Ikuti Kami

Sekjen Hasto Kristiyanto: DIPLOMASI

Maka diplomasi memerlukan keteguhan dalam olah nalar, seni menegosiasikan kepentingan, dan kepercayaan.

Sekjen Hasto Kristiyanto: DIPLOMASI
Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. (Foto: Istimewa)

Jakarta, Gesuri.id - Meski belum ada penelitian yang mendalam guna membandingkan karakter antar bangsa, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, pandai bergaul, dan bersikap terbuka. Karakter bangsa ini sangat penting guna menunjang kemampuan diplomasi yang sangat diperlukan bagi perjuangan Indonesia di dalam membangun tatanan dunia baru yang bebas dari penjajahan sebagaimana selalu diperjuangkan oleh Bung Karno.

Demi cita-cita itu, Bung Karno menggunakan seni diplomasi sebagai perpaduan antara strategi dan kemampuan komunikasi yang digerakkan oleh imajinasi politik tentang bagaimana meramu cita-cita nasional, tujuan nasional, dan kepentingan nasional yang dijalankan senafas dengan upaya membangun persaudaraan dunia. Ramuan yang dihasilkan Bung Karno tersebut menghasilkan begitu banyak kreativitas dalam diplomasi. Di Mesir, Bung Karno menggunakan diplomasi Pohon Mangga.

Di Arab Saudi, Bung Karno menghijaukan Padang Arafah dengan Pohon Mimba. Di Korea Utara, Bung Karno menggunakan diplomasi Bunga Anggrek hibrida dendrobium yang kemudian menjadi simbol persahabatan Indonesia-Korea dengan bunga yang terkenal dengan nama Kimilsungia. Di Konferensi Asia Afrika, Bung Karno menggunakan diplomasi kebaya guna menampilkan the art of hospitality yang khas Indonesia.

Bung Karno juga menggunakan beragam diksi guna membumikan gagasan besarnya melalui berbagai diplomasi internasional. Bung Karno selalu percaya bahwa nilai-nilai Pancasila selalu relevan bagi dunia dan bagi semua bangsa. Dengan idenya bagi dunia yang lebih damai dan berkeadilan, lima prinsip Pancasila berkumandang di Sidang Umum PBB: Belief in God, Humanity, Nationality, Democracy, and Social Justice. Lima prinsip ini menjadi kerangka ideologis bagi dunia yang saat itu diwarnai oleh pertarungan ideologi besar antara komunisme-leninisme dan liberalisme-kapitalisme. Kedua ideologi tersebut selalu ditentang oleh indonesia karena keduanya mengandung benih-benih imperialisme dan kolonialisme. Di sisi lain, Pancasila hadir sebagai ideologi yang menjadi solusi bagi tata dunia baru Pasca Perang Dunia II. 

Dalam berbagai pidatonya, Bung Karno selalu menegaskan bahwa konsepsi yang dibangun oleh Indonesia bukanlah demokrasi barat yang hanya mengedepankan demokrasi politik. Demokrasi Indonesia merupakan hasil dari pemikiran kritis, dimana Indonesia Merdeka harus dibangun dengan memadukan antara demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi kebudayaan. Dalam demokrasi Pancasila ini, seharusnya tidak boleh ada kemiskinan dalam buminya Indonesia Merdeka.

Jadi, praksis Pancasila diukur dari semangat pembebasannya, semangat memerdekakan, dan semangat untuk mengubah segala sesuatu yang menghisap, menjadi sesuatu yang mengedepankan keadilan. Struktur berkeadilan ini tercermin dalam struktur politik, ekonomi, dan kebudayaan yang mengedepankan kemakmuran untuk semua, kesetaraan, keberpihakan, dan meningkatkan peradaban. Dalam diksi social justice itulah, pemikiran Sukarno sudah melampaui the world politics pada jamannya. 

Dengan paradigma kehidupan berbangsa yang berkeadilan sosial tersebut, pada tahun 1945 Bung Karno menuliskan tentang bahaya kapitalisme yang selalu menciptakan krisis. Belum selesai krisis yang satu, akan muncul krisis lainnya yang lebih dalam. Bahkan dalam dialektikanya, Bung Karno telah memperkirakan bahwa suatu saat, Amerika Serikat dan Eropa Barat akan mengalami krisis ekonomi secara bersamaan. Belakangan, dialektika pemikiran Bung Karno tersebut terbukti pada tahun 2008 ketika Amerika Serikat dan Eropa Barat mengalami krisis ekonomi yang terjadi secara bersamaan. 

Bertitik tolak dari pemikiran Bung Karno tersebut, nampak benang merah yang jelas, bahwa Bung Karno bersama dengan pendiri bangsa lainnya seperti Bung Hatta, KH. Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara dll. menyerap berbagai ilmu pengetahuan dari Barat, namun bingkai nasionalisme menjadi jalan pembumian ilmu pengetahuan agar sesuai dengan kondisi geografis, kultur, dan adat istiadat bangsa. Ki Hadjar Dewantara misalnya, betapa fasih pemahamannya terhadap politik pendidikan ala Barat, lengkap dengan keterampilannya dalam penguasaan bahasa asing. Namun dari kesadarannya yang terdalam, lahir konsepsi kepemimpinan yang khas Indonesia: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Ki Hajar Dewantara tidak kebarat-baratan. Bung Karno dengan pemahaman yang luar biasa terhadap filsafat, politik, hukum, budaya, sejarah, geopolitik, dan menguasai begitu banyak bahasa asing juga tidak menjadi kebarat-baratan. Demikian pula Bung Hatta dengan gagasan tentang koperasinya. Semua ilmu pengetahuan diabdikan bagi kepentingan Indonesia dan meng-Indonesia.

Lalu tiba-tiba setelah lebih dari 76 tahun merdeka, muncul sosok seperti Rocky Gerung yang mengukur kepintaran seseorang dari diksi kebarat-baratan yang dipakai. Dikatakan bagaimana gender equality dan human right sebagai the new grammar of world’s politics yang menjadi tolok ukur kepintaran politisi. Padahal dari pemaknaannya, semua diksi yang disampaikannya sudah masuk dalam substansi Pancasila. Bahkan, konsepsi yang ditawarkan dalam Pancasila jauh lebih sempurna.

Demikian pula dengan sosok Refly Harun. Ia mengukur seseorang dari ukuran pendidikan sampai melupakan fakta empiris bagaimana seorang Presiden SBY yang profesor-doktor, kinerjanya jauh di bawah Presiden Jokowi yang tukang-insyinyur. 

Kepintaran seseorang saat ini lebih ditampilkan secara simbolik. Kepintaran hanya sekedar permainan kata-kata yang mengalir menjadi kecerdikan politik dengan mengolah rangkaian kata-kata indah sebagaimana ditunjukkan oleh Anies Baswedan. Kepintaran juga ditampilkan dengan diksi penguasaan bahasa asing sebagaimana ditampilkan Rocky Gerung dengan berbagai logika filsafat yang justru seringkali menghilangkan subtansi filsafat yang penuh dengan keindahan dan kebijaksanaan. 

Dalam dunia politik, kepintaran itu diukur dari kemampuan mengartikulasikan harapan, aspirasi, dan mimpi rakyat menjadi keputusan politik yang terlihat dalam kebijakan publik. Bung Karno dengan kecerdasannya mampu menjadi “penyambung lidah rakyat Indonesia”. Megawati Soekarnoputri dengan kecerdasannya mengungkapkan berbagai persoalan rakyat dalam bahasa rakyat.

Dalam diri Megawati Soekarnoputri mengalir saripati pengalaman hidupnya yang sangat lengkap. Ia lahir dan besar di istana, menjadi anak presiden yang sesungguhnya, dan karena peristiwa politik tahun 1965 berubah drastis menjadi rakyat biasa. Pergaulannya yang sangat mengakar dengan rakyat membuatnya berkeliling Indonesia memberi inspirasi rakyat untuk berani berbicara. Rakyat mengakuinya. Dari menjadi anggota DPR RI lebih dari 2 periode, wakil presiden, dan akhirnya Presiden Republik Indonesia. Semua dukungan rakyat mengakumulasikan pengalaman Megawati ke dalam apa yang disebut Tacit Knowledge, suatu pengalaman yang juga membentuk tradisi pengembangan ilmu pengetahuan.

Pengetahuan Megawati dibentuk dalam dialektika antara teori dan praktek. Dalam dialektika ini, Megawati terus mendengarkan rakyat dengan seluruh panca inderanya. Baginya, kecerdasan dalam politik itu adalah satunya kata dan perbuatan. Kecerdasan tidak ditentukan dalam rangkaian kata-kata indah penuh pencitraan sebagaimana dilakukan oleh SBY. Kecerdasan itu diukur dari amal baktinya bagi rakyat, bangsa, dan negara sebagaimana Bung Karno telah menggariskan bahwa ilmu pengetahuan itu untuk amal. Amal itu mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan rakyat. 

Dengan kepintaran politik yang memerlukan syarat satunya kata dan perbuatan tersebut, nampak nyata betul bahwa kehadiran Rocky Gerung dan Refly Harun hanya sebagai petarung intelektual. Baginya yang penting adalah ketrampilan berbicara, kalau perlu diksi pengetahuan menjadi kata-kata setajam pisau untuk menjatuhkan lawan, dan sekaligus menyembunyikan kepentingannya.

Dengan sosok seperti itu, yang terjadi adalah kontradiksi. Sementara peradaban publik seharusnya mencerdaskan, menampilkan obyektivitas, dan bisa diterima nalar dalam pertimbangan hati nurani yang bening. Jika komunikasi publik dijalankan pada wataknya yang membangun peradaban, maka di situlah makna diplomasi yang sebenarnya terjadi.

Diplomasi penuh dengan strategi, teknik, dan taktik yang hanya bisa dibangun dengan trust, dengan kepercayaan. Maka diplomasi memerlukan keteguhan dalam olah nalar, seni menegosiasikan kepentingan, dan kepercayaan. Dalam seni diplomasi, kematangan atas kepribadian seseorang menjadi kunci. Jadi sampaikan diskursus pemikiran dengan benar, bukan asal nekat, apalagi jauh dari kebijaksanaan. Merdeka!!!

Quote