Ikuti Kami

Ini Kenangan Budiman Usai Peristwa Kudatuli

Budiman mengatakan, karena peran Pendeta Gomar Gultom lah, dirinya dan kawan-kawan lainnya bisa menghindar dari kejaran aparat.

Ini Kenangan Budiman Usai Peristwa Kudatuli
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Penanggualangan Bencana Ribka Tijiptaning (berkacamata hitam) memimpin aksi tabur bunga sebagai bagian memperingati peristiwa kelabu 27 Juli di depan Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Sabtu (27/7).

Jakarta, Gesuri.id - Politisi PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko mengisahkan pengalamannya pasca peristiwa 27 Juli 1996. Kala itu, Budiman yang menjadi buruan aparat rezim Orde Baru sempat disembunyikan selama tiga hari oleh Pendeta Gomar Gultom.

Hal itu diceritakan Budiman dalam acara Diskusi Reflektif & Peluncuran Buku “Bersyukur dalam Karya”, Menapaki Usia 60 Tahun & 33 Tahun Kependetaan Pendeta Gomar Gultom di Gedung PBNU, Sabtu (27/7). 

Baca: 22 Tahun Kudatuli, Henry Yoso: Jangan Belokkan Sejarah

Budiman mengatakan, karena peran Pendeta Gomar Gultom lah, dirinya dan kawan-kawan lainnya bisa menghindar dari kejaran aparat.

"Saat itu, Pendeta Gomar dan istri mau menyediakan rumahnya untuk tempat persembunyian saya dan kawan-kawan. Saya sangat berterima kasih pada beliau hingga sekarang," kata Budiman. 

Setelah tiga hari bersembunyi di rumah Pendeta Gultom, Budiman dan kawan-kawan pun pindah ke tempat persembunyian baru, yakni rumah Benny Sumardi. Benny Sumardi merupakan kakak Sandyawan Sumardi yang kala itu merupakan rohaniwan Katolik sekaligus aktivis sosial. 

"Jadi pak Pendeta Gultom menjadi bagian dari perjuangan saya dan kawan-kawan di masa lalu," kata Budiman. 

Seperti diketahui, pasca peristiwa penyerbuan kantor PDI di Jakarta 27 Juli 1996, rezim Orde Baru menuduh Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang kala itu dipimpin Budiman sebagai dalang kerusuhan. Budiman pun menghindar dari kejaran aparat dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. 

Rumah Pendeta Gultom menjadi salah satu tempat persembunyian Budiman. Namun, Budiman dan kawan-kawan akhirnya tertangkap aparat di rumah Benny Sumardi pada 11 Agustus 1996.

Sementara itu, Pendeta Gomar Gultom mengatakan peristiwa 27 Juli 1996 merupakan bagian dari rangkaian upaya rezim Soeharto untuk melumpuhkan lawan-lawan potensialnya melalui strategi pecah belah. Pendeta Gultom mengatakan tragedi 27 Juli, yang didahului Kongres Medan, merupakan cara rezim Soeharto untuk menghancurkan kekuatan Megawati Soekarnoputri.

Beberapa tahun sebelumnya, lanjut Pendeta Gultom, rezim Soeharto juga melakukan hal yang sama terhadap Gus Dur dalam Muktamar NU di Cipasung pada 1994. Kala itu, rezim Soeharto berusaha mematahkan kepemimpinan Gus Dur dengan memunculkan Abu Hasan.

Baca: PDI Perjuangan Minta DPR Bentuk Pansus Pengungkapan Kudatuli

Bahkan, dua tahun sebelumnya, hal yang sama juga dilakukan pemerintahan Soeharto terhadap Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Pada 1992, pemerintah berusaha mengkudeta kepemimpinan Pendeta Dr SAE Nababan di HKBP melalui pelaksanaan Sinode Godang Istimewa yang memilih ephorus baru, Pendeta Dr PWT Simanjuntak.

"Jadi, upaya pecah-belah itu dilakukan Soeharto terhadap NU, HKBP dan PDI. Namun, seluruh strategi pecah belah itu telah semakin memupuk keberanian kalangan aktivis dan rakyat untuk terus melawan rezim Soeharto, yang puncaknya adalah lahirnya reformasi Mei 1998," kata Pendeta Gomar Gultom, yang kini merupakan Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).

Quote