Jakarta, Gesuri.id - BANYAK yang belum mengenal sosok inspiratif satu ini. Usianya belum genap 22 tahun ketika ia memimpin Kongres Pemuda I pada 30 April 1926. Dialah Mohammad Tabrani, tokoh muda asal Pamekasan, Madura, kelahiran 10 Oktober 1904, yang kelak dikenal sebagai penggagas bahasa Indonesia dan mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada 2023 lalu.
Dikutip dari Historia, sejak remaja, semangat kebangsaan sudah tumbuh dalam diri Tabrani. Saat masih bersekolah di MULO Surabaya, ia bergabung dengan Jong Java—kelanjutan dari Tri Koro Dharmo—dan aktif mengikuti kegiatan organisasi. Dalam otobiografinya Anak Nakal Banyak Akal, ia mengenang masa itu dengan penuh semangat.
“Sebagai murid MULO kelas 1 saya masuk menjadi anggota cabang Surabaya. Ketika itu ketuanya Sutopo, pelajar NIAS,” tulisnya.
Tabrani muda rajin menghadiri kongres dan pertemuan pemuda. Ia menjadi utusan Jong Java Surabaya dalam Kongres Jong Java pertama di Solo tahun 1918, lalu aktif di Bandung ketika melanjutkan pendidikan di AMS. Di sana, selain berorganisasi, ia juga menulis untuk berbagai media, baik berbahasa Indonesia maupun Belanda. Namun, kesibukan itu membuatnya tak naik kelas dan akhirnya pindah ke sekolah calon pegawai bumiputra (OSVIA) di Serang pada 1923.
Kendati berpindah sekolah, semangatnya tak surut. Ia mengumpulkan siswa OSVIA dan Normal School di Serang untuk mendirikan cabang Jong Java yang kemudian disahkan oleh pengurus pusat. Setahun kemudian, ia pindah ke OSVIA Bandung dan setelah lulus memilih menjadi wartawan.
Pada 1925, Tabrani bergabung di harian Hindia Baroe yang didirikan Haji Agus Salim. Di sela pekerjaannya sebagai jurnalis, ia terus menumbuhkan gagasan tentang persatuan bangsa. Menurutnya, kemerdekaan hanya bisa diraih bila organisasi-organisasi pemuda bersatu di bawah semangat kebangsaan yang sama. Dari sanalah muncul gagasan untuk menggelar Kongres Pemuda Indonesia Pertama.
“Ibaratkan benih padi, diam-diam ia tumbuh,” kenangnya. “Jumlah pengikutnya belum banyak, tetapi cukup besar untuk mengambil inisiatif membentuk panitia yang bertujuan menyelenggarakan Kongres Pemuda Indonesia Pertama.”
Sebagai ketua panitia, Tabrani harus berhadapan dengan berbagai tantangan, termasuk kekhawatiran pengawasan ketat dari pemerintah kolonial. Ia bahkan menyiapkan naskah pidato tertulis agar isinya bisa dikontrol dan disampaikan dengan hati-hati. Berkat kelihaiannya, kongres berjalan lancar tanpa gangguan dari Dinas Intelijen Politik Belanda.
Dari forum itulah, muncul gagasan besar yang kelak mengubah sejarah bangsa: bahasa persatuan. Saat Mohammad Yamin mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, Tabrani menimpali dengan tegas bahwa karena kongres telah menyebut “tanah air Indonesia” dan “bangsa Indonesia”, maka bahasa persatuan seharusnya disebut “bahasa Indonesia”.
Perdebatan itu sempat ditolak Yamin, tetapi akhirnya diterima dalam Kongres Pemuda II tahun 1928. “Nama bahasa Melayu diganti menjadi bahasa Indonesia selaras dengan pesan yang dititipkan oleh Kongres Pemuda Indonesia Pertama,” tulis Tabrani kemudian.
Selain berperan dalam pergerakan pemuda, Tabrani juga dikenal sebagai wartawan dan pemikir pers nasional. Tahun 1927 ia berangkat ke Amsterdam untuk belajar jurnalistik sambil bekerja di beberapa surat kabar Belanda, lalu melanjutkan studi ke Berlin.
Di sana ia menulis buku Ons Wapen (Senjata Kita), yang membahas peran pers dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Buku itu dianggap sebagai cetak biru pers nasional dan sempat menarik perhatian publik Belanda sebelum akhirnya disita pemerintah Hindia Belanda.
Setelah kembali ke tanah air, Tabrani memimpin majalah Revue Politik dan ikut mendirikan Partai Rakyat Indonesia. Ia juga menjabat ketua Persatuan Djurnalistik Indonesia (PERDI) pada 1933–1940 serta memimpin harian Pemandangan dan majalah Pembangun. Melalui media itu, ia memperjuangkan Petisi Sutardjo yang menuntut hak rakyat Indonesia untuk memiliki parlemen sendiri.
Pada masa pendudukan Jepang, Tabrani sempat dipenjara di Sukamiskin selama setahun karena dianggap menentang pemerintah. Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), aktif di PNI, dan bekerja di Kementerian Penerangan.
Kecintaannya pada pendidikan juga diwujudkan melalui pendirian perguruan Sekolah Kita di Pamekasan pada 1930-an, yang mengajarkan ilmu umum, jurnalistik, hingga bahasa asing dengan biaya terjangkau bagi rakyat kecil.
Menjelang usia senja, Tabrani memilih pensiun dari dunia organisasi dan politik. Namun, ia tetap menulis dan memberi ceramah hingga kesehatannya menurun. Mohammad Tabrani, tokoh muda yang menanamkan benih persatuan dan menggagas lahirnya bahasa Indonesia, wafat pada 12 Januari 1984 dalam usia 79 tahun.
*Tulisan ini merupakan rangkaian kegiatan Merah Muda Fest 2025 untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda 2025 yang akan diselenggarakan Selasa 28 Oktober 2025 di Sekolah Partai DPP PDI Perjuangan Jakarta dan Sabtu 1 November 2025 di GOR Among Rogo Yogyakarta.
#MerahMudaFest