Ikuti Kami

Surat Islam Dari Ende, 18 Agustus 1936

Dalam surat ini Bung Karno kepada sahabatnya Tuan Hassan akhirya setuju membuat brosur dibanding buku-buku yang tebal yang mahal.

Surat Islam Dari Ende, 18 Agustus 1936
Ir. Soekarno (Bung Karno)

Assalamu’alaikum,

Surat tuan sudah saya terima. Terima kasih atas tuan
punya kecapaian mencarikan penerbit buku saya
kesana-sini. Moga-moga lekas dapat, sayang kalau
manuscript yang begitu tebal, tinggal manuscript sahaja.

Tentang tuan punya usul menulis buku yang lebih tipis, brosyur, saya akur. Memang brosyur itu amat perlu. Tapi sebenarnya saya ingin menyudahi satu buku lagi yang juga kurang-lebih 400 muka tebalnya, yang rancangannya sekarang sudah selesai pula di dalam saya punya otak. Rakyat Indonesia, terutama kaum intelligentzia, sudah mulai banyak yang senang membaca buku-buku bahasa sendiri yang “matang”, yang “thorough”.

Ini alamat baik; sebab perpustakaan Indonesia buat 95% hanya buku-buku tipis sahaja, hanya brosyur-brosyur sahaja, tak sedikit gembira saya, waktu saya menerima buku bahasa Indonesia “Islam di tanah China”. Buku ini adalah satu contoh buku yang “thorough”. Alangkah baiknya, kalau lebih banyak buku-buku semacam itu di perpustakaan kita!

Baca Juga: Surat Islam Dari Ende, 12 Juni 1936

Barangkali nanti kita punya intelligentzia tidak senantiasa terpaksa men­cari makanan rokh dari buku-buku asing sahaja. Ini tidak berarti, bahwa saya tak mufakat orang baca buku asing. Tidak! Semua buku ada faedahnya, makin banyak baca buku, makin baik. Walau buku bahasa Hottentot-pun baik kita baca! Tapi janganlah perpustakaan kita sendiri berisi nihil, sebagai keadaan sekarang ini. Tuan kata, buku-tipis lebih murah harganya; tapi bagi kaum intelligentzia dan kaum yang sedikit mampu tidaklah menjadi halangan harga buku tebal itu.

Toch kaum intelligentzia juga mengeluarkan banyak uang bagi buku asing? Tokh kita punya kaum mampu juga banyak mengeluarkan uang buat pakaian, buat bioskop, atau buat kesenangan lain-lain? Sebenarnya harga sesuatu buku tidak menjadi ukuran laku-tidaknya buku itu nanti; yang menjadi ukuran, ialah kandungan buku itu; isi buku itu, digemari orang atau tidak. Bagi marhaen, ya memang, zaman sekarang ini zaman berat.

Tapi tiada keberatan kalau buku-buku tebal itu dijadikan “penerbitan untuk rakyat”, atau dipecah menjadi empat-lima jilid, sehingga meringankan harga bagi marhaen. (Sebenarnya kurang baik memecah buku menjadi jilid-jilid yang kecil). Tapi tokh, dalam pada saya menganjurkan penerbitan lebih banyak buku yang tebal dan thorough itu, saya akui pula kefaedahannya brosyur. Sebagai alat propaganda, bro­syur adalah sangat perlu. Insya Allah saya akan tulis brosyur tentang faham jaiz didalam hal keduniaan.

Baca Juga: Surat Islam Dari Ende, 14 Desember 1935

Di dalam salah satu surat saya yang terdahulu, saya sudah sedikit singgung perihal ini. Kita punya peri-kehi­dupan Islam, kita punya ingatan-ingatan Islam, kita punya ideologi Islam, sangatlah terkurung oleh keinginan mengcopy 100% segala keadaan keadaan dan cara-cara dari zaman Rasul s.a.w., dan khalifah yang besar. 

Kita tidak ingat, bahwa masyarakat itu adalah barang yang tidak diam, tidak tetap, tidak “mati” tetapi “hidup” mengalir berobah senantiasa, maju, berevolusi, dinamis. Kita tidak ingat, bahwa Nabi s.a.w. sendiri telah menjaizkan urusan dunia menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia, membenarkan segala urusan dunia yang baik dan tidak haram atau makruh. Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat kafir; radio dan kedokteran  kafir; pantalon dan dasi dan topi kafir; sendok dan garpu dan kursi  kafir; tulisan Latin  kafir; ya bergaulan dengan bangsa yang bukan Islam pun kafir! Padahal apa-apa yang kita namakan Islam?

Bukan Rokh Islam yang berkobar‑kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan Amal Islam yang mengagumkan, tetapi … dupa dan korma dan jubah dan celak-mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar, dia, dialah yang kita namakan Islam.

Astagafirullah Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengafirkan radio dan listrik, mengafirkan kemoderenan dan ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum sahaja, tinggal kuno sahaja, yang terbelakang sahaja, tinggal “naik onta” dan “makan zonder sendok” sahaja “seperti di zaman Nabi dan Chalifahnya. Yang menjadi marah dan murka kalau mendengar khabar tentang diadakannya aturan-aturan baru di Turki atau di Iran atau di Mesir atau di lain-lain negeri Islam di tanah Barat?

Baca Juga: Surat Islam Dari Ende, 22 Februari 1936

Islam is progress, Islam itu kemajuan, begitulah telah saya tuliskan di dalam salah satu surat saya yang terdahulu. Kemajuan karena fardlu, kemajuan karena sunah, tetapi juga kemajuan karena diluaskan dan di lapangkan oleh aturan, jaiz atau mubah yang lebarnya melampaui­ batas-batasnya zaman. Islam is progress. Progress berarti barang baru, barang baru yang lebih sempurna,

yang lebih tinggi tingkatnya daripada barang yang terdahulu.

Progress berarti pembikinan baru, creation baru, bukan mengulangi barang yang dulu, bukan mengcopy barang yang lama. Di dalam politik Islam-pun orang tidak boleh mengcopy barang yang lama, tidak boleh mau mengulangi zamannya “chalifah-chalifah” yang besar. Kenapa tokh orang-orang politik Islam di sini selamanya menganjurkan political system “seperti di zamannya chalifah-chalifah yang besar” itu? Tidakkah di dalam langkahnya zaman yang lebih dari seribu tahun itu peri-kemanusiaan mendapatkan system-system baru yang lebih sempurna, lebih bijaksana, lebih tinggi tingkatnya daripada dulu? Tidakkah zaman sendiri menjelmakan system-system baru yang cocok dengan keperluannya, – cocok

dengan keperluan zaman itu sendiri?

Apinya zaman “Chalifah-chalifah yang besar” itu? Akh, lupakah kita, bahwa api ini bukan mereka yang menemukan, bukan mereka yang “meng­anggitkan”, bukan mereka yang “mengarangkan”? Bahwa mereka “menyutat” sahaja api itu dart barang yang juga kita di zaman sekarang mempunyainya, yakni dari Kalam Allah dan Sunah Rasul?

Tetapi apa yang kita “cutat” dari Kalam Allah dan Sunah Rasul itu? Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan flonenya, tetapi abunya, debu­nya, asbesnya. Abunya yang berupa celak-mata dan sorban, abunya yang mencintai kemenyan dan tunggangan onta, abunya yang bersifat Islam­ mulut dan Islam-ibadat zonder taqwa, abunya yang cuma tahu baca Fatihah dan tahlil sahaja, tetapi bukan apinya, yang menyala-nyala dari ujung zaman yang satu ke ujung zaman yang lain.

Baca Juga: Surat Islam Dari Ende, 17 Juli 1935

Tarikh Islam, kita baca, tetapi kitab-kitab tarikh itu tidak mampu menunjukkan (dynamical laws of progress1) yang menjadi nyawanya dan tenaganya zaman-zaman yang digambarkan, tidak bisa mengasih falsafatnya sejarah, dan hanyalah habis-habisan-kata memuluk-mulukkan dan mengeramat-ngeramatkan pahlawan-pahlawannya sahaja.

Kitab-kitab tarikh ada begitu, beta­pakah umat Islam umumnya, betapakah si Dulah dan si Amat, betapakah si Minah dan si Maryam? Betapakah si Dulah dan Amat dan Minah dan Maryam itu, kalau mereka malahan lagi hari-hari dan tahun-tahun dice­koki faham-faham kuno dan kolot, takhayul dan mesum, anti-kemajuan dan anti-kemoderenan,- hadramautisme yang jumud-maha-jumud?

Sesungguhnya, Tuan Hassan, sudah lama waktunya kita wajib membantras faham-faham yang mengafirkan segala kemajuan dan kecer­dasan itu, membelenggu segala nafsu kemajuan dengan belenggunya: “ini haram, itu makruh”, padahal jaiz atau mubah semata-mata! Insya Allah, dalam dua-tiga bulan brosyur itu selesai!

Wassalam,
SUKARNO

Quote