Ikuti Kami

Reformasi IDI, Eksistensi Kembalikan Pada Tujuan Bernegara

Oleh: Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hasto Kristiyanto.

Reformasi IDI, Eksistensi Kembalikan Pada Tujuan Bernegara
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. (Istimewa)

Jakarta, Gesuri.id - Sejarah kemerdekaan Indonesia adalah sejarah perjuangan. Dalam perjuangan itu sejarah mencatat kepeloporan para dokter Bumi Putera. Mereka bergerak menggunakan nalar budi yang digelorakan oleh nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan itulah yang menjadi instrumen penyadar tentang penderitaan bumi Nusantara akibat penjajahan kolonialisme Belanda. 

Dengan tinta emas, perjuangan dr. Soetomo, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. Wahidin Sudirohusodo, dr. Radjiman Wedyodiningrat, dr. Soeharto, dr. Ahmad Mochtar, dr. Mohamad Sjaaf, dr. Johannes Leimena, dr. M. Sardjito, dr. Sarwono Prawirihardjo, dan dr. Soejono Djoened ditulis dalam sejarah sebagai pendobrak alam pikir bangsa terjajah. Para dokter tersebut menjadi pelopor dalam perjuangan baru, dengan metode baru, dan pendekatan baru, dengan mendirikan Boedi Oetomo. Tidak hanya itu, dalam masa sulit menjelang kemerdekaan Indonesia, tampillah dr. Radjiman Wedyodingrat sebagai Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Bersama Bung Karno dan Bung Hatta, dr. Radjiman dan dr. Soeharto menjalankan misi rahasia ke Saigon, Vietnam guna mempersiapkan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. 

Baca: Pondasi Kekuatan Pertahanan & Relevansi Konsepsi Trisakti

Begitu besar jasa para dokter pejuang. Mereka menjadi dokter pelopor yang berjuang karena gelora kemanusiaan. Setiap dokter pejuang memiliki peran tersendiri. Dalam testimoninya, dr. Soeharto tidak hanya berperan sebagai dokter pribadi Bung Karno dan Bung Hatta. Ia juga sering menjalankan peran yang begitu penting. Ia menggalang dana revolusi bagi republik yang baru berdiri. Ia menjalankan berbagai misi rahasia dan menjadi benteng bagi Dwi Tunggal Sukarno-Hatta dari berbagai pertarungan elit kekuasaan.

Dokter Soeharto pula yang memelopori pendirian Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ditegaskan bagaimana IDI lahir dengan tujuan mulia. IDI di awal kemerdekaan ini memperjuangkan hak pokok tiap-tiap manusia untuk memperoleh kesehatan jasmani dan rohani sesuai dengan paham keadilan sosial. IDI berjuang guna mempertinggi derajat kesehatan rakyat dan sekaligus pengembangan ilmu kesehatan dalam hubungannya dengan perkembangan ilmu-ilmu lain yang bisa diterapkan dalam dunia kedokteran. 

Dalam masa perjuangan ini, IDI juga berkomitmen untuk mengadakan penyelidikan di lapangan ilmu kedokteran pada khususnya dan lapangan kesehatan pada umumnya. Komitmen untuk mendidik rakyat; memelihara dan memperbaiki kesehatan kaum pekerja, perempuan hamil, dan anak-anak menjadi perhatian utama IDI. Tidak hanya itu, perjuangan perbaikan makanan, dan berbagai kegiatan preventif di dalam menganjurkan olah raga dan penghiburan di kalangan rakyat juga menjadi misi IDI.

Pendeknya, IDI dalam masa perjuangan digerakkan oleh semangat kepeloporan tanpa pamrih. Ia begitu progresif, dan berjuang tanpa egosentris. IDI mengembangkan budaya inklusif, dan mendorong daya kreasi setiap anggotanya di dalam melakukan penelitian, perbaikan metodologi pengobatan, dan mendorong agar Indonesia bisa berdaulat dalam bidang kesehatan. 

Tidak heran, perkumpulan tabib Indonesia pun diintegrasikan dalam IDI. Semua dalam konsepsi pentingnya memadukan metodologi pengobatan modern ala Barat, dan berbagai metodologi tradisi Timur yang sudah teruji dalam praktik. Di sini IDI membangun kultur open mind, dan respek pada tradisi pengobatan yang telah berurat berakar dalam peradaban umat manusia. Dengan sikapnya ini, IDI tidak mengambil sikap konfrontatif. IDI membuka mata hati dan pikiran sesuai dengan ruh kemanusiaan yang menjadi landasan filosofis dokter di dalam menggunakan ilmunya bagi kemanusiaan. 

IDI juga bergerak dalam ruang kemanusiaan tanpa batas. Pasien adalah pasien, tidak peduli apa agama, suku, status sosial, dan berbagai pembeda lainnya. Pada masa perjuangan ini, IDI hadir sebagai kekuatan perjuangan nasional yang menggelorakan semangat kesehatan untuk semua warga bangsa. Disinilah kehadiran IDI dalam masa perjuangan menjadi begitu disegani. Jika tidak percaya, bacalah sejarah IDI. Resapi hal ikhwal strategic intent kelahiran IDI sebagaimana dengan gamblang dijelaskan dalam buku Saksi Sejarah, suatu otobiografi Dr. dr. Soeharto. 

Bung Karno dan dokter pribadinya, dr Soeharto

Namun seiring waktu berjalan, dengan tantangan yang makin kompleks, dan persaingan antar bangsa yang memerlukan pentingnya human capital, IDI di era saat ini sepertinya menunjukkan gejala kemunduran. Dengan mandat negara yang begitu besar, supremasi IDI justru memunculkan berbagai bentuk pembatasan. Wadah tunggal organisasi profesi kedokteran pun dikritik. Hal yang sama juga nampak dengan kuatnya pengaturan kolegium ilmu kedokteran. Di sisi lain, eksistensi Konsil Kedokteran Indonesia dinilai telah mencampur-adukkan fungsi regulasi, pengawasan, dan praktik kedokteran dalam satu organisasi profesi. 

Otoritas yang begitu besar terkait izin praktik dokter juga dipandang sebagai penghambat transformasi kemajuan. Alih-alih mendorong pesatnya ilmu kedokteran, yang terjadi adalah terciptanya barrier to entry yang menghambat perkembangan. Hal ini nampak dari sulitnya dokter lulusan luar negeri untuk terintegrasi dalam sistem pelayanan kesehatan dalam negeri. 

Dengan berbagai persoalan di atas, dan membandingkan keseluruhan muatan historis tentang kepeloporan IDI pada masa perjuangan, nampak adanya “gap” yang besar. Gap terlihat dalam semangat, kultur, dan resolusi konflik atas persoalan internal IDI, dan juga di dalam membumikan nilai-nilai kemanusiaan. 

Faktanya, ditinjau dari kualitas dokter, sistem pendidikan kedokteran dan perawat, sarana-prasarana kesehatan, dan daya saing dalam pelayanan kesehatan serta kualitas kemampuan kesehatan, Indonesia berada di bawah Singapore, Kuba, Tiongkok, dan bahkan Malaysia. Begitu banyak devisa negara yang terbuang keluar negeri akibat terbatasnya kualitas sistem kesehatan dalam negeri. Berbagai hal tersebut seharusnya mendorong IDI untuk secepatnya berbenah diri dengan melakukan transformasi organisasi.

Di luar persoalan tersebut, muncul berita tidak kalah penting terhadap indikasi terjadinya kolusi dengan industri farmasi. Praktik ini berulang kali disuarakan. Berbagai kritik kuatnya kapitalisme dalam dunia kesehatan disuarakan tanpa henti. Dari suara yang paling sayup hingga berbagai bentuk perlawanan atas tingginya hegemoni industri farmasi. Kesemuanya menciptakan ekonomi biaya tinggi. 

Dengan berbagai persoalan tersebut, adanya pembelaan terhadap Prof. Dr. dr. Terawan yang dipecat secara sepihak oleh IDI harus dilihat bukan hanya sekedar pencabutan Surat Izin Praktik. Dengan tetap mengedepankan obyektivitas dan mencermati berbagai kritik yang selama ini muncul pada saat pembahasan Revisi UU no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, apa yang terjadi saat ini telah membuka kembali persoalan yang lebih mendasar: reformasi IDI. 

Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Menteri Hukum dan HAM, Prof. Dr. Yasonna Laoly yang menegaskan bahwa izin praktik dokter merupakan ranah pemerintah. Dasar hukumnya sangat jelas bahwa kesehatan merupakan salah satu fungsi dasar yang menjadi tanggung jawab dan tugas negara. 

Baca: Wayang, Syiar Islam Hingga Identitas Kebudayaan Bangsa

Ketika persoalan sudah menyentuh aspek kewenangan negara di dalam memenuhi kewajibannya pada seluruh rakyat Indonesia, maka tidak ada cara lain selain menempatkan kembali pelaksanaan politik kesehatan pada tanggung jawab negara. Berkaitan dengan hal ini, maka seluruh kebijakan negara di bidang kesehatan harus dikembalikan pada Pancasila. 

Ideologi bangsa ini menekankan pentingnya aspek kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia di dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Demikian halnya pengaturan terhadap organisasi profesi kedokteran, harus ditempatkan dalam konstruksi tanggung jawab negara di dalam memajukan kesejahteraan umum dengan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dengan amanat ideologis tersebut, maka eksistensi IDI bukan sekedar organisasi profesi yang berdiri bebas. IDI harus mengikatkan diri pada politik kesehatan negara. Di dalam IDI melekat tanggung jawab bagi pelaksanaan tujuan bernegara. Atas dasar hal ini, IDI harus menjadi underbow dari otoritas kesehatan negara, yakni Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 

Karena itulah otoritas kesehatan Republik Indonesia harus mengambil inisiatif, agar berbagai kritik terhadap IDI yang selama ini disuarakan secara diam-diam harus digaungkan secara konstruktif menjadi semangat perubahan. Kesemuanya dilakukan dengan mengambil spirit kepeloporan para dokter pejuang yang telah berhasil menghadirkan jaman pencerahan (renaissance) di awal kemerdekaan. Harapan rakyat Indonesia hanya sederhana, bagaimana semangat berkemajuan itu juga dimulai dari dunia kesehatan. 

Kesehatan menyentuh seluruh aspek kehidupan. Karena itulah sebagaimana lembaga pemerintah, yudikatif, dan legislatif, termasuk partai politik yang selalu didorong untuk terus berubah, maka IDI pun harus berubah. Disinilah reformasi IDI menjadi skala prioritas yang begitu penting. Sebab hidup sehat itu adalah anugerah. Merdeka!!!

Quote