Ikuti Kami

22 Tahun Kudatuli, Henry Yoso: Jangan Belokkan Sejarah

Memang ironi sekali. Kader PDI Pro-Mega yang berada di dalam Kantor PDI, yang diserbu, yang diserang, dianiaya tapi malah jadi terdakwa

22 Tahun Kudatuli, Henry Yoso: Jangan Belokkan Sejarah
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tahun 1996, Megawati Soekarnoputri dalam Mimbar Bebas pasca tragedi Kudatuli 1996 di Kantor PDI - Foto: Youtube DImas Muhammad Erlangga/ITN

Jakarta, Gesuri.id - Sebelum menjadi Anggota DPR RI, Henry Yosodiningrat adalah pengacara kondang yang telah 37 tahun menggeluti profesi advokat. 

Sebagai kader PDI Perjuangan, jauh sebelum dirinya menjadi Anggota DPR dan bergabung bersama PDI Perjuangan, ia menjadi bagian dari saksi sejarah peristiwa kelam, kasus Kudeta 27 Juli tahun 1996 di Kantor Partai Demokrasi Indonesia, Jalan Diponegoro, jakarta Pusat.

Bersama pengacara senior, alm. Robert Odjahan (RO) Tambunan, Henry turut mendirikan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) untuk menegakkan hak-hak politik Partai Demokrasi Indonesia yang diberangus rezim Orde Baru. Kelak, hasil perjuangannya menjadi marwah bagi Reformasi yang bergulir di Indonesia sampai hari ini. Berikut petikan wawancara Gesuri.id bersama Wakil Rakyat dari Daerah Pemilihan Lampung II yang meliputi: Lampung Timur, Lampung Tengah, Lampung Utara, Tulangbawang, Tulangbawang Barat, Mesuji, dan Waykanan itu, Jumat (27/7).

Dari biografi anda, tertulis seorang Henry Yosodiningrat salah satu Pendiri Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan juga Koordinator Tim Pembela Umum Terdakwa Peristiwa Kudatuli tahun 1996, bagaimana awal mulanya bisa menjadi pembela korban dari kasus tersebut?

Sebelum masuk ke PDI Perjuangan, saya merupakan salah satu penggagas Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI). Saya merupakan salah satu yang menggagas dan sebagai pelaksana di lapangan, jadi jauh sebelum bergabung dengan PDI Perjuangan sebelum Pileg 2014, seluk beluk partai ini saya sudah paham.

Ini tak lama setelah terjadi Peristiwa Diponegoro, atau tragedi Kudatuli. Pada waktu itu saya dan RO Tambunan kami baru saja membentuk sebuah lembaga yang namanya Lembaga Keadilan Indonesia (LKI), idenya adalah untuk membentuk sebuah lembaga dengan idealisme bagi rakyat kecil yang butuh keadilan.

Karena pada waktu itu YLBHI sudah menjadi lokomotif politik. Kami ingin agar ada sebuah lembaga yang sesuai dengan ide dasar dibentuknya YLBHI dulu. Karena lembaga itu lagi populer-populernya.

RO Tambunan Ketua Umum, saya Sekjen di LKI. Sekali waktu, pagi, waktu itu belum ada HP atau WA ya. Saya ditelpon RO Tambunan ke rumah, yang intinya bahwa dia baru ditelpon sama Taufiq, katanya begitu. Kemudian diminta Taufiq untuk membantu membela peristiwa Diponegoro. Termasuk peristiwa Kongres PDI di Medan.

Terus saya bilang, Taufiq mana? Di telpon dia belum nyebut Mega. Dia bilang Taufiq Kiemas. Terus saya bilang, ini kan nuansa politisnya kental sekali, Bang. Tapi gimana, Hen, aku ini kader GMNI. Okelah kita ketemu. Ringkasnya kami bertemu berdua di Hotel Indonesia, di sebuah coffeshop namanya Java Room.

Setelah ketemu, saya bilang, Bang kita libatkan semua elemen yang bergerak di bidang profesi advokat. Artinya, kita bentuk sebuah tim. Jadi jangan hanya LKI. Karena ini masalah politik yang kuat. Kita berhadapan dengan sebuah kekuasaan.

Ringkasnya, saya dan RO Tambunan mengumpulkan antara lain: IKADIN, APHI, PUSBADI, termasuk lembaga advokatnya Trimedya Panjaitan, Serikat Pengacara Indonesia (SPI). Terus saya kumpulkan di Sekretariat DPP IKADIN di kantornya Advokat Djohan Jauhari di Jl. Kali Besar, daerah Kota, Jakarta Barat. 

Kenapa namanya TPDI? Apakah ada kaitannya dengan PDI?

Dalam pertemuan itu, kita cari nama tim ini apa. Akhirnya saya yang mengusulkan: Tim Pembela Demokrasi Indonesia. Karena yang kita bela saat itu adalah demokrasi. Bukan membela Partai Demokrasi Indonesia. Jadilah namanya Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI).

Saya selaku Koordinator, untuk Tim Pembela Umum, kemudian setelah dikumpulkan data-data dan bukti peristiwa tersebut, kami semua all out. Banyak advokat. Karena, ada di ruangan ini, terdakwanya ini sekian orang. Pada hari yang sama sidangnya. Pada Sidang Majelis yang lain, di ruangan lain, terdakwanya ini sekian orang. Memang ironi sekali. Orang-orang PDI Pro-Mega yang berada di dalam Kantor PDI, yang diserbu, yang diserang, dianiaya tapi malah jadi terdakwa. Menyedihkan sekali. Dan itu yang membuat jadi tantangan buat saya.

Dalam persidangan, siapa saja tokoh PDI pro Mega yang hadir saat itu?

Setiap persidangan Ibu Megawati selalu hadir berikan support. Kemudian ada Panda Nababan, saya ingat itu. alm. Pak Taufiq Kiemas, kemudian alm. Alex Litaay. Kemudian, setiap habis sidang, saya masih ingat itu, kami makan di Gajah Mada Plaza, ada Restaurant China di lantai atas. Dan advokat yang makan itu cuma saya dan RO Tambunan.

Waktu itu, dari unsur IKADIN, saya masih ingat betul yang kita minta Tumbu Saraswati, kemudian alm. Amin Aryoso. Yang muda-muda, ada kita ajak juga Didi Supriyanto termasuk Trimedya Panjaitan yang mewakili SPI. Dia Ketua Umumnya.

Apa kesan anda waktu itu bisa menjadi Pembela di TPDI?

Ya itulah, peradilan yang cukup melelahkan. TPDI yang membentuk saya dan RO Tambunan. Dari unsur IKADIN nya ada Petrus Selestinus. Mereka saksi-saksi hidup.

Peran kami saat itu dalam TPDI hanya membela kepentingan hukum mereka-mereka yang jadi terdakwa. Kita membongkar siapa dalang dari peristiwa Kudatuli di Kantor PDI, Jalan Diponegoro.

Apa temuan TPDI saat itu?

Waktu itu temuan kami ada indikasi keterlibatan dari KODAM Jaya, Polres Jakarta Pusat, kemudian Menteri Dalam Negeri, Kasospol ABRI Syarwan Hamid.

Harapan sebagai kader PDI Perjuangan atas kejadian kelam tersebut?

Saya berharap, generasi bangsa ke depan, untuk jangan melupakan sejarah (JAS MERAH), apalagi membelokkan sejarah. Itu dalam sekali maknanya. Orang-orang yang menjadi pelaku dan saksi sejarah pada waktu itu, hendaknya tidak melupakan sejarah apalagi membelokkan sejarah. 

Kenapa sampai sekarang belum terungkap?

Ya, memang tidak pernah diungkap.

Terkait kunjungan DPP PDI Perjuangan yang dipimpin Sekjen Hasto Kristiyanto, ke Komnas HAM, saya tidak memiliki wewenang untuk komentar. 

Intinya, sebagai orang yang yang mengonsepkan kesepakatan untuk membentuk tim melakukan pembelaan dan memberikan nama TPDI, dan yang menghubungi sejumlah advokat untuk bergabung, saya berharap kasus Kudatuli ini jadi pelajaran berharga sejarah demokrasi bangsa ini.

Diketahui, setelah peristiwa Kudatuli tersebut, sejumlah elemen masyarakat, aktivis mahasiswa dan penegak hukum (advokat), akademisi, buruh, civil society (LSM) dan kelompok masyarakat lainnya semakin solid serta tersadarkan untuk mendesak rezim Orde Baru segera lengser keprabon.

Quote