Ikuti Kami

Soekarno Cup, Sepak Bola, dan Ideologi Wong Cilik

Oleh: Kader PDI Perjuangan Kota Surabaya, Ofisial Tim Jawa Timur untuk Soekarno Cup 2025, Eri Irawan. 

Soekarno Cup, Sepak Bola, dan Ideologi Wong Cilik
Kader PDI Perjuangan Kota Surabaya, Ofisial Tim Jawa Timur untuk Soekarno Cup 2025, Eri Irawan. 

Jakarta, Gesuri.id - Dengan gitar bolong dan suaranya yang serak, Iwan Fals mengingatkan semua orang tentang sepak bola yang menjadi bagian dari rakyat kecil. Lagu “Mereka Ada di Jalan” dengan subtil mengartikulasikan sepak bola dalam bingkai kehidupan kelas subaltern di ruang publik kita yang menghadapi keterbatasan ruang, fasilitas, dan akses ekonomi—bahkan untuk berolahraga.

Tiang gawang puing-puing

Sisa bangunan yang tergusur

Tanah lapang hanya tinggal cerita

Yang nampak mata hanya para pembual saja

Anak kota tak mampu beli sepatu

Anak kota tak punya tanah lapang

Sepak bola menjadi barang yang mahal

Milik mereka yang punya uang saja

Dan sementara kita di sini Di jalan ini

Sejak diperkenalkan oleh seorang pelajar Belanda bernama John Edgar pada 1894/1895 yang disusul dengan pendirian klub pertama bernama Victoria di Surabaya—kendati memang ada versi lain ihwal bagaimana sepak bola kali pertama diperkenalkan di Tanah Air, sepak bola di Indonesia bukan sekadar permainan. Lapangan hijau lebih dari sekadar arena bagi 22 orang dari dua tim yang saling berhadapan, namun juga perebutan identitas sosial di Indonesia.

Saat orang-orang Bumiputera disingkirkan dari pergaulan dan diletakkan di strata sosial-ekonomi-politik terbawah pada zaman kolonial, sepak bola menjadi media yang menempatkan mereka setara dengan orang Belanda. Sepak bola memberikan peluang bagi mereka untuk menunjukkan dominasi kaum terjajah terhadap penjajah, kendati hanya 90 menit. Di lapangan hijau, sepak bola lebih membutuhkan taktik dan performa atletik ketimbang kuasa kolonial.

Presiden Sukarno memahami peran penting olahraga, termasuk sepak bola, dalam membangun karakter bangsa (nation building). Olahraga menjadi cermin sikap Indonesia yang anti-penjajahan kepada dunia sesuai amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Perintah Bung Karno kepada tim nasional untuk menolak berlaga melawan Israel pada kualifikasi Piala Dunia 1958 menunjukkan bagaimana sepak bola adalah penyampai ideologi politik antikolonialisme. Indonesia juga menolak kehadiran Israel pada Asian Games 1962. Sebuah sikap yang dengan gagah berani dilanjutkan kader-kader PDI Perjuangan saat meminta kepada pemerintah untuk menolak kehadiran tim sepak bola Israel tampil di Indonesia pada Piala Dunia U20 (2023).

Kita bersyukur hari ini pemerintah memiliki pemahaman yang sama dengan yang ditunjukkan kader-kader PDI Perjuangan pada dua tahun silam, dengan menolak menerbitkan semua visa atlet Israel yang sedianya tampil pada kejuaraan senam dunia pada 19-25 Oktober 2025 di Jakarta. Di hadapan penderitaan rakyat Palestina, kita memang harus melihat betapa politik dan kemanusiaan tak akan pernah bisa dipisahkan dari lapangan mana pun, termasuk olahraga.

“Selama kemerdekaan Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel,” tegas Bung Karno.

Dalam berbagai kesempatan, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menegaskan, garis perjuangan antikolonialisme Bung Karno bukanlah warisan masa lalu, melainkan kompas bangsa sampai hari ini. Bagi Megawati, Indonesia harus terus berdiri di pihak yang tertindas dan hanya setia pada nilai-nilai kemanusiaan. Pandangan ini selaras dengan bagaimana sepak bola, sebagai representasi nasional maupun permainan rakyat, sering menjadi medium perlawanan, keberanian, dan martabat bangsa.

Soekarno Cup

Pengembangan olahraga, termasuk sepak bola, sejatinya tak bisa dipisahkan dari kebijakan publik—dan itu berkaitan dengan proses politik. Namun, sepak bola tak boleh direduksi sebagai komoditas politik sempit berorientasi elektoral semata. Definisi politik, dalam hal ini, adalah sebagai instrumen melahirkan kebijakan: medium pendidikan karakter kaum muda, pembangunan infrastruktur olah raga, pengembangan industri olahraga untuk menggeliatkan ekonomi rakyat, penguatan sains olahraga, menunjukkan sikap bangsa di kancah dunia, dan sebagainya.

Maka tentu saja tanggung jawab untuk membina dan memperkuat sepak bola nasional juga ada pada insan dan kekuatan politik, sebagaimana langkah strategis DPP PDI Perjuangan yang menyelenggarakan ”Liga Kampung” bernama Soekarno Cup. Sudah dua kali DPP PDI Perjuangan menggeber ajang berorientasi pembinaan ini—tahun ini Bali sebagai tuan rumah, edisi sebelumnya di Jakarta.

Turnamen ini menyuarakan semangat sepak bola sebagai permainan rakyat sebagaimana dinyanyikan Iwan Fals. Semua pemain yang berpartisipasi tidak pernah bermain di kompetisi Liga 1, Liga 2, dan Elite Pro Academy (EPA). Mereka benar-benar anak-anak muda kelahiran maksimal 2008 dengan dibimbing oleh maksimal lima pemain senior di setiap tim. Tahun ini, terdapat delapan tim akan berlaga mewakili masing-masing regional: dari Jabar, DK Jakarta, Sumatera, Jateng, Jatim, Bali, Sulsel, hingga Papua.

Turnamen ini ingin membuka ruang dan peluang bagi siapa pun untuk bermain dan berkembang melalui sepak bola. Kita menerima sepak bola profesional sebagai sesuatu keniscayaan yang tak bisa ditampik. Namun kita juga tak bisa mengingkari realitas bahwa sepak bola bagi banyak orang seringkali tak selalu berhubungan dengan industri. Mereka hanya meyakini hal yang sama dengan pemain legendaris Brasil, Socrates, ”Beauty comes first. Victory is secondary. What matters is joy.”

Kegembiraan bersepak bola adalah sesuatu yang seringkali diabaikan dalam sepak bola modern. Soekarno Cup ingin menegaskan sepak bola sebagai medium kerja sama dan ideologi gotong royong dengan penuh kegembiraan. Tim Jawa Timur pun berikhtiar membumikan hal itu di lapangan. Dengan dukungan penuh DPD PDI Perjuangan Jawa Timur di bawah kepemimpinan Bapak Said Abdullah, para pemain Jatim diminta untuk tetap berfokus dan memegang teguh komunikasi yang jujur dan tulus, mental juara (memiliki fighting spirit), dan sikap saling bantu sesama anggota tim (gotong royong).

“Kita harus punya gambaran besar, tiap orang punya posisi masing-masing, saling percaya dan bergotong royong. Lalu berkomunikasi secara jujur dan tulus di antara kita. Kita dorong semuanya berkembang, semuanya sama-sama punya mental kuat,” kata Wakil Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPD PDI Perjuangan Jatim sekaligus manajer tim, Daniel Rohi.

Di tengah kondisi negeri yang kini penuh tantangan, tiga hal itulah yang dibutuhkan oleh bangsa ini: komunikasi tulus, fighting spirit, dan kerelaan bergotong royong. Sesuatu yang diharapkan tecermin dari pertandingan-pertandingan Soekarno Cup di Bali. Sepak bola sebagai cermin Pancasila: gotong royong sebagai strategi bermain, demokrasi sebagai wujud sportivitas.

Dari Pulau Bali, Soekarno Cup mengingatkan kepada kita bahwa sepak bola bukan sekadar olah raga, melainkan bagian dari proyek kebangsaan: membangun Indonesia dengan sikap tulus, punya fighting spirit, dan senantiasa siap bergotong royong—nilai-nilai yang diwariskan Bung Karno dan senantiasa dijaga apinya oleh Megawati.

Quote