Ikuti Kami

Keputusan Terburu-buru Anies Hentikan Proyek Reklamasi

Minimnya lahan yang ada di Jakarta seharusnya dimanfaatkan dengan adanya reklamasi.

Keputusan Terburu-buru Anies Hentikan Proyek Reklamasi
Ilustrasi. Reklamasi Teluk Jakarta.

Presiden RI pertama, pendiri Bangsa ini, Ir. Soekarno telah membidik Jakarta sebagai wajah (muka) Indonesia terkait beberapa kegiatan berskala internasional yang diadakan di kota itu. Namun tak hanya itu, Bung Karno juga telah memiliki rencana agung yaitu sebuah kota yang sejak awal diharapkan sebagai pusat pemerintahan pada masa mendatang.

Begitu dahsyatnya rencana Bung Karno tak heran sebab sejak jaman VOC di saat masa-masa kejayaan Batavia, Jakarta dikenal sebagai 'Permata dari Timur'. 

Daya tarik Kota Jakarta sejak berabad-abad lalu memang tak terbendung, sehingga wilayah yang sesungguhnya hanyalah sebuah kota pelabuhan dari kerajaan Hindu Pajajaran ini semakin diperluas dan semakin penuh jumlah penduduknya. 

Baca: Pandapotan: Motivasi Anies Cabut Izin Reklamasi Tak Jelas

Tercatat, berdasarkan data Badan Pusat Statisik, jumlah penduduk DKI Jakarta pada 2015 mencapai 10,18 juta jiwa. Kemudian meningkat menjadi 10,28 juta jiwa pada 2016, dan bertambah menjadi 10,37 juta jiwa pada 2017. 

Itu artinya, selama dua tahun terkahir jumlah penduduk di Ibu Kota bertambah 269 jiwa setiap hari atau 11 orang per jam.

Adapun wilayah dengan populasi terbanyak adalah Jakarta Timur dengan jumlah penduduk mencapai 2,89 juta jiwa, diikuti Jakarta Barat (2,53 juta jiwa) dan Jakarta Selatan (2,23 juta jiwa). Lalu Jakarta Utara (1,78 juta jiwa), Jakarta Pusat (921 ribu jiwa), serta Kabupaten Kepulauan Seribu (24 ribu jiwa). 

Untuk itulah tak heran jika Jakarta kehabisan lahan, sehingga memerlukan tambahan atau perluasan areal demi menampung membludaknya antusiasme rakyat Indonesia untuk tinggal menetap di Ibu Kota yang merayakan HUTnya setiap tanggal 22 Juni. 

Maka, pemerintah pusat membuat SK mengenai reklamasi di teluk Jakarta. Reklamasi (proses pembuatan daratan baru dari dasar laut atau dasar sungai) dinilai sangat diperlukan karena Jakarta punya lahan terbatas.

Teluk Jakarta adalah sebuah teluk di perairan laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Di teluk ini, bermuara 13 sungai yang membelah kota Jakarta.

Teluk Jakarta yang luasnya sekitar 514 km2 ini merupakan wilayah perairan dangkal dengan kedalaman rata-rata mencapai 15 meter. Kepulauan Seribu yang terdiri atas 108 pulau adalah gugusan kepulauan yang berada di Teluk Jakarta.

Reklamasi bukan hal baru bagi Jakarta. Kegiatan untuk meningkatkan manfaat sumber daya lahan dengan pengurukan dan pengeringan lahan atau drainase tersebut sudah mulai dilakukan sejak 1980-an. 

Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pernah menegaskan bahwa reklamasi bukan hal baru di Jakarta karena sudah dilakukan sejak beberapa puluh tahun lalu, bahkan sejak era Gubernur Ali Sadikin. 

Ahok menyebutkan sejumlah daerah di Jakarta yang disebutnya merupakan hasil reklamasi. Daerah-daerah itu meliputi kawasan Pluit, Pelabuhan Nizam Zachman di Muara Angke, Kalibaru, dan Ancol. 

Karena reklamasi bukan hal baru dan sudah dilakukan sejak lama, Ahok menganggap aksi penolakan terhadap proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta saat sebagai sesuatu yang aneh. Terlebih lagi, ia menganggap kritikan tidak pernah ditujukan ke proyek reklamasi di tempat lain.

Waktu berlalu, kepemimpinan berganti. Akhirnya, pada Rabu (26/9) Gubernur DKI Jakarta saat ini Anies Baswedan secara resmi menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta, meski masih ada 4 pulau lain. Keputusan tersebut diumumkan di Balairung, Balai Kota DKI Jakarta.

Sekretaris Komisi D DPRD DKI Jakarta Pandapotan Sinaga menyebut keputusan Anies Baswedan dengan mencabut izin prinsip pembangunan 13 pulau reklamasi tidak tepat.

Politikus PDI Perjuangan itu mengatakan minimnya lahan yang ada seharusnya dimanfaatkan dengan adanya reklamasi yang nantinya akan menguntungkan DKI.

“Saya juga tidak tahu motivasinya apa. Ini kan yang berwenang pemerintah pusat. Kalau saya melihatnya, reklamasi itu sebenarnya diperlukan karena kita (Jakarta) punya lahan terbatas, dan reklamasi itu kan masuk dalam Perda (Peraturan Daerah) yang diparipurnakan itu seharusnya ya tinggal jalan. Karena kan disamping reklamasi itu kita dapat juga retribusi dan tambahan,” tegasnya.

Ke-13 pulau yang masih belum dibangun antara lain, Pulau A, B, dan E (PT Kapuk Naga Indah); Pulau I, J, dan K (PT Pembangunan Jaya Ancol); Pulau M (PT. Manggala Krida Yudha); Pulau O dan F (PT. Jakarta Propertindo); Pulau P dan Q (KEK Marunda Jakarta); Pulau H (PT. Taman Harapan Indah); dan Pulau I (PT. Jaladri Kartika Pakci).

Sementara tiga pulau yang sudah dibangun, yakni Pulau C dan D (PT Kapuk Naga Indah); dan Pulau G (PT Muara Wisesa Samudra) akan diatur tata ruang dan pengelolaannya sejalan dengan kepentingan masyarakat. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut izin prinsip 13 pulau reklamasi di teluk Jakarta, sekaligus memastikan reklamasi dihentikan.

Keputusan ini akan memberi konsekuensi baik untung maupun rugi yang diterima pengembang.

Baca: Kota Tua Luput, Gembong: Reklamasi Tak Pengaruhi Penilaian

Bertentangan dengan Pusat

Pemerintah pusat sebenarnya telah mengeluarkan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan atas nama Pemprov DKI Jakarta.

Untuk itu, Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono menduga keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menghentikan reklamasi hanya bersifat sementara. Hal itu karena keputusan yang permanen akan bertentangan dengan pemerintah pusat. 

"Kenapa sementara dihentikan? Kan memang peraturan daerah yang mengatur reklamasi belum selesai. Ya kalau permanen berarti bertentangan dengan pemerintah pusat, logikanya kan gitu," ujarnya, Rabu (26/9). 

"Gubernur itu wakil pemerintah pusat di daerah, pemerintah pusat sudah mengeluarkan sertifikat HPL [Hak Pengelolaan Lahan] atas nama Pemprov DKI Jakarta. Nah itu mau diapakan? Kan pemprov mesti mengatur," ia menambahkan. 

Gembong menduga alasan penghentian reklamasi memang terkait dengan rancangan peraturan daerah (raperda) yang belum selesai. Baginya, reklamasi terkait dengan perda dan rencana detail tata ruang DKI Jakarta. 

Seharusnya, kata Gembong, yang didorong adalah pembicaraan raperda yang belum di DPRD. Hal itu, kata dia, akan menjadi landasan Anies dalam bertindak. 

"Dua raperda yang ada di gubernur itu segera didorong ke DPRD agar bisa segera diselesaikan, sehingga bisa melandasi apapun yang nanti akan dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta karena itu pijakannya dari sana," ucapnya. 

"Yang melandasi tindakan gubernur kan perda juga salah satunya, selain kebijakan gubernur. Tapi ada aturan yang sama-sama kita sepakati yaitu perda, perda yang menentukan langkah kita," imbuh dia. 

Baca: Bentuk BKP Pantura Jakarta, TGUPP Bentukan Anies Apa Kabar?

Lima Fakta di Balik Pencabutan Izin Pulau Reklamasi  

1. Pencabutan izin hanya untuk 13 pulau reklamasi
Gubernur Anies mencabut izin prinsip dan pelaksanaan 13 pulau. Pulau A, B, dan E yang dikelola oleh PT Kapuk Naga Indah, Pulau J dan K oleh PT Pembangunan Jaya Ancol. Sedangkan, Pulau L oleh dua pengembang, yaitu PT Pembangunan Jaya Ancol dan PT Manggala Krida Yudha.

Selain itu, Pulau M dikelola oleh pengembang PT Manggala Krida Yudha. Pulau O dan F oleh perusahaan PT Jakarta Propertindo. Pulau P dan Q oleh PT Kawasan Ekonomi Khusus Marunda Jakarta. Pulau H oleh pengembang PT Taman Harapan Indah. Terakhir, Pulau I oleh PT. Jaladri Kartika Eka Paksi.

Anies menuturkan telah mengirim surat pencabutan persetujuan prinsip dan pembatalan surat perjanjian kerjasamanya kepada pihak pengembang.

2. Anies menunaikan janji Kampanye
Anies dan mantan Wakil Gubernur DKI Sandiaga Uno acap kali mengucapkan komitmen untuk menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Salah satu alasannya karena mega proyek tersebut mencemari lingkungan dan berdampak negatif pada kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir.

3. Pengelolaan 4 pulau diambil alih
Empat pulau reklamasi yang sudah terbangun, yakni Pulau C dan D (PT. Kapuk Naga Indah), Pulau G (PT. Muara Wisesa Samudra), serta N (Pelindo II) akan diatur tata ruang dan pengelolaannya sejalan dengan kepentingan masyarakat.

Selain Pulau N, pemegang izin prinsip untuk 3 pulau lain tidak memenuhi kewajiban-kewajiban perizinan yang dipersyaratkan, contohnya desain dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Bagi bangunan yang sudah ada, harus diproses perijinan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan merujuk pada Peraturan Daerah DKI Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Gubernur DKI Nomor 129 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemberian Pelayanan di Bidang Perizinan Bangunan dan penekanan pada pengenaan denda.

4. Anies Baswedan siap digugat pengembang 
Gubernur Anies siap menerima gugatan dari pihak yang merasakan kerugian atas pencabutan izin prinsip pembangunan sebanyak 13 pulau proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Konsekuensi dari keputusan tersebut, yakni berbagai pihak seperti pengembang dan konsumen merasa rugi. Kendati demikian, dia mengaku telah siap untuk meladeni semua gugatan yang akan ditujukan kepadanya.

5. Pemerintah Pusat setuju 
Ketua Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) bidang Pulau Pesisir Marco Kusumawijaya mengklaim pemerintah pusat telah menyetujui keputusan penghentian proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Dia menuturkan Gubernur DKI telah bertemu dan melakukan koordinasi dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

Bahkan, menurut Ketua TGUPP itu, Siti menyampaikan jika kebijakan yang diambil Pemprov DKI soal pulau reklamasi sudah sejalan dengan keputusan pemerintah pusat.

Jalan Panjang Sejak Orde Baru

Dalam catatan pemberitaan di Kompas, PT Pembangunan Jaya melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi sekitar tahun 1981. 

Sepuluh tahun kemudian, giliran hutan bakau Kapuk yang direklamasi untuk kawasan permukiman mewah yang sekarang dikenal dengan sebutan Pantai Indah Kapuk. Tahun 1995, menyusul reklamasi yang digunakan untuk industri, yakni Kawasan Berikat Marunda. 

Saat itu, kegiatan reklamasi di empat lokasi tersebut sudah menimbulkan perdebatan. Sejumlah pihak menuduh reklamasi Pantai Pluit mengganggu sistem PLTU Muara Karang. 
Diduga, ini terjadi akibat adanya perubahan pola arus laut di areal reklamasi Pantai Mutiara yang berdampak terhadap mekanisme arus pendinginan PLTU. 

Tak hanya itu, tenggelamnya sejumlah pulau di perairan Kepulauan Seribu diduga akibat dari pengambilan pasir laut untuk menimbun areal reklamasi Ancol. 

Namun, dampak negatif tersebut tidak diindahkan. Upaya reklamasi dipilih untuk menambah luas daratan ibu kota negara. 

Wiyogo Atmodarminto, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, menyatakan reklamasi ke utara Jakarta dipilih karena perluasan ke arah selatan sudah tidak memungkinkan lagi. 

Rencana reklamasi seluas 2.700 hektare tersebut pertama kali dipaparkan di hadapan Presiden Soeharto, Maret 1995. 

Selain untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, proyek reklamasi juga untuk 
mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal dibandingkan empat wilayah lain. 
Untuk memuluskan rencana tersebut, disahkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995. Namun, munculnya dua kebijakan ini "menabrak" Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak disebutkan mengenai rencana reklamasi.

Baca: Pantas Minta Pemprov DKI Jakarta Tindak Lanjuti Temuan ITB

Tarik Ulur Kebijakan

Tarik ulur kebijakan Sejak 1995 tersebut terjadi "perang" aturan antara Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup dalam berbagai kebijakannya menyebutkan bahwa reklamasi tidak layak dilakukan karena akan merusak lingkungan. 

Sementara Pemprov DKI Jakarta bersikeras agar reklamasi tetap dilakukan. Tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, proyek reklamasi tidak bisa dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan. 

Ketidaklayakan tersebut disampaikan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara. 
Surat keputusan tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI. Tahun 2007, enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). 

Mereka beralasan sudah melengkapi semua persyaratan untuk reklamasi, termasuk izin amdal regional dan berbagai izin lain. PTUN memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut. Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN tetap memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut. 

Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.

Keputusan baru MA Tahun 2011, keadaan berbalik. MA mengeluarkan putusan baru (No 12/PK/TUN/2011) yang menyatakan, reklamasi di Pantai Jakarta legal. Namun, putusan MA tersebut tidak serta-merta memuluskan rencana reklamasi. Untuk melaksanakan reklamasi, Pemprov DKI Jakarta harus membuat kajian amdal baru untuk memperbarui amdal yang diajukan tahun 2003. 

Juga dengan pembuatan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan pemda di sekitar teluk Jakarta. Saat rencana reklamasi terkatung-katung oleh berbagai aturan yang menghadangnya, tahun 2012 Presiden SBY menerbitkan Perpres No 122 Tahun 2012. 

Perpres mengenai reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut menyetujui praktik pengaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta. Tahun 2014, Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo kembali mengukuhkan rencana reklamasi. 

Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013 keluar pada Desember 2014 dengan pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra. 

Baca: Soroti Tim Pemanfaatan Monas, Prasetyo: Pemborosan Anggaran

Ide moratorium  

Namun, Kementerian Kelautan dan Perikanan menilai, kebijakan tersebut melanggar karena kewenangan memberikan izin di area laut strategis berada di tangan kementeriannya meski lokasinya ada di wilayah DKI Jakarta. 

Tak hanya itu, Kementerian Koordinator Kemaritiman juga meminta pengembang dan Pemprov DKI Jakarta membuat kajian ilmiah rencana reklamasi Pulau G di Jakarta Utara. Kajian ilmiah itu perlu dijelaskan kepada publik sehingga publik tahu detail perencanaan dan bisa mengawasi proyek reklamasi. 

Akhir September 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengkaji penghentian sementara (moratorium) reklamasi. Reklamasi diusulkan hanya untuk pelabuhan, bandara, dan listrik. Di luar itu tidak boleh ada reklamasi untuk hotel, apartemen, mal, dan sebagainya. 

Moratorium yang masih berupa kajian tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI Jakarta untuk tetap melaksanakan reklamasi. Akhir Oktober 2015, Pemprov DKI menyatakan mulai mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi. Pulau O, P, dan Q akan diintegrasikan dengan Pulau N untuk pembangunan Port of Jakarta. 

Pro reklamasi Wacana reklamasi 17 pulau ini terus bergulir sejak zaman Orde Baru. Namun, sudah 10 tahun bergulir, reklamasi tersebut urung dilakukan. Berbagai pendapat mendukung dan menentang rencana reklamasi tersebut. 

Reklamasi untuk menambah ruang pembangunan Jakarta merupakan salah satu pendapat yang mendukung proyek reklamasi. Kawasan selatan Jakarta sudah tidak mungkin dikembangkan karena fungsinya sebagai daerah konservasi. 

Juga dengan wilayah timur dan barat yang sudah telanjur padat penduduk karena sejak 1985 pengembangan wilayah Jakarta sudah diarahkan ke timur dan barat. Alasan lain adalah untuk mengembangkan kawasan utara Jakarta. Pengembang yang membangun kawasan tersebut akan menghasilkan pajak dan retribusi. 

Selanjutnya pemasukan baru PAD DKI Jakarta tersebut digunakan untuk memperbaiki kawasan kumuh. Namun, justru alasan ini dipertanyakan banyak pihak. Jika ingin menambah ruang pembangunan, bukan dengan melakukan pembangunan horizontal ke wilayah utara. 
Pembangunan vertikal dengan memperhatikan kaidah lingkungan secara perlahan harus diterapkan. Selain itu, arus migrasi manusia ke Jakarta juga perlahan perlu ditahan dan diarahkan ke wilayah mitra (Bodetabek). 

Penggunaan area reklamasi untuk subsidi silang pemasukan daerah juga merupakan langkah tidak tepat. Seberapa besar pengawasan yang dilakukan Pemprov DKI untuk memastikan para pengembang membayar pajak dan retribusi? Pengembang yang telah menginvestasikan banyak uang akan membatasi pemasukannya bagi pajak dan retribusi pemda.

Berbagai pendapat mendukung bahwa reklamasi berdampak positif pada lingkungan. Reklamasi berupa pulau akan memperlancar aliran banjir ke laut, berfungsi sebagai bendungan untuk menahan kenaikan permukaan air laut, dan sebagai sumber air bersih Jakarta Utara. Juga ada pendapat bahwa reklamasi akan memecah gelombang dan mengurangi risiko abrasi. Pendapat tersebut memerlukan kajian lebih lanjut.

Baca: Keputusan Reklamasi Versi Anies Bertentangan dengan Pusat

Kontra reklamasi 

Pihak yang menentang akan mengaitkan reklamasi berdampak negatif pada lingkungan. Sebut saja akan mengakibatkan ekosistem pesisir terancam punah. Kehancuran itu antara lain berupa hilangnya berbagai jenis pohon bakau di Muara Angke, punahnya ribuan jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai keanekaragaman hayati lain. 

Selain itu, reklamasi juga akan memperparah potensi banjir di Jakarta karena mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta Utara. 
Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan merusak kawasan tata air. Tak hanya persoalan lingkungan, reklamasi berdampak juga pada masalah sosial, seperti pada kehidupan nelayan Jakarta Utara. 

Reklamasi pantura Jakarta diyakini menyebabkan 125.000 nelayan tergusur dari sumber kehidupannya dan menyebabkan nelayan yang sudah miskin menjadi semakin miskin. Terakhir, muncul pertanyaan substansial: reklamasi di Teluk Jakarta itu diperuntukkan bagi siapa?

Tidak semua kelas ekonomi masyarakat Jakarta bisa menikmati reklamasi tersebut. Reklamasi yang dibangun pengembang dengan dana triliunan rupiah tentu akan dijual dengan harga mahal. Hanya golongan ekonomi atas yang mungkin akan menikmati reklamasi tersebut.

Quote