Ikuti Kami

Stop Impor Beras, Kembali ke Ekonomi Berdikari

Kebijakan impor tidak sesuai dengan semangat membangun ekonomi berdikari.

Stop Impor Beras, Kembali ke Ekonomi Berdikari
Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka.

"Perjuangan ku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsa mu sendiri"... Entah mengapa perkataan Bung Karno itu yang terlintas ketika melihat kondisi petani padi Indonesia yang hingga saat ini masih dibombardir beras impor.

Dalam rakortas yang berlangsung pada Senin (20/8) pemerintah memutuskan kembali membuka kran impor komoditas pokok beras sebanyak 1 juta ton. Jika ditotal, jumlahnya mencapai 2 juta ton pada tahun 2018 ini.

Baca: Legislator: Pemerintah Harus Lebih Serius Stop Impor Beras

Bahkan pemerintah sudah mengeluarkan izin impor beras kepada Perum Bulog. Penugasan itu yang kedua kalinya tahun ini. Sebelumnya, Bulog sudah melakukan impor 1 juta ton. Impor itu sudah direalisasikan pada bulan Februari 2018 sebe­sar 500 ribu ton. Dan, Mei 2018 sebesar 500 ribu ton. 

Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengungkapkan, keputusan penambahan impor beras ditetapkan dalam Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) pada pertengahan tahun 2018. 

Rakortas yang berlangsung pada Senin (20/8/2018) itu dipimpin Menko Perekonomian (Darmin Nasution). Semua hadir, saya, ada Menteri Pertanian (Amran Sulaiman), Dirut Bulog (Budi Waseso), dan perwakilan dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 

Enggar mengatakan beras impor tersebut digunakan untuk cadangan. Beras akan digelontorkan ke pasar jika diperlukan.  

Pil pahit itu harus kembali ditelan petani saat ini. Padi yang mereka tanam dengan bermandikan peluh dan perjuangan dalam memperoleh pupuk, pestisida, irigasi yang baik seolah mendapat perlawanan dari pihak-pihak lainnya yang dengan seenaknya memasukkan beras impor ke dalam negeri. 

Politisi PDI Perjuangan, Ono Surono secara gamblang mengungkapkan ketika pada saat tertentu harga beras naik tidak wajar, terlihat jelas siapa yang diuntungkan, yaitu orang-orang yang selama ini menguasai distribusi. 

Ironisnya keputusan impor beras disetujui oleh lembaga pemerintah yang berwenang mengeluarkan kuota impor beras, yaitu Kementerian Perdagangan. Padahal pada sisi lain, kementerian pertanian yang mendata langsung produksi beras ke petani-petani di sentra-sentra produksi nasional, mendapatkan data bahwa produksi beras setiap tahunnnya selalu surplus.

Entah dimana ketidaksesuaian itu, sehingga para petani di negara agraris ini seolah harus terus berjibaku melawan ketidakadilan akan adanya beras impor. 

Mengapa bangsa ini seolah sulit belajar dari para pendiri bangsa dalam hal ini Bung Karno yang selalu menolak masuknya impor beras, meski saat itu Indonesia mengalami kesulitan beras sebagai bahan pangan pokok.

Bung Karno tak mau menggantung perut rakyat Indonesia pada beras impor. Ia sadar, kebijakan impor tersebut membuat devisa negara tergerus. “Tetapi kenapa kita harus membuang devisen 120 juta sampai 150 juta dolar tiap tahun untuk membeli beras dari luar negeri? Kalau 150 juta dolar kita pergunakan untuk pembangunan, alangkah baiknya hal itu,” ujar Bung Karno. 

Selain itu, kebijakan impor tidak sesuai dengan semangat membangun ekonomi berdikari.

Masalahnya, konsumsi 86 kg pertahun pada tahun 1940 itu hanya menghasilkan 1712 kalori bagi setiap orang perhari. Padahal, standar normalnya 1850 kalori. Bung Karno tidak puas. Ia menginginkan setiap orang Indonesia mengonsumsi 2250 kalori pehari.

Menurut catatan Food and Agriculture Organisation jaman itu, orang makan tiap hari di India 2121 kalori, di Birma 2348 kalori, di Kuba 2918 kalori, di Malaysia 2337 kalori, di Ceylon 2167 kalori, di Indo-China 2127 kalori, di Belanda 2958 kalori, di Australia 3128 kalori, dan di Amerika 3249 kalori.

Bung Karno membeberkan semua itu, bicara panjang lebar soal pangan dan masa depan bangsa dalam pidatonya yang begitu fenomenal saat pelatakan batu pertama berdirinya Kampus IPB 27 April 1952 yang terkenal dengan pidato Bung Karno mengenai hidup matinya bangsa ada di sektor pangan dan pertanian.

Sementara itu, Kementerian Pertanian (Kementan) optimistis harga beras di tahun 2018 akan stabil tanpa perlu impor hingga tahun depan, terlebih awal tahun 2019 sudah memasuki musim panen. Hal tersebut karena prediksi produksi beras yang surplus sebesar 13,03 juta ton. 

Perkiraan surplus tersebut dihitung dari target produksi beras 2018 sebesar 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras, sementara perkiraan total konsumsi beras nasional hanya 33,47 juta ton. 

Target produksi beras sebesar 80 juta ton adalah angka yang realistis dan Kementan optimis bisa mencapai. Angka tersebut bisa diprediksi dengan melihat data trend produksi beras Badan Pusat Statistik (BPS) dalam sepuluh tahun terakhir yang terus meningkat. 

Produksi padi 2007 sebesar 57,15 juta ton, lalu meningkat menjadi 60,32 juta ton di tahun 2008. Tahun 2009 mencapai 64,39 juta ton, dan 2010 naik lagi menjadi 66,47 juta ton. 

Namun kenapa ijin impor beras tetap dibuka? 

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir resah dengan kebijakan penambahan impor beras, sebab, bisa dipastikan keputusan itu merugikan petani. Apalagi pada saat realisasi beras impor tahap I dan II, harga gabah menurun. 

"Kami khawatir kalau ada tambahan beras impor 1 juta ton lagi, harga Gabah Kering Panen (GPK) akan jatuh," ungkap Winarno, baru-baru ini. 

Padahal saat ini petani sedang menikmati harga gabah kering panen yang lumayan yakni Rp 4.500-Rp 5.000 per kilogram (Kg).

Anggota DPR RI Komisi IV Fraksi PDI Perjuangan, Ono Surono mendesak pemerintah lebih serius dalam menghentikan impor beras. Untuk itu telah berulang kali Ia meminta pemerintah memperbaiki data produksi beras yang sering kali menimbulkan sengketa antarinstansi dan mempengaruhi kebijakan komoditas tersebut. 

"Sistem pendataan yang benar perlu segera dibuat untuk menjadi acuan bagi Kementan, Kemendag dan Presiden, sebagai dasar bila akan membuat kebijakan beras," katanya.

Ono mengatakan penyediaan data yang benar bisa membuat pemerintah mengambil keputusan yang tepat, terutama apabila ingin mengambil kebijakan impor untuk stabilisasi harga beras.

Menurut dia, kebijakan impor yang dilakukan untuk stok, memang bisa memenuhi kebutuhan konsumen dengan harga wajar. Namun, di sisi lain, bisa berdampak pada kesejahteraan petani.

Ono juga meminta adanya perbaikan tata niaga perberasan dari sisi regulasi maupun praktik di lapangan serta evaluasi atas program cetak sawah maupun benih bagi petani yang bertujuan meningkatkan produksi dalam negeri. 

"Kalau produksi beras berdasarkan laporan Kementan selalu meningkat, berarti sudah 'on the track'. Semua program harus dievaluasi, yang belum wajib diperbaiki, yang baik harus ditingkatkan," ujarnya.

Baca: Impor Beras Dibuka Lagi, Ono: Segera Benahi Data Produksi

Selama ini, pengadaan data beras selalu menimbulkan sengketa, karena Kementerian Pertanian mengklaim produksi mencukupi bahkan surplus, namun sejak awal 2018, impor beras juga dilakukan.

Pada kesempatan lain, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyebutkan tidak membuka impor beras tambahan karena stok yang dimiliki saat ini sebesar 2,7 juta ton di gudang Bulog dinilai cukup. 

"Sebelumnya sudah ada 1,2 juta ton yang lalu, makanya kami tidak mau impor dulu. Hari ini sebenarnya sudah sangat penuh gudang. Kami tidak bisa tampung semua," kata pria yang akrab disapa Buwas.

Buwas menyatakan perseroan tidak membuka impor tambahan meskipun Kementerian Perdagangan pada 23 Juli 2018 telah memperpanjang izin impor yang diberikan sebesar 1 juta ton.

Menurut dia, impor beras yang dilakukan Bulog sebesar 500 ribu ton dari izin impor yang telah diberikan sebelumnya. Selain itu, selama kepemimpinannya menjadi Dirut Bulog, impor beras sejauh ini belum dibuka kembali. "Itu izin perpanjangan agar kita tidak terkena 'demurrage'. Secara administrasi ada yang harus kita perpanjang," kata dia.

Trend Kenaikan Produksi Beras

Sejak tahun 2011 hingga 2017 trend kenaikan produksi beras juga terus mengalami kenaikan yakni  65,75 juta ton pada tahun 2011 dan 81,38 juta ton pada tahun 2017.  Capaian 2017 sebenarnya sudah melampaui target produksi beras yang ditetapkan yakni sebesar 79 juta ton, membuat pertumbuhan capaian dari tahun sebelumnya sebesar 2,56%. 

Peningkatan produksi selama 10 tahun khususnya beberapa tahun terakhir pemerintahan  Jokowi-JK ini merupakan hasil konsistensi program peningkatan produksi beras melalui bantuan benih, pendampingan, alat mesin pertanian, embung, dan jaminan harga untuk petani.

Dari sisi tingkat konsumsi beras, trend yang terjadi selalu mengikuti pertumbuhan jumlah penduduk setiap tahun. Data BPS menunjukkan penduduk Indonesia tahun 2018 diproyeksikan mencapai 265 juta jiwa atau meningkat 12,8 juta jiwa dibanding jumlah penduduk tahun 2014 yang berjumlah 252,2 juta jiwa. Jika di rata-rata, jumlah penduduk bertambah 3,2 juta jiwa atau tumbuh 1,27 persen pertahun.

Dihitung dari tingkat konsumsi beras per kapita, data BPS menunjukkan penurunan. Tahun 2017 konsumsi beras adalah sebesar 114,6 kg per kapita per tahun, sementara tahun sebelumnya mencapai 124,89 kg per kapita per tahun. 

Kementerian Pertanian juga terus mendorong program penganekaragaman pangan dengan terus mendorong produksi dan konsumsi pangan lokal hingga pengolahannya. Badan Ketahanan Pangan Kementan fokus pada program ini.

Junjung Tinggi Prinsip Satu Peta Satu Data

Menanggapi plemik validitas data yang berulang dari tahun ke tahun, Kementerian Pertanian menegaskan bahwa data produksi yang digunakan merupakan hasil keputusan dalam rapat koordinasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) yang disebut data Angka Ramalan II. Artinya, Kementan menjunjung tinggi prinsip satu peta satu data dan tidak berwenang mengeluarkan data secara sepihak. 

Jadi, meski sejak 2015 BPS menyatakan tidak lagi merilis data produksi beras, BPS tetap lembaga yang sah mengeluarkan Angka Ramalan II berdasarkan hasil rapat koordinasi BPS-Kementan.

Berdasarkan data tersebut, surplus beras tahun 2017 terhitung 13,81 juta ton. Surplus tersebut dihitung dari jumlah produksi dikurangi angka total kebutuhan beras/konsumsi, yakni berdasarkan jumlah penduduk dikalikan tingkat konsumsi per kapita. Angka produksi 2017 padi 81,3 juta ton atau setara beras 47,29 juta ton, dan  pertumbuhan penduduk menjadi 261,89 juta jiwa dikalikan tingkat konsumsi 114,6 kg, maka total konsumsi beras mencapai 33,47 juta ton. Dari perhitungan tersebutlah angka surplus beras diperoleh.

Baca: Ono Minta Pemerintah Perbaiki Data Produksi Beras

Menanggapi soal impor beras, Kementan menegaskan Keputusan impor pada Februari 2018 lalu bukanlah keputusannya. Kementan sama sekali tidak mengeluarkan rekomendasi, karena dari perhitungan diatas stok beras dalam negeri terpenuhi. Surplus tersebut sebagian besar dikuasai masyarakat (petani, penggilingan, pedagang dan konsumen), dan sebagian kecil yang dikuasai oleh pemerintah (melalui Bulog). Mengacu ke hasil survei BPS (2015), beras tersebar di rumah tangga (47,57%), Bulog (19,30%), pedagang (18,32%), penggilingan (8,22%), dan Horeka (6,59%).

Keyakinan Kementan akan terjadinya surplus beras juga didukung kenyataan bahwa pada bulan Januari-Maret 2018, terjadi panen raya di berbagai daerah. Prediksi produksi gabah kering giling di Januari mencapai 4.060.653 ton GKG, lalu pada Februari mencapai 7.924.744 ton GKG, dan puncaknya pada Maret mencapai 11.565.173 ton GKG. Perhitungan produksi Jananuari dan Februari 2018 menggunakan perhitungan LP x produktivitas ASEM 2017. Sedangkan produksi Maret 2018 dihitung dari LT Desember 2017 x 96.54% x produktivitas ASEM 2017.

Quote