Ikuti Kami

Skema PLJP Lebih Jelas Daripada Bank Jangkar

Jangan sampai hal tersebut malah menjadi beban bagi bank-bank sistemik yang nantinya ditunjuk sebagai Bank Peserta.

Skema PLJP Lebih Jelas Daripada Bank Jangkar
Ilustrasi. Uang Kertas Rupiah.

Jakarta, Gesuri.id - Politisi PDI Perjuangan yang juga Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo mengritisi skema baru mengenai penempatan dana Pemerintah di bank-bank dalam negeri yang ditunjuk sebagai Bank Jangkar, atau Anchor Bank.

Baca: Putra Nababan Beri Paket Sembako Bagi Tim Kesehatan Jaktim

Menurut dia Komisi XI sudah mengingatkan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, agar jangan sampai hal tersebut malah menjadi beban bagi bank-bank sistemik yang nantinya ditunjuk sebagai Bank Peserta. Bahkan, dirinya mengkhawatirkan tidak adanya mekanisme untuk menjamin bank jangkar tersebut menjadi Bank Peserta.

“Sebetulnya dalam rapat di Komisi XI kita sudah mengingatkan tentang hal ini (Bank Jangkar). Pertama, sebetulnya sebaiknya untuk penyediaan likuiditas dari bank-bank yang mengalami masalah likuiditas karena Covid-19 ini tidak menjadi beban Bank Jangkar mengingat bank-bank tersebut kebanyakan diisi oleh bank-bank sistemik,” kata Andreas, Selasa (19/5).

Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini menilai, penempatan dana yang dilakukan melalui skema bank jangkar memiliki pola pendekatan business-to-business (B2B). Pola demikian, diibaratkannya seperti dalam sebuah pertandingan sepak bola dimana pemain turut serta menjadi wasit. Bank jangkar sebagai pemain, juga kemudian melakukan proses due diligence terlebih dahulu terhadap bank-bank pelaksana sesuai kredit assesment yang diajukannya.

“Kenapa malah menjadi beban ke bank jangkar, masak pemain sekaligus jadi wasit gitu. Mereka kan juga sesama bank, ibaratnya kan mereka pemain, tetapi sekaligus jadi wasit karena melakukan penelitian terhadap bank-bank pelaksana yang mengajukan proposal likuiditas. Kalau pendekatannya B-to-B kenapa mesti diatur lewat PP? Dengan begitu kan bank tersebut harus mengikuti due diligence, inilah yang akan memakan waktu di tengah kondisi kita sedang work from home dan PSBB sekarang ini," tegasnya.

Baca: Rasional dan Etis, Pilkada Serentak Diundur ke Tahun 2021

Merujuk pada UU PPKSK dan Perppu Covid-19, Andreas menekankan bahwa mekanisme pemberian bantuan lilkuiditas sebenarnya sudah cukup ringkas dan jelas. Jika bank membutuhkan likuiditas, bank tersebut bisa memanfaatkan mekanisme Pasar Uang (PUAB). Selanjutnya jika masih membutuhkan, bisa melakukan Repo SBN. Terakir, jika masih diperlukan skema Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) juga bisa dilakukan.

“PLJP itu lebih jelas, karena bank bisa mengagunkan aset kreditnya yang tentu berdasarkan rekomendasi atau assessment dari OJK. (Skema) Ini juga sama kan, begitu nanti bank peserta mengajukan kepada Kemenkeu, pihak Kemenkeu juga nantinya akan meminta assessment ke OJK. Jadi kalau dilihat, ketika bank-bank pelaksana tengah membutuhkan likuiditas tentu memerlukan proses yang cepat," imbau legislator dapil Jawa Timur V itu.

Sementara itu, Andreas menjelaskan bahwa dalam mekanisme perbankan Bank Indonesia berperan sebagai the lender of the last resource atau sebagai sumber likuiditas terakhir. Sedangkan, pembentukan bank jangkar memungkinkan bank-bank pelaksana merepokan asetnya ke bank jangkar, bukan ke BI. Padahal jika belajar dari negara lain, seperti The Fed di Amerika Serikat, bank sentral tersebut menjadi penyangga likuiditas yang utama.

“Ini yang menurut saya perlu kejelasan arah, karena disatu sisi PLJP tetap ada sebagaimana tertuang didalam Perppu, tetapi kemudian skema penempatan dana bantuan dari pemerintah. Kalau sifatnya bantuan likuiditas, kenapa Pemerintah tidak menyalurkan melalui SPV (Special Purpose Vehicle)-nya sendiri saja? Tapi jangan membebani bank-bank peserta atau anchor bank ini,” pungkas Andreas.

Quote