Ikuti Kami

Hotel Grand Inna Bali Beach Warisan Ideologi Bung Karno

Hotel ini menyimpan segudang sejarah dan jejak dari sang Proklamator, Soekarno.

Hotel Grand Inna Bali Beach Warisan Ideologi Bung Karno
Suasana lobi Hotel Grand Inna Bali Beach, Sanur, Denpasar, saat pelaksanaan Rakernas III PDI Perjuangan.

Denpasar, Gesuri.id - Jalanan di sepanjang pintu gerbang hingga lobi Hotel Grand Inna Bali Beach, Sanur, Denpasar selama akhir pekan lalu terutama tanggal 23 Februari hingga 25 Februari 2018 bertabur warna merah. Di kanan dan kiri jalan berjajar bendera bergambar banteng bermoncong putih dan bermata merah menyala. Mendekati area lobi, beberapa papan karangan bunga bertuliskan “Rakernas PDI Perjuangan” berjajar rapi dan di depan pintu lobi tergantung spanduk bertuliskan “Selamat Datang Peserta Rakernas III PDI Perjuangan”.

Ya, selama 3 hari PDI Perjuangan tengah menggelar acara Rakernas di Bali, tepatnya di Hotel Grand Inna Bali Beach. Meskipun dihadiri oleh tokoh penting seperti Ketua Umum PDI Perjuangan sekaligus Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri maupun Presiden RI Joko Widodo, suasana penjagaan tak terlalu ketat malah cenderung terbuka. Paspampres, satgas dan pecalang hanya sesekali terlihat berlalu lalang di sekitar area hotel untuk sekadar mengamankan Megawati ataupun Jokowi dari "serbuan" awak media dan juga masyarakat sekitar.

Calon Gubernur Bali I Wayan Koster mengungkapkan beberapa alasan penting mengapa Rakernas III diadakan di Bali. Alasan pertama karena waktu persiapan yang cukup pendek. Selain itu, supaya publik melihat dunia pariwisata di Bali saat ini aman meskipun terdapat erupsi Gunung Agung, sehingga pariwisata Bali bisa segera pulih kembali.

“Ini (pulihnya pariwisata) bisa jadi lebih cepat jika mendapat dukungan dari orang-orang, sehingga mereka melirik kembali bahwa Bali itu sebagai tempat yang aman. Tak ada yang perlu dirisaukan, jadi turis tidak perlu ragu datang ke Bali,” jelas Koster.

Ini bukan kali pertama bagi PDI Perjuangan menggelar acara-acara penting di Bali dan di Hotel Grand Inna Bali Beach. Sebelumnya, Kongres IV tahun 2015 pun diadakan di tempat yang sama. Dan bukan tanpa alasan pula kenapa hotel tersebut selalu dijadikan tempat pertemuan penting, pasalnya Grand Inna Bali Beach ini menyimpan segudang sejarah dan jejak dari sang Proklamator, Soekarno.

Hotel yang dulunya bernama Bali Beach ini merupakan warisan sejarah sekaligus bukti dari kesungguhan Bung Karno untuk mewujudkan visinya dalam dunia pariwisata. Tujuannya apalagi jika bukan untuk membuka mata dunia internasional bahwa Indonesia punya juga punya potensi pariwisata yang tak kalah bagus dari negara-negara maju.

Dalam buku berjudul “Bung Karno Sang Arsitek”, Yuke Ardhiati menuliskan bahwa pada tahun 1958 Soekarno telah berhasil merintis sebuah lobi dengan pemerintahan Jepang dalam upayanya untuk mengambil dana rampasan perang. Hasilnya terwujud dalam Pakta Perjanjian yang berisi bahwa Jepang akan membayar sebesar US $223 juta selama 12 tahun, akan menghapuskan utang niaga Indonesia yang pada saat itu nyaris menyentuh angga US $177 juta, dan akan memberikan bantuan ekonomi sebasar US $400 juta. Pakta Perjanjian itu dibuat jauh sebelum adanya peristiwa Dekrit Presiden tahun 1959.

Dari hasil perjanjian tersebut Bung Karno akhirnya mempersiapkan program-program dana rampasan perang yang dialokasikan untuk pembangunan arsitektural. Ada pun program tersebut menghasilkan beberapa proyek arsitektur, antara lain yaitu Hotel Indonesia (Jakarta), Hotel Bali Beach (Bali), Tonicho Hotel Ambarrukmo (Yogyakarta), Tonichi Samudra Beach Hotel (Bali) dan Tonichi Gedung Wisma Nusantara (Jakarta). Semuanya dikerjakan oleh perusahaan konstruksi Jepang.

Pembangunan Hotel Grand Inna Bali Beach saat itu berbarengan dengan tiga hotel besar gagasan Bung Karno lainnya. Pemilihan lokasi hotel pun tak luput dari analisis Bung Karno yang cerdas melihat peluang. Kala itu pantai di daerah Sanur masih belum menjadi kawasan pariwisata seperti sekarang ini, tapi masih menjadi tempat sakral untuk melakukan upacara adat dan keagaman seperti ngelarung. Hal tersebut yang kemudian dilihat Bung Karno sebagai potensi yang mumpuni untuk menarik para wisatawan baik lokal maupun internasional.

Hotel yang berdiri di atas lahan sebesar 42 hektare ini dibagi menjadi area resort dan cottage, area taman, dan area tower. Dengan luasan seperti itu, Grand Inna Bali Beach pun dikukuhkan menjadi hotel terluas di Bali dan terletak tak jauh dari kediaman pelukis Le Mayeur yang juga merupakan sahabat Bung Karno. Diresmikan pada tahun 1966 saat Bung Karno sedang menjadi tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta, sehingga hotel tersebut diresmikan oleh Sultan Hamengku Buwono IX yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri.

Tidak hanya menjadi salah satu warisan dari Bung Karno, Hotel Grand Inna Bali Beach juga merupakan representasi dari pola pembangunan berdikari yang salah satunya untuk mewujudkan Indonesia yang berkepribadian dan berkebudayaan. Hal itu terwujud dalam desain interior hotel yang sarat dengan budaya Jawa Kuno dan dipadukan dengan international style architecture untuk menampilkan kesan Indonesia yang modern.

Motif padma dari Timur dipadu padankan dengan struktur beton dari Barat sengaja dibuat oleh Bung Karno untuk menghadirkan kearifan lokal sekaligus kebaruan zaman. Ironisnya, meskipun Hotel Grand Inna Bali Beach ini digagas dan dibangun oleh Presiden Pertama RI, Bung Karno sama sekali belum pernah menyambangi hasil gagasannya.

Berbeda dengan hotel kebanyakan yang dikelola oleh swasta, Grand Inna Bali Beach ini dikelola oleh PT Hotel Natour (Persero) yang notabene adalah perusahaan BUMN.

“Sehingga dengan adanya ikut serta begini kan, selain memberi peningkatan pendapatan buat hotel, ini kan juga masuk ke kas negara,” ibuh Koster.

Quote