Ikuti Kami

Bersuara Dalam Piala Dunia, Melawan Diamnya Kemunafikan

Oleh : Ketua DPC TMP Kota Surabaya Aryo Seno Bagaskoro. 

Bersuara Dalam Piala Dunia, Melawan Diamnya Kemunafikan
Trofi Piala Dunia U-20.

Jakarta, Gesuri.id - Keutuhan kita sedang diuji sebagai suatu bangsa. Sekali lagi kita berusaha dipecah belah, dioyak persatuannya, ditumbuhkan rasa curiga satu sama lain, bahkan dipertentangkan antara sikap prinsip dengan logika-logika nir-kemanusiaan. 

Kali ini, yang sangat memalukan, oleh selembar surat dari FIFA. Selembar surat yang dikirimkan melalui email, tidak melalui konferensi pers, tanpa kejelasan. 

Setelah selama berbulan-bulan segenap elemen bangsa kita melakukan persiapan matang, setelah selama sekian lama pemerintah dan DPR kita menganggarkan dan bekerja dengan keras untuk melayani pemenuhan kesiapan turnamen, selembar surat meninggalkan segenap bangsa kita dalam kemarahan atas asumsi-asumsi.

Asumsi itu : batalnya Piala Dunia U-20 disebabkan oleh penolakan Gubernur Bali Wayan Koster, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, kader-kader PDI Perjuangan.

Lantas kita berdebat dan memaki-maki, marah-marah karena penolakan itu diasumsikan menyinggung FIFA dan nilai-nilai mahabenar yang mereka tetapkan. Padahal tidak jelas juga apakah pembatalan itu berdasarkan keberanian kita bersikap.

Alasan historis bahwa bangsa ini ada hari ini karena penolakan para pendiri bangsa kita atas imperialisme dan kolonialisme, dasar alasan yang sama mengapa kita menolak penjajahan yang dilakukan oleh Israel, diabaikan.

Alasan konstitusional bahwa penolakan atas Israel itu didasari sikap setia pada Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945 dan Permenlu No. 3 Tahun 2019, diabaikan.

Alasan konteks situasi geopolitik saat ini dimana Israel terus menerus melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap Bangsa Palestina bahkan menolak menganggap Bangsa Palestina itu ada, juga diabaikan.

Semua alasan itu oleh beberapa orang dianggap tidak perlu kita tampilkan, kemukakan, suarakan, kalau perlu dibuang dan disembunyikan saja di bawah bantal sebab berpotensi membuat FIFA tersinggung dan membatalkan helatan yang semua persiapannya kita siapkan dengan baik.

Mencari Keteladanan Sikap Pemimpin

Hanya karena Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo adalah figur pemimpin yang digadang-gadang menjadi calon presiden, ia diharapkan harusnya bungkam saja. Tidak perlulah seorang calon presiden menunjukkan sikap idealisme politiknya, kalau sikap itu berpotensi mengandung konsekuensi elektoral. 

Cukup lah ia selintutan saja, berlindung di balik selimut kemunafikan, menghindari risiko perdebatan, kemudian main aman dengan isu-isu populis yang minim pro dan kontranya.

Pak Ganjar diharapkan bersikap diam. Seperti banyak tokoh lain, yang sebelumnya tampak sangat vokal berpihak pada Palestina, tetapi memilih main aman saat sikap tersebut mengandung resiko.

Saya merasa Pak Ganjar, Pak Koster, juga semua elemen anak bangsa yang sedang dalam posisi menolak Israel adalah bagian dari negara Indonesia yang demokratis dan sah untuk menunjukkan sikap dalam hal-hal prinsip.

Prinsip itu adalah : penghargaan atas kemanusiaan dan penolakan atas kebiadaban. Inilah ajaran Bung Karno yang didasari oleh keberpihakan pada kemanusiaan.

Kejantanan dan ketabahan menghadapi resiko dimaki, dibully, dipersalahkan, dan dihina tersebut tidak mungkin dimiliki oleh pengecut.

Di sisi lain, figur Anies Baswedan misalnya, memilih bungkam seribu bahasa. Bagi pemimpin yang tidak kokoh di atas prinsip dan menimbang keputusan berdasarkan faktor elektoral, Pak Anies lebih memilih "toleh kiri dan kanan".

Mencermati dan menunggu perkembangan mana yang menguntungkan dirinya, hingga terlambat dan kehilangan kesempatan. 

Hingga akhir, Anies Baswedan tidak berani menyampaikan sikapnya. Ia bagaikan berdiri di atas pasir keragu-raguan yang mudah tersapu gelombang sejarah yang bergerak meninggalkannya.

Dalam situasi lain, ia bekerja mengandalkan timnya dan orang-orang lain. Tiba-tiba bingung merangkai kata menyikapi keadaan. Sebab keadaan itu mengandung resiko. 

Diamnya Anies Baswedan menunjukkan pada seluruh rakyat Indonesia kualitas kepemimpinannya, yang dibangun berdasarkan citra-citra, diselimuti keraguan, dan tanpa prinsip.

Sebaliknya, Pak Ganjar, Pak Koster, juga kader-kader PDI Perjuangan teguh pada prinsip. Mereka tidak pernah menolak Piala Dunia. Bahkan mendukung penuh gelaran tersebut. Rekam jejak digital mencatat semuanya.

Yang ditolak adalah Israel.

Pendapat itu sah, tegas, clear.

Sebagai bangsa yang percaya diri, kita tidak diajarkan untuk takut berbeda pendapat dengan negara-negara Barat. Apalagi ini menyangkut alasan kemanusiaan yang fundamental.

Hari ini, konteksnya adalah Israel, yang secara historis, yuridis, dan fundamental jelas alasannya. Esok bisa beda lagi. Dunia terus bergerak. 

Apa kita mau diam terus dan mengkhianati nurani dalam bersikap? Asal itu memuaskan selera dunia?

Sebab ini bukan lagi persoalan mencampuradukkan politik dengan sepakbola. FIFA sekalipun, dalam beragam kesempatan, juga berpolitik. Ia memilih tidak berpihak pada Russia, ia pernah memilih tidak berpihak pada Afrika Selatan.

Apakah kemudian kita tidak boleh berbeda pendapat saat kita berharap FIFA berpihak pada kemanusiaan?

Menyatukan Hati Membuktikan Pada Dunia

Dibutuhkan satu sikap yang jantan dan negarawan dari semua anak bangsa saat ini untuk mengakhiri perdebatan tanpa ujung.

Sebaiknya, energi yang meluap-luap itu fokuskan pada upaya perbaikan sepakbola nasional kita: melakukan pembinaan-pembinaan, mendorong tersedianya pendidikan yang layak dan jaminan kesejahteraan bagi para atlet-atlet kita, serta membesarkan hati kita untuk membuktikan supremasi olahraga kita.

Indonesia dulu pernah bersikap demikian. Menolak Israel dalam gelaran olahraga, lalu membuktikan kejantanan sikap dengan membangun Kompleks Gelora Bung Karno dengan megah. Bahkan membuat sendiri kompetisi GANEFO, bentuk menolak ditundukkan.

Kita bukan bangsa yang lemah, bukan bangsa yang merengek-rengek, bukan bangsa yang munafik dan ragu-ragu menunjukkan sikap demi menyenangkan selera banyak orang. 

Keutuhan dan kesatuan kita diuji, perlu satu hati yang teguh. Mari kita percaya pada proses, bahwa Timnas Indonesia bisa berlaga dan berjaya di Piala Dunia. 

Mau main dimanapun, jadi tuan rumah atau tidak, jadi penyelenggara atau tidak, gak patheken! Kita percaya Indonesia bisa berprestasi.

Tahap demi tahap kita lalui prosesnya. Sepenuh tekad dan keyakinan kita perjuangkan harapan itu.

Keyakinan itu adalah satu kesatuan sikap jantan dengan keberanian bersuara mempertahankan prinsip. Itu satu paket dan tidak terpisah.

Kita apresiasi Pak Ganjar, Pak Koster, kader-kader PDI Perjuangan dan semua anak bangsa yang berani bersikap. Menunjukkan keteladanan tidak munafik, tidak pengecut.

Inilah saat yang tepat bagi Indonesia untuk bangkit dari rengek-rengek kesedihan. Digembleng, bangun lagi! 

Kita membuktikan pada dunia bahwa bangsa kita siap membayar harga mahal demi kejayaan yang tidak melawan nurani kemanusiaan. Tidak sengaja diam dan sembunyi di balik kemunafikan.

Quote