Ikuti Kami

Anton : Pajajaran, Kerajaan Hasil Peleburan Sunda & Galuh 

Budayawan Sunda Anton Charliyan mengungkapkan, lahirnya Pajajaran menjadi sebuah Kerajaan memiliki sejarah yang cukup unik. 

Anton : Pajajaran, Kerajaan Hasil Peleburan Sunda & Galuh 
Budayawan Sunda Anton Charliyan.

Tasikmalaya, Gesuri.id - Budayawan Sunda Anton Charliyan mengungkapkan, lahirnya Pajajaran menjadi sebuah Kerajaan memiliki sejarah yang cukup unik. 

Menurut salah satu referensi, yakni Buku Sejarah Jawa Barat karangan Yosef Iskandar, dikatakan bahwa Kerajaan Pajajaran itu lahir karena adanya konflik antara dua Kerajaan besar di Tatar Sunda, yakni Kerajaan Galuh yang berkedudukan di Kawali, dengan Kerajaan Sunda yang berkedudukan di Pakuan (Bogor).

"Karajaan Galuh dibawah Kekuasaan Prabu Niskala Dewa, sedangkan Kerajaan Sunda dibawah Kekuasaan Prabu Susuk Nunggal. Padahal kedua Raja tersebut merupakan saudara kandung, sama-sama putra Prabu Wastu Kencana," ujar Anton. 

Mantan Kapolwil Priangan itu melanjutkan, konflik tersebut rupanya sulit didamaikan. Bahkan konflik itu semakin tajam, hingga berujung ke arah terjadinya Perang Saudara.

Baca: Anton Charliyan : Lawan Intoleransi dan Radikalisme!

Kedua kerajaan pun sudah menyiapkan pasukan untuk berperang. 

Padahal, ungkap Anton, sebagaimana diketahui GOTRA YUDHA atau  PERANG SAUDARA merupakan pantangan utama bagi Raja-raja di Tatar Sunda-Galuh sejak zaman para leluhur mereka.

Hal itu tampak dari pesan Sang Wretikendayun, yang berbunyi 

"Jika terjadi Perang Saudara antar keluarga maka Keturunan Galuh akan Tumpur (habis) dan rakyat akan sengsara."    

"Bahkan pesan larangan Gotra Yudha itu sudah ada sejak zaman Salaka Nagara sebagai kerajaan Sunda pertama tahun 130 M. Siapapun rajanya bila sudah diingatkan, tapi tetap keras kepala ingin berperang, menurut ajaran Tritangtu Dibuana, bisa diturunkan oleh Rama dan Resi," ungkap Anton.

Sehingga, lanjut Anton, dengan demikian adanya sistem Tritangtu Dibuana itu membuat raja di Tatar Sunda tidak berkuasa mutlak.  Sebab masih ada penyeimbang atau pengontrol, yakni Rama dan Resi . 

Hal ini juga pernah terjadi ketika meletus konflik antara Raden Sanjaya sebagai raja Sunda dan Kalingga, dengan Sang Manarah Prabu Ciung Wanara Raja Galuh, yang merupakan keponakan Sanjaya pada tahun 739-740 M. 

"Hampir terjadi Gotrayudha hebat ,tapi Alhamdulillah berujung damai dengan turunnya Rama dan Resi  yang berakhir dengan Musyawarah Sawala Mapulungrahi, hingga melahirkan 10 kesepakan damai. Sehingga Perang bisa dihentikan," ungkap Anton. 

Namun, lanjut Anton, tidak demikian dengan  konflik antara Prabu Niskala Dewa dengan Prabu Susuk Nunggal ini. Rupanya keduanya sulit untuk bisa didamaikan. 

Maka dari itu, ujar Anton, sebagaimana amanat para leluhur pendahulu Sunda Galuh, dari pada Tatar Sunda serta keturunannya hancur serta rakyat menderita, maka  kedua Raja tersebut dipersilahkan untuk segera turun dari singgasana dengan ksatria dan terhormat. 

Hal itu karena kedua raja tersebut telah melanggar pantangan leluhur. Namun walaupun demikian, tentu saja harus ada solusi yang tepat , adil dan bijaksana.

"Maka dimusyawarakanlah suatu solusi, yakni Prabu Jaya Dewata sebagai Putra kandung Prabu Niskala Dewa sebagai perwakilan dari Kerajaan Galuh dan Ni Kentring Manik Mayang Sunda, Putri kandung Prabu Susuk Nunggal sebagai perwakilan kerajaan Sunda. Keduanya lalu disatukan, dijodohkan menjadi Suami istri sekaligus sebagai Raja dan Ratu. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1482 M," papar Anton. 

Anton melanjutkan, maka sejak saat itu dua Kerajaan tersebut dilebur atau disatukan.Tidak ada lagi egocentrisme sebagai Kerajaan Sunda maupun Galuh.  

Kedua Kerajaan berubah menjadi satu spirit yang baru yakni, Kerajaan Pajajaran, sebagai suatu Kerajaan yang sejajar. 

"Kedua kerajaan berjajar menjadi satu. Sama sederajat tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih rendah. Menjadi satu biduk sebagai Raja dan Ratu. Sehingga tidak ada lagi konflik kedua belah pihak, ditutup cukup sampai disitu, bahkan keputusan Rama dan Resi ini berakhir dengan kebahagiaan, berakhir dengan persaudaraan,  dengan perjodohan sebagai suami istri sekaligus Raja dan Ratu dalam bingkai tatanan baru,  KERAJAAN PAJAJARAN," ujar Anton.

Anton melanjutkan,  hal itu tersirat dalam naskah Babad Sumedang Sumadidjaya halaman 9, yang berbunyi :

"Kabukti Negeri GALUH;  GUMANTI KU PAJAJARAN ku Prabu Siliwangi." 

(Terbukti Negeri Galuh Berganti dengan Pajajaran Rajanya Prabu Siliwangi)

Adapun dalam Pantun Bogor (Pakujajar Beukah Kembang) dikatakan : 

"Ceuk Prabu Anom , Sugan inget Keneh Eyang? Saha anu ngadegkeun Ieu NAGARA PAJAJARAN?"

(Prabu Anom berkata : Masih ingatkah Eyang? Siapa yg Mendirikan NEGARA PAJAJARAN?)

"Memeh Ngadeg Pajajaran nu Munggaran .Ngarana teh Nagara Sunda" 

(Sebelum Berdirinya PAJAJARAN yang pertama , Nama Kerajaan Sebelumnya adalah NEGARA SUNDA)

"Jadi disini tersirat jelas bahwa Kerajaan Sunda adalah Kerajaan pendahulu sebelum Kerajaan Pajajaran berdiri. Sehingga dengan demikian Kerajaan Pajajaran ada dan berdiri, berawal dari Kerajaan Sunda dan Galuh. Menyatukan dua  Kerajaan jadi satu dengan nama baru yaitu Kerajaan Pajajaran," ujar Anton. 

Baca: Anton Charliyan: Rekam Jejak FPI Beraroma Kekerasan

Anton pun mengungkapkan, masih banyak perbedaan atau silang pendapat tentang eksistensi keberadaan dan nama Pajajaran ini sebagai sebuah Kerajaan. Ada yang mengatakan Pajajaran itu hanyalah sebuah nama ibukota saja. Nama Kerajaannya adalah Sunda. 

Ada juga yang berpendapat bahwa memang Pajajaran itu sendiri merupakan suatu imperium, atau Kerajaan yang eksis berdiri sendiri. 

"Terlepas apakah nama Pajaran itu sendiri sebagai sebuah Kerajaan atau  sebagai nama ibukota. Yang jelas dari catatan naskah-naskah diatas tersirat dan tersurat bahwa : Pajajaran merupakan nama resmi suatu Negeri atau Kerajaan yang berkuasa di Tatar Sunda  setelah Kerajaan Sunda dan Kerajaan  Galuh melebur menjadi satu," ujar Anton.

Quote