Ikuti Kami

Identitas Politik, Yes. Politik Identitas No!

Oleh: Mohamad Guntur Romli, Bacaleg DPR RI PDI Perjuangan Jawa Timur III yang juga Ketua Umum Ganjarian Spartan.

Identitas Politik, Yes. Politik Identitas No!
Mohamad Guntur Romli, Bacaleg DPR RI PDI Perjuangan Jawa Timur III/Ketua Umum Ganjarian Spartan.

Jakarta, Gesuri.id - Adanya video Ganjar Pranowo di azan shalat Maghrib tidak bisa disebut permainan politik identitas, tapi bisa saja disebut ekspresi identitas keagamaan Ganjar Pranowo sebagai seorang muslim.

Ada perbedaan yang jelas antara politik identitas dengan identitas politik. 

Identitas politik adalah hal yang wajar dalam politik. Misalnya identitas sosial, agama dan politik seseorang. Apa agamanya, apa sukunya, apa afiliasi partainya. Identitas-identitas ini harus dilindungi tidak boleh didiskriminasi.

Seorang politisi bisa menampilkan identitasnya, misalnya identitas dia sebagai orang yang beragama, orang yang religius, atau identitas kesukuannya. Apabila dia mengekspresikan hal-hal itu merupakan kewajaran.

Politisi yang muslim tidak boleh malu-malu untuk menunjukkan identitas keislaman dia, apalagi Indonesia bukan negara sekuler, bukan negara yang anti agama. 

Politisi muslim yang rajin ke pengajian, sholawatan, tahlilan dan lain-lainnya kan tidak boleh menjauhi tradisi itu meskipun menjadi politisi. 

Demikian pula politisi yang rajin ke gereja, ke pura, vihara, klenteng dan lainnya harus tetap menjaga akar-akar spiritulitasnya.

Politisi yang punya akar suku dan budaya tertentu juga bisa mengekspresikan sebagai bentuk penghormatan terhadap akarnya. 

"Ojo pedhot oyot" kata orang Jawa. "Jangan sampai tercerabut, terputus dari akarnya".

Identitas politik berbeda dengan politik identitas yang mengeksploitasi identitas politik untuk memecah belah. Untuk mengunggulkan salah satu dan merendahkan yang lain. 

Misalnya ada politisi yang beragama A, dia memanfaatkan agama A yang kebetulan pemeluknya lebih banyak di suatu wilayah untuk menyerang dan meredahkan politisi lain yang beragama B. 

Atau politisi yang menggunakan sukunya untuk menyerang lawan politiknya yang berbeda suku. 

Ini yang disebut permainan politik identitas, yakni mempolitisir identitas sosial, agama, budaya dan politik untuk memecah belah, untuk melakukan diskriminasi. 

Tapi selama identitas politik, sosial, agama dan budaya diekspresikan sebagai kecintaan pada akarnya, dengan taraf yang wajar dan tujuannya untuk persatuan dalam berbedaan, itulah pengamalan dari Bhinneka Tunggal Ika. 

Karena kita tidak akan pernah tahu dan paham adanya perbedaan dan kebhinnekaan kalau yang berbeda-beda itu, baik beda agama, beda suku, beda budaya diekspresikan secara nyata ke ruang publik. 

Sebagai seorang muslim dan santri kehidupan Ganjar Pranowo akan menampilkan hal-hal itu, dia akan terekam saat shalat berjamaah, shalat Jumat, shalat Idul Fitri bersama Pak Jokowi, sholawatan bersama Habib Syech, berkumpul bersama para ulama, kyai dan habaib, dan lain-lain.

Namun identitas keislaman Ganjar Pranowo bukan memecah belah karena identitas keislaman yang diamalkan adalah Islam yang rahmatan lil alamin (berkah bagi semuanya).

Karena itu meskipun Ganjar seorang muslim yang taat, seorang santri yang baik bisa berdialog dan mengayomi tokoh-tokoh lintas agama.

Ganjar juga datang ke gereja, berdialog dengan romo dan pendeta, datang ke pura berdialog dengan pandita dan pedanda, berdialog dengan bikkhu di vihara dan seterusnya. 

Identitas seseorang diekspresikan (baik identitas politik, agama, suku dan budayanya): tidak masalah.

Tapi jangan jadikan identitas itu sebagai pemecah belah: ini permainan politik identitas.

Identitas Politik, Yes. Politik Identitas No!

Quote