Jakarta, Gesuri.id – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI resmi menyepakati hasil harmonisasi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (RUU PSDK). Persetujuan tersebut diambil dalam rapat pleno Baleg pada Kamis, 4 Desember 2025, dan selanjutnya RUU PSDK akan dibawa ke rapat paripurna untuk ditetapkan sebagai RUU usul inisiatif DPR.
Anggota Baleg DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Sofwan Dedy Ardyanto, menjadi salah satu anggota yang menegaskan pentingnya pembaruan regulasi ini. Ia menekankan bahwa sistem peradilan di Indonesia harus bergeser dari yang selama ini lebih fokus kepada pelaku, menjadi sistem yang memberi perhatian lebih besar kepada korban.
“Sistem peradilan tidak boleh lagi hanya berorientasi pada pelaku. Korban bukan sekadar alat bukti atau pelengkap penderita, tetapi subjek hukum yang berhak atas pelindungan dan pemulihan,” ujar Sofwan. Ia memastikan Fraksi PDI Perjuangan menyatakan persetujuan penuh agar RUU PSDK dibahas pada tahap selanjutnya.
Dalam harmonisasi tersebut, terdapat 10 substansi perubahan penting yang disepakati untuk memperkuat pelindungan bagi saksi dan korban. Pertama, perubahan istilah “perlindungan” menjadi “pelindungan” serta perluasan objek pelindungan dari yang semula hanya saksi dan korban menjadi saksi, saksi pelaku, pelapor, informan, dan ahli di setiap tahapan proses peradilan.
Kedua, RUU PSDK mengatur penyempurnaan divisi dan kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Ketiga, penambahan definisi situasi khusus dalam ketentuan umum. Keempat, penyempurnaan terkait dana abadi korban pada Pasal 13 hingga Pasal 15.
Kelima, restrukturisasi bab mengenai kerja sama. Keenam, penambahan materi terkait keberadaan sahabat saksi dan korban sebagai bentuk partisipasi masyarakat. Ketujuh, sinkronisasi dengan KUHAP baru, khususnya terkait rumusan norma koordinasi antara LPSK dan aparat penegak hukum.
Kedelapan, penyelarasan rumusan larangan dan ketentuan pidana. Kesembilan, penambahan ketentuan batas waktu pembentukan peraturan pelaksana, termasuk mekanisme pemantauan dan peninjauan undang-undang pada bagian penutup.
Sementara substansi kesepuluh mencakup penyempurnaan teknis penulisan yang mengikuti kaidah bahasa Indonesia dan standardisasi pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai ketentuan UU P3.
Dengan adanya kesepakatan harmonisasi ini, Sofwan Dedy berharap proses pembahasan berikutnya dapat memperkuat kehadiran negara dalam melindungi saksi dan korban tindak pidana secara lebih komprehensif.

















































































