DI ABAD ke-21 (terhitung sejak 2001 hingga tahun 2100), tepat 21 tahun Reformasi 21 Mei 1998 merupakan hari dimana tumbangnya sebuah rezim otoriter, diktator dan korup bernama Orde Baru.
Bertepatan itu pula, di hari yang sama 21 tahun lalu, pada 21 Mei 2019 dini hari, KPU RI memutuskan Paslon 01 Jokowi-KH. Ma'ruf Amin sebagai Pemenang Pilpres 2019.
Unggul di 21 provinsi, dengan perolehan 85,03 juta suara atau 55,50 persen kemenangan Jokowi-KH. Ma'ruf Amin adalah kemenangan rakyat. Kemenangan yang menggagalkan peluang bangkitnya trah Orde Baru.
Kekalahan Prabowo untuk kedua kalinya di Pilpres, merupakan simbol tumbangnya trah Orde Baru yang direpresentasikan oleh Ketua Umum Gerindra tersebut.
Kenapa demikian? Prabowo adalah bekas menantu Soeharto, Pemimpin Rezim otoriter Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Dalam pencapresannya di Pilpres 2019, ia berkali-kali menyebut ingin mengembalikan kejayaan Orde Baru.
Prabowo di palagan Pilpres ketiganya ini dimana secara resmi ia menjadi kontestan sejak Pilpres 2009 sebagai Cawapres, kemudian Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 sebagai Capres, dalam visi misi kampanyenya terutama ketika menjadi Capres, beberapa kali mengungkapkan romantisme Orde Baru.
Kehadiran Prabowo seperti menjadi sosok yang terlahir untuk reinkarnasi atau kelahiran kembali Orde Baru. Buktinya, di Pilpres 2019 kali ini Keluarga Cendana mendukung penuh. Full tim.
Melalui Partai Berkarya yang didirikan Tommy Soeharto dan kakak-kakaknya semua solid mendukung Prabowo. Bagi Cendana, Pilpres 2019 menjadi momentum untuk membangkitkan kembali Orde Baru.
Bagi para korban tangan besi rezim diktator Orde Baru, pasti ogah jika kondisi Indonesia dikembalikan seperti zaman Soeharto berkuasa.
Rezim korup, yang hanya memikirkan bisnis keluarga dan kroninya. Soeharto memimpin negeri ini selama 32 tahun seperti mengelola perusahaan keluarga.
Kejahatan hak asasi manusia, demokrasi dikebiri, dan KKN merajalela identik dengan perilaku rezim Orde Baru. Dan itulah yang dilawan oleh PDI Perjuangan bersama Jokowi.
21 tahun sudah Reformasi berlangsung. Bahaya laten Orde Baru sudah di depan mata. Mereka berkongsi, menghimpun kekuatan, menggalang simpati kelompok agama garis keras, memainkan narasi antek PKI dan aseng yang dialamatkan kepada rezim Jokowi. Narasi lama yang mereka gunakan saat berkuasa.
Pundi-pundi bisnis haram mereka ditutup kerannya oleh Jokowi. Mafia Migas dan kartel pangan disikat, mafia anggaran juga dihajar, Freeport dipaksa bertekuk lutut. Petral yang selama ini menjadi sarang penyamun di Orde Baru oleh Jokowi dibubarkan. Blok Rokan yang selama puluhan tahun dikuasai Chevron, perusahaan Migas asal Amerika Serikat tidak diperpanjang kontraknya. Blok Migas Mahakam selama 50 tahun dikuasai Total EP dari Prancis juga akhirnya diambil alih Pertamina. Karena itu, wajar sekarang mereka berteriak.
Rakyat sudah cerdas. Kapok dengan rezim KKN yang menindas, rakyat menghakimi mereka di Pemilu 2019. Dan itulah people power sebenarnya yang berdaulat. Menjadikan trah Orba tak laku. Capresnya juga kalah jauh dari Jokowi, capres yang lebih dicintai rakyat.
Kalah telak dari Jokowi membuat mereka belum bisa menerima kenyataan. Hingga tulisan ini diposting, upaya penolakan hasil Pemilu sedang dilakukan kubu Prabowo bersama barisan Orde Baru. Tujuannya jelas: chaos dan berharap ada korban berjatuhan sehingga bisa memantik gelombang kerusuhan yang lebih meluas.Dan jika itu sudah terjadi, langkah selanjutnya mengimpeach rezim sah Jokowi yang sedang berkuasa dan menjadi narasi untuk medelegitimasi hasil Pemilu yang mereka tuding curang.
Ketika trah Cendana dan antek-anteknya yang direpresentasikan oleh Prabowo Subianto ingin berkuasa kembali, tentu aktivis 1998 tak akan tinggal diam.
Api perjuangan PDI Perjuangan tak akan pernah padam melawan segala upaya Orba yang ingin bangkit kembali. "Prabowo dan keluarganya adalah yang kita lawan 21 tahun lalu, dan kini mereka mau berkuasa lagi di bulan Mei, bulan ketika kami menjatuhkan mereka 21 tahun lalu. Maka kami bertekad, mereka harus kalah!," tegas Adian Napitupulu, Vokalis PDI Perjuangan di DPR yang berhasil melaju ke Senayan untuk periode keduanya.
Masih ingat ucapan Politisi Demokrat Andi Arief tentang setan gundul? Dalam cuitan di akun Twitternya, ia mengatakan, "Dalam koalisi adil makmur ada Gerindra, Demokrat, PKS, PAN, Berkarya, dan rakyat. Dalam perjalanannya muncul elemen setan gundul yang tidak rasional, mendominasi dan cilakanya Pak Prabowo mensubordinasikan dirinya," tulis Andi Arief.
Tanpa perlu berfikir keras, tentu saja setan gundul yang dimaksud Andi Arief adalah kelompok beragama garis keras. Kenapa mereka bisa begitu mesra dengan Prabowo? Politisi Banteng lain yang juga pelaku sejarah Reformasi 98, Budiman Sudjatmiko punya penilaian tersendiri soal itu.
Budiman menilai persekutuan politik antara Orde Baru dengan kelompok-kelompok beragama garis keras sudah terjadi pada tahun 1990-an, atau dekade terakhir masa pemerintahan Orde Baru.
"Pada dekade terakhir Orde Baru, Cendana atau Soeharto menjadikan kelompok-kelompok itu (kelompok agama garis keras-red) sebagai sekutu sipil untuk menghambat demokratisasi, meski pada akhirnya demokratisasi tak terhindarkan," kata Budiman kepada Gesuri.
Dan kini, lanjut Budiman, trah Cendana dan kelompok-kelompok beragama garis keras kembali memiliki kepentingan yang sama. Trah Cendana tidak ingin demokratisasi ini berjalan baik. Sebab, bila demokrasi ini berjalan baik, mereka akan berperan sebagai 'penjahat'nya. "Apalagi, di era pemerintahan pak Jokowi, mulai diupayakan mengambil hasil-hasil korupsi rezim Orde Baru. Ini ancaman material bagi trah Cendana," ujar Budiman.
Yang jelas, Jokowi bersama rakyat. Rakyat yang waras dan trauma dengan rezim Orba. Mayoritas rakyat Indonesia atau sekitar 85 juta pemilih Jokowi bersama-sama akan mencegah bangkitnya bahaya laten Orba.
Tugas kita sebagai kader Banteng tentu mengawal 21 tahun Reformasi, dan mengubur dalam-dalam segala perilaku Orbais dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekali lagi, ingat, musuh utama kita adalah kelompok intoleran yang saat ini berkongsi dengan kelompok penghamba KKN trah Orba. Merdeka!