak  melanjukan program-program kepala pemerintahan sebelumnya. Padahal seringkali ketika pemerintahan berganti baik di pusat maupun daerah, ada ego partai politik yang tak mau melanjutkan program pemerintahan sebelumnya, sehingga tak ada kesinambungan pembangunan nasional,” kata Basarah.

Baca: Indonesia Butuh Haluan Negara Sebagai Pedoman Pembangunan

Karena itu, lanjut Basarah, membuat payung hukum bagi haluan Negara dengan melakukan  amandemen UUD 1945 secara terbatas guna melahirkan ketetapan MPR adalah kebutuhan mendesak. Hal itu agar memberikan pengaturan pada Undang-Undang dibawahnya, serta bisa mengikat seluruh lembaga Negara dan kepala pemerintahan dari pusat hingga daerah. 

“Dengan begitu, seluruh lembaga Negara, kepala pemerintahan baik di pusat dan di daerah diikat oleh haluan Negara yang muncul melalui Ketetapan MPR itu,” tegas Basarah.

Quote