Ikuti Kami

Mengulik Tiga Varian Covid-19: Alpha Beta Delta

Iman Sugema: Kita berharap gelombang varian Delta yang terjadi sekarang adalah yang terakhir.

Mengulik Tiga Varian Covid-19: Alpha Beta Delta
Iman Sugema, Ekonom Megawati Institute. (Foto: Istimewa)

Jakarta, Gesuri.id - Alpha, Beta, dan Delta adalah nama varian dari virus SARS Cov-2 yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan di media konvensional maupun media sosial. Saya sebagai ekonom tentunya tidak akan membahas secara teknis-medis mengenai ketiga jenis varian tersebut.

Saya hanya akan membahas implikasi penyebaran penyakit Covid-19 yang semakin dahsyat dari sudut pandang behavioral economics. Saya juga ingin mengingatkan bahwa setahun yang lalu saya pernah menulis bahwa peran ilmu ekonomi dan ilmu sosial lainnya sangat penting dalam pengendalian pandemi.

Kita sangat memerlukan berbagai bentuk inovasi dalam rekayasa sosial sembari menunggu solusi permanen dari dunia medis, virologi, dan farmasi. Ada dua hal yang ingin saya bagi dengan Anda.

Pertama, dalam jangka dekat ini fokus utama kita sebagai masyarakat adalah bagaimana diri kita, keluarga, dan tetangga tidak tertular Covid-19. Varian Delta ditengarai memiliki daya jangkit dua
kali lebih cepat dibanding varian Alpha yang selama setahun ini menyebar di Indonesia.

Kita sangat memerlukan berbagai inovasi dalam rekayasa sosial sembari menunggu solusi permanen dari dunia medis, virologi, dan farmasi. Kalau sampai penyebaran varian Delta tidak terkendali, rentetan
tragedi seperti yang terjadi di India menjadi tak terhindarkan. Rumah sakit tak mampu melayani luapan pasien, tenaga medis kelelahan, pasokan oksigen tidak mencukupi, dan tempat perawatan darurat terpaksa ditambah setiap hari. 

Akan banyak pasien yang meninggal karena tak bisa mendapatkan pelayanan medis. Untuk menghindari itu, kunci utamanya adalah bangkitnya kesadaran masyarakat. Hanya kita yang bisa menolong diri kita sendiri.

Khususnya di wilayah zona merah. Kalau seandainya ada dua pertiga penduduk yang tetap tinggal di rumah selama sebulan penuh, maka jumlah kasus harian akan turun drastis menjadi kurang dari 1.000 dalam tempo kurang dari enam minggu.

Kelihatannya sih mudah untuk dibicarakan. Sejatinya sih sulit untuk kita laksanakan. Walaupun pahit untuk dikatakan, tapi itulah cara terbaik untuk menghindari terlalu banyaknya korban kematian. Sebagai gambaran kasar saja, kalau jumlah kasus harian sampai melewati 30 ribu orang per hari, maka sistem pelayanan medis tidak akan mampu melayani pasien dengan baik. Pada saat itu kita baru akan terbelalak dengan kenyataan bahwa ribuan orang mati sia-sia setiap hari.

Kalau laju infeksi selama dua minggu terakhir berlanjut terus, angka 30 ribu kasus per hari akan tercapai kurang dari 20 hari saja. Kalau laju infeksi selama dua minggu terakhir berlanjut terus, angka
30 ribu kasus per hari akan tercapai kurang dari 20 hari saja. Kita memang memiliki waktu yang sangat sempit untuk menghindari bencana wabah ini.

Sekali lagi, intinya adalah apakah kita mau menolong diri kita sendiri? Untuk bisa menyadarkan masyarakat tentang hal ini, peranan ahli komunikasi, antropolog, dan psikologi sosial akan sangat membantu. 

Sebagai contoh, behavioral science menegaskan bahwa pada umumnya manusia memiliki kecenderungan risk averse atau menghindari risiko. Bagaimana cara menyampaikan bahwa ancaman kematian massal sudah berada di pelupuk mata setiap orang merupakan domain dari ahli komunikasi. Bagaimana mendesain agar pesan ini kemudian menjadi kesadaran masyarakat merupakan domain dari ahli psikologi sosial. 

Kedua, dalam jangka waktu satu sampai lima tahun ke depan, kita masih akan dibebani dengan kemungkinan terjadinya multiple outbreak penyebaran Covid-19. Upaya vaksinasi tampaknya akan memiliki tantangan tersendiri.

Selama pasokan vaksin bergantung pada impor, kita harus ngantre dan bersaing dengan dengan negara lain. Mungkin vaksinasi bisa saja kita selesaikan dalam satu tahun dan itu berarti satu juta suntikan per hari. Manajemen logistiknya akan sangat rumit walaupun kita harus tetap optimistis. Kita bisa.

Selama pasokan vaksin bergantung pada impor, kita harus ngantre dan bersaing dengan dengan negara lain. Persoalan yang lebih rumit lagi adalah masalah mutasi virus SARS Cov-2. 

Sejauh ini, sudah ada 10 varian virus dan yang jadi masalah adalah kita tidak memiliki kepastian akan sejauh mana mutasi ini akan terjadi. Kalau vaksin tidak menciptakan kekebalan terhadap varian baru,
maka ancaman gelombang wabah akan selalu potensial. Sejauhmana hal ini akan terjadi, kita betul-betul belum bisa memprediksinya dengan baik.

Karena itu langkah terbaik adalah mempersiapkan masyarakat supaya cepat beradaptasi dengan gelombang wabah yang mungkin datang bertubi-tubi. Tentunya, kita berharap bahwa gelombang varian Delta yang terjadi sekarang ini adalah gelombang yang terakhir.

Tetapi pada kenyataannya kita hanya memiliki pengetahuan yang sedikit mengenai kemungkinan multiple outbreak. Karena itu, rekayasa sosial adalah satu-satunya cara kita beradaptasi. Siapkah kita beradaptasi?

Quote