Ikuti Kami

Budiman Sanggah 20 Tahun Reformasi Dianggap Stagnan

Kekuasaan tak lagi dimonopoli kekuatan yang jahat, korup, tetapi orang yang baik, yang bercita-cita besar dan progresif juga bisa masuk

Budiman Sanggah 20 Tahun Reformasi Dianggap Stagnan
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko

Jakarta, Gesuri.id – Dua dekade sudah berlalu sejak gerakan reformasi Mei 1998. Bulan Mei kerap diperingati dan dikenang dengan penuh suka cita sekaligus duka cita. 20 tahun Reformasi, telah mengubah wajah demokratisasi di Indonesia.

Kebebasan berdemokrasi seluas-luasnya adalah salah satu buah dari Reformasi Mei 1998. Sejumlah pihak menganggap demokrasi kita seperti jalan di tempat, beberapa lain menilai mengalami kemunduran, namun banyak yang optimis demokrasi kita mengalami kemajuan yang pesat.

Kini setelah 20 tahun berlalu, mereka yang pernah menjadi aktivis reformasi banyak yang tetap berjalan dalam koridor politik di Indonesia. Beberapa memilih bergabung dalam partai politik dan menjadi legislator sebagai wakil rakyat, sebagian tetap menjadi aktivis dengan bergiat dalam sejumlah civil society.

Untuk mengenang 20 tahun reformasi, kami berkesempatan mengunjungi salah satu mantan aktivis di kediamannya di Jakarta, Kamis (10/5). Dia adalah Budiman Sudjatmiko. Seorang aktivis sekaligus mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokrat (PRD) yang kini bergabung menjadi anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) pimpinan Megawati Soekarnoputri dan juga anggota Komisi VIII DPR RI.

Meskipun tak sempat menduduki gedung parleman bersama dengan teman-teman aktivis dan mahasiswa lainnya dan hanya bisa menyaksikan lengsernya Soeharto dari balik jeruji penjara sebagai tahanan politik Orde Baru, Iko sapaan akrab Budiman Sudjatmiko, masih terus menjalankan perannya sebagai aktivis. Lalu apa saja yang telah dia lakukan bersama dengan PDI Perjuangan untuk terus menghidupkan nafas reformasi? Benarkah demokrasi Indonesia saat ini mengalami kemunduran? Bagaimana dengan enam tuntutan mahasiswa pasca reformasi, sudahkah terlaksana? Berikut wawancara reporter Gesuri.id dengan Budiman Sudjatmiko setelah 20 tahun reformasi:

Mas Iko, bisa cerita sedikit pengalaman dan sepak terjangnya selama menjadi aktivis? Apa yang membuat anda ingin menjadi seorang aktivis kala itu?

Menjadi aktivis ya? Artinya bukan hanya sekedar menjatuhkan Soeharto ya? Pertama saya jadi aktivis, terutama terlibat dalam demonstrasi ada beberapa macam jenis aktivis yang di kampus. Ada yang memang aktivis pers mahasiswa, ada yang aktivis diskusi mahasiswa, ada aktivis yang demonstrasi saja dan ada aktivis yang melakukan pengorganisasian rakyat. Tidak setiap aktivis itu pernah mengalami keempat-empatnya.

Dari keempat jenis itu, nah saya masuk di tiga kecuali yang press mahasiswa, saya nggak pernah terlibat dalam press mahasiswa. Jadi saya ikut kelompok diskusi, sering bikin makalah atau membahas makalah orang, kemudian demonstrasi tentu saja dan juga saya banyak terlibat dalam pengorganisasian rakyat di desa-desa terutama mengadvokasi petani-petani yang kena kasus tanah, penggusuran. Itu sejak tahun 90an lah ya. Jadi kalau sebagai aktivis diskusi bersama mahasiswa, saya sebenarnya sudah ikut sejak SMA.

Ya karena bagi saya, mengubah Indonesia menjadi lebih baik bukan cuma mengganti presiden yang sudah puluahan tahun berkuasa, tapi juga rakyat harus lebih baik. Bahwa kebebasan demokrasi itu tidak boleh dipisahkan dari upaya membuat rakyat itu merasa selamat, aman, nyaman, kenyang,  cerdas dan bisa hidup rukun antar sesama.

Tidak boleh ada permusuhan antar sesama. Itu obsesi saya, sehingga saya pikir kalau sekedar ikut diskusi atau sekedar ikut demonstrasi, itu menurut saya belum menyentuh akar masalah. Karena akar masalah ada dipenderitaan rakyat, itu masalahnya. Ketidakadilan, kemiskinan dan pemiskinan. Nah, saya memilih untuk mendampingi petani-petani di Cilacap. Saya rutin melakukan kunjungan ke kampung halaman saya. Nggak persis di desa saya, tapi desa-desa di Kabupaten Cilacap. Setiap akhir minggu, biasanya kalau nggak kuliah, kan biasanya jumat sabtu minggu nggak kuliah, kamis sore berangkat ke Cilacap. Kemudian saya juga ke Ngawi Jawa Timur, di sana ada kasus tanah juga.

Jadi bagi saya menjadi aktivis itu bertukar pikiran, mengasah pikiran, ikut mengekspresikan pikiran kita dalam bentuk unjuk rasa dan memberdayakan rakyat, mengajak rakyat juga membuat mereka percaya diri. Bukan kita membela mereka saja, tapi yang paling penting adalah membuat mereka bisa membela dirinya sendiri. Mengajari mereka bagaimana caranya berorganisasi, cara rapat, cara mengkonsolidasikan basis, cara mengajukan tuntutan, bahkan cara demonstrasi, itu kita latih semua gitu ya. Membagi pengetahuan tentang undang-undang agraria, karena saya banyak melakukan pembelaan atas tanah.

Berarti dulu kuliahnya ada hubungannya sama agraria?

Nggak ada sih, saya kuliah ekonomi. Nggak ada hubungannya. Jadi saya belajar apa pun. Di kampus saya belajar ekonomi tapi di luar kagiatan kuliah saya belajar hukum politik, sejarah, filsafat dan segala macam.

Lalu bisa terlibat jauh sekali dengan pergerakan menyangkut agraria bagaimana?

Balik lagi ya ke yang tadi. Nah, itu bertahun-tahun dilakukan dan kita juga menjalin kerjasama dengan berbagai kelompok yang serupa di kota-kota lain, terutama yang ada mahasiswanya dulu. Ada di Solo, Semarang, Bandung, Jakarta, Surabaya. Mereka juga rata-rata melakukan pengorganisasian rakyat, jadi kita kadang-kadang kalau ada kasus tanah yang di luar jangkauan kita, kita ikut membantu melakukan aksi solidaritas dalam bentuk demonstrasi.

Seperti kejadian di Lampung, kita ikut demonstrasi di Jogja. Kadang-kadang juga mengirimkan orang ke sana. Misalnya saya juga pernah melakukan demonstrasi bersama petani Situbondo di Jawa Timur. Jadi menurut saya, sebuah aktivitas untuk mengubah Indonesia harusnya sebuah aktivitas yang komperhensif, yang holistik. Mulai dari berpikir, bernalar sampai menguji nyali sampai juga menguji kesabaran kita dalam melakukan pengorganisasian, semuanya. Lalu kemudian kita berpikir, wah nggak bisa kalau cuma sekedar ini terus, harus juga ada gerakan nasional yang rapih.

Yang akhirnya pada waktu itu saya bikin PRD (Partai Rakyat Demokrat) dengan teman-teman, bikin Persatuan Perjuangan Buruh Indonesia, bikin Serikat Tani dan segala macam. Banyaklah, macam-macam, sampai kita mengkonsolidasikan ke dalam PRD. Karena kita ingin rakyat diberdayakan, diadvokasi kalau ada masalah, menguji nalar dalam bentuk berdiskusi, debat dan pada akhirnya ya kekuasaan harus diubah juga. Kita bikin PRD secara terus terang mengatakan bahwa Orde Baru harus segera berakhir. Sudah kelamaan nih berkuasa. Harus ada perubahan.

Berarti dengan latar belakang pergerakan aktivis seperti ini, sekarang anda ada di kursi parleman tujuannya untuk membuat Indonesia lebih baik?

Oh iya, iya. Bagi saya itu tujuannya. Menjadi parlemen, menjadi aktivis, menjadi penerus itu hanya cara saja. Saya lakukan itu sesuai dengan jaman saja. Karena tidak ada satu cara yang berlaku disemua jaman, disemua era.

Nah karena sekarang sudah era demokrasi, di mana kekuasaan bukan lagi dimonopoli kekuatan-kekuatan yang jahat, yang korup, tetapi orang-orang yang baik, yang bercita-cita besar dan progresif juga bisa masuk dalam kekuasaan. Nah saya ketika masuk PDI Perjuangan, memutuskan untuk masuk ke DPR RI dan memperjuangkan apa yang menjadi fungsi DPR yang membuat undang-undang, membuat pengawasan jalannya eksekutif pemerintahan dan juga fungsi anggaran, bagaimana dari sebuah kebijakan yang sudah kita sepakati bersama dengan pemerintah berdasarakan undang-undang yang ada kita biayai.

Ini sudah 20 tahun setelah reformasi, dulu ada beberapa tuntutan dari mahasiswa ketika hendak menggulingkan Orde Baru, apakah seluruh tuntutan itu sudah terlaksana?

Belum. Belum semuanya tercapai. Yang sudah tercapai itu otonomi daerah, amandemen konstitusi, pencabutan dwifungsi ABRI. Kemudian pemberantasan KKN yang saat ini sudah ada lembaganya yaitu KPK yang artinya sudah dimulai institusi untuk memberantas itu, kalau hasilnya belum maksimal ya karena ini pelakunya banyak dan melahirkan pelaku-pelaku baru juga masalahnya.

Yang 30 tahun itu juga belum selesai, pelaku-pelaku lama, korupsi-korupsi lama belum selesai, nah kejahatan-kejahatan korupsi serupa dilakukan oleh pelaku-pelaku yang baru  juga terjadi. Ya memang memang berat tugasnya, tapi kan sudah amanat. Mau gimana lagi? Saya pikir itu adalah hal yang paling realistis tapi akan terus kita perkuat, karena itu KPK.

Kemudian pengadilan kepada Soeharto dan kroni-kroninya, itu belum terjadi. Bukan sekutu politiknya ya, nggak masalah. Kalau sekutu politik pernah berpihak pada Pak Harto bukan sebuah kejahatan ya. Pernah berpihak pada Pak Harto itu bukan sebuah kejahatan. Tapi kalau berpihak pada korupsi dan melanggar HAM itu kejahatan. Paham ya?

Bagaimana dengan penuntasan dan pengusutan kejadian Trisakti dan juga aktivis-aktivis yang hilang?

Oh itu bagian yang bahkan sudah masuk tim rekomendasi DPR. Itu sudah direkomendasikan untuk segera diusut. Harusnya segera.

Ini kan sudah lama sekali, dua dekade sudah berlalu, tapi kenapa masih belum ada titik terang? Pemerintah seperti abai.

Nah ini kan sebenarnya sudah ada tim rekomendasinya itu dilakukan di DPR dan bahkan waktu itu ketuanya Pak Effendi Simbolon dari PDI Perjuangan untuk memprioritaskan penuntasan pencarian korban di mana, kalau memang masih hidup di mana di tahannya sampai sekarang. Kalau memang sudah dibunuh, meninggal, ya ditunjukkan di mana mereka di kuburkan. Atau diapapun kan lah, kita nggak tahu juga akhir nasib persisnya. Tentu ini menjadi PR dari pemerintah-pemerintahan pasca reformasi dan Pak Jokowi harus juga ikut menuntaskan ini.

Kita harapkan pada periode ke dua bisa terselesaikan. Mungkin tidak semua kasus pelanggaran HAM, karena memang banyak banget di jaman Orde Baru, tapi ada beberapa contoh yang bisa dimunculkan sebagai sebuah sinyal bahwa memang ada upaya penuntasan dan pengusutan itu.

Saya pernah berbicara kepada beliau (Jokowi) dan Pak Jokowi sudah punya konsep mana yang harus diselesaikan secara hukum, mana yang harus diselesaikan dengan pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi tanpa ada tindakan hukum. Hal itu menurut saya merupakan sebuah sinyal bahwa Pak Jokowi sudah punya visi itu.

Berarti bisa dikatakan di Pemerintahan Jokowi masalah pelanggaran HAM dan kasus orang hilang sudah menjadi concern?

Iya, ada concern untuk masalah itu.

Jadi ada kemungkinan jika Jokowi kembali terpilih menjadi Presiden RI, hal itu menjadi salah satu agenda?

Salah satunya itu menjadi agendanya.

Banyak yang mengatakan pasca reformasi, demokrasi di Indonesia jalan di tempat bahkan mengalami kemunduran, benar?

Enggak. Kata siapa? Indonesia, demokrasinya jalan cepat, bahkan lebih mengesankan dari berbagai negara yang pernah mengalami demokratisasi dan kemudian malah mandeg.

Di Amerika Serikat saja pemilihan presiden aja nggak langsung lho! Mereka itu pakai electoral collage atau apa lah namanya. Jadi pemilihan itu bukan per-individu per-suara, tapi dihitung per negara bagian. Contoh kemarin pilpres AS, Hillary Clinton itu popular vote seluruh Amerika lebih banyak daripada Trumph, tapi jumlah suara dikumpulkan per negara bagian itu justru lebih banyak Trumph.

Di Indonesia kan nggak seperti itu, nggak ada urusan. Langsung per individu. Tinggal di provinsi mana pun, di kabupaten kota manapun sama. Jadi menurut saya, mulai dari kepala negara, kepala daerah sampai kepala desa langsung semua. Pemilihan legislatif pun seperti itu, langsung.

Itu kan menunjukan bahwa dari aspek pelaksanaan demokrasi, kedaulatan oleh rakyat, kita ini salah satu yang dicontoh. Bahwa kemudian rakyat memilih ada yang korup, ada yang nggak becus atau melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM atau melakukan kejahatan domestik atau apa pun, itu soal lain. Itu berarti soal edukasi politik pada rakyat, bukan soal institusionalisasi demokrasi prosedural. Kalau demokasi proseduralnya sudah bagus. Peran nyatanya sudah ada Mahkamah Konstitusi yang dilahirkan pada jaman ibu Megawati Soekarnoputri. Di mana segala sesuatu itu diukur, undang-undang itu diukur dari kebenaran konstitusi, bukan sekedar voting di DPR. Bisa saja voting menang, tapi ternyata diuji di MK kalau ada yang keberatan, satu saja warga Indonesia yang keberatan karena melihat ada ketidaksingkronan dengan UUD, itu bisa diajukan ke MK. Selama dan sejauh ada yang protes ya!

Itu menarik bagi saya. Berarti bahwa produk politik mayoritas pendukung sebuah produk politik UU pun bisa dibatalkan jika dia tidak sesuai dengan UU dan jika ada satu saja warga negara yang protes, ya batal. Ini kan luar biasa, dari ratusan juta orang, satu warga negara bisa menggugat ke MK saat dia melihat ada satu pasal atau satu ayatnya yang  bertentangan dengan UUD. Artinya pasal itu, ayat itu bisa diubah dan diganti. Kalau nggak salah ada satu UU Koperasi itu semuanya diganti.

Ini jadi menurut saya sebuah kemajuan, bahwa produk demokrasi belum tentu benar tapi kehebatan demokrasi adalah dia bisa mengkoreksi apa yang salah.

Tapi kan nggak banyak orang yang paham dan tahu tentang ini?

Ya memang dalam digio kenegaraan itu satu UU itu diasumsikan semua warga negara itu tahu. Ya tentu ada kewajiban untuk mensosialisasikannya. Tapi masih dari beratus-ratus juta orang nggak ada satu pun yang tahu sih bahwa sesuatu itu layak digugat atau tidak.

Saya kira itu juga mendorong kita menyadari bahwa pendidikan politik itu menjadi penting. Itu skala tugas yang paling mendesak setelah 20 tahun reforamasi, setelah pranata-pranata demokrasinya terbangun, maka karakter manusia demokratisnya juga harus dibangun. Salah satunya melalui pendidikan politik yang demokratis.

Ada yang mengatakan banyak aktivis-aktivis dulu yang sekarang bergabung dengan parpol justru lebih berpihak kepada parpol dan kehilangan nyawanya sebagai seorang aktivis, benarkah demikian?

Pertama, kata-kata itu saparuh benar. Tapi apakah berpihak pada partai itu berarti mengkhianati idealisme seorang aktivis, itu lain soal. Benar ikut partai, tapi apakah ikut partai itu selalu melawan idealisme?! Itu penting. Artinya begini, kalau keputusan partai itu salah pasti iya, tapi kan permasalahannya kita ini bukan anggota pasif di parleman atau di partai. Kita punya gagasan juga, yang kita bawa dari pengalaman dan idealisme kita, bacaan kita untuk kita bawa ke dalam forum partai.

Itu saya alami. Selama di PDI Perjuangan, tentu tidak semua keputusan PDI Perjuangan itu benar dan tepat dilihat idealisme aktivis. Tapi beberapa keputusan, setidaknya dalam pengalaman saya, kan kemarin-kemarin saya ada di komisi II di DPR. Komisi II itu artinya pemerintahan dalam negeri, agraria, pemilu. Artinya, idealisme sebagai aktivis saya tuangkan, saya wujudkan dalam segala produk perundang-udangan dan kebijakan yang ada hubungannya dengan Komisi II.

Contohnya gagasan tentang pilkada langsung, PDI Perjuangan setuju dengan itu. Tapi di dalamnya ada perdebatan juga ya. Apakah ini perlu atau enggak, langsung atau enggak. Tapi kita sebagai orang yang ngerti dan bahwa ini sesuai dengan syarat demokrasi ya kita perjuangan dan itu jadi keputusan partai. Partai memutuskan, fraksi memutuskan dan saya ikut. Saya ikut menyumbangkan pemikiran pada saat itu.

Bagi saya, seorang aktivis masuk partai itu dianggap mengkhinati kalau dia tidak terlibat dalam merumuskan kepentingan partai. Pasif aja udah, diem. Yang penting dapat gaji, dapat tunjungan, nggak ngomong. Partai memutuskan apa, dia diam saja, iya aja. Atau gini, kalau partai sudah memutuskan, fraksi sudah memutuskan ya memang harus dilaksanakan. Namun, sebelum itu kan ada proses yang namanya rembug (diskusi). Nah, diproses itulah kita tuangkan pikiran kita, argumentasi kita, dalih-dalih kita. Di situlah kita bertarung di dalam partai. Nah, kalau kita rajin, dalam pengalaman saya, rajin dalam pengertian tidak harus cerewet ya, tapi ketika ada satu keputusan krusial kita ngomong. Tidak pada semua hal tentunya harus dikomentari, tapi pada hal-hal yang memang kita paham argumentasinya dan ini butuh melanggar prinsip-prinsip paling dasar, ya kita ngomong. Kalau yang lain barangkali masih ada tak tik, masih ada kompromi segala macam, tapi kalau yang krusial yang jangan dilewati.

Di situlah idealisme sebagai seorang aktivis itu harus kita uji. Makanya ketika kita merasa ada yang perlu untuk diperjuangkan, ya kita perjuangankan itu. Dalam pengalaman saya, yang sebenarnya nggak terlalu banyak ngomong juga, di dalam beberapa isu tertentu yang krusial dan saya ngomong, ternyata didengarkan kok dan kemudian keputusan itu dibuat nyaris sesuai apa yang menjadi pikiran-pikiran saya dan kemudian setelah diputuskan saya ikut dalam keputusan partai. Tapi dalam perumusannya yang panjang, saya ikut perdebatannya.

Makanya saya kasih pernyataan bahwa aktivis ikut partai, itu separuh benar tapi tidak melawan kebenaran. Karena keputusan partai itu juga adalah hasil dari perdebatan dan saya alami itu. Di beberapa isu misalnya, ada isu rame. Kemdian di dalam fraksi atau partai ada pro kontra, misalnya seperti waktu itu ada tawaran kenaikan tunjuangan anggota DPR. Ada yang setuju ada yang enggak. Itu kami ngobrol sebelum diputuskan. Kalau pun misalnya ada anggota partai yang setuju lalu ngomong di media padahal belum diputuskan, ya it’s okay itu dinamika atau sebaliknya. Toh dia tidak melanggar keputusan partai, kan partai juga belum memutuskan apa pun. Kalaupun kemudian ada polemik di media tentang ini atau kemudian internal debat di dalam fraksi kemudian disampaikan oleh Ketua Umum atau DPP dan kemudian partai memutuskan tidak ada kenaikan tunjuangan.

Ada banyak sebenarnya, saya nggak bisa sebutkan satu-satu tapi ada di mana ikut garis partai separuh benar. Tapi garis partai itu kita juga ikut memutuskan. Itu aja. Tapi ya harus saya akui, apa yang dikatakan tentang aktivis hanya berpihak pada partai itu ada separuh benarnya. Karena memang ada juga yang hanya diam.

Tadi anda kan sempat menyinggung mengenai pentingnya pendidikan politik. Pasca reformasi seperti ini, seberapa penting sih pendidikan politik itu? Dan darimana kita bisa memulainya?

Formalnya dari bangku sekolah atau oleh parpol. Tapi sebenarnya secara informal sebagai sebuah gerakan dilakukan sehari-hari di mana pun dan kapan pun. Media-media yang menyiarkan berita dengan benar, tidak memprovikasi itu adalah bagian dari pendidikan politik yang benar. Itu bagian dari demokrasi. Jadi jangan berpikir, aah karena ini demokrasi kita ribut atau bising. Itu kita meributkan sesuatu yang memang harus dijelaskan. Harus dijelaskan sampai detail. Karena demokrasi tanpa perdebatan, tanpa tradisi debat dalam masyrakat itu adalah demokrasi kuburan. Sepi-sepi aja. Semua setara di kuburan tapi sepi-sepi saja.

Dan ini harus ditradisikan sejak dini, kalau perlu dengan anak-anak kecil. Bahkan ada beberapa negara yang sudah menerapkan tradisi berdebat sejak kecil. Berdebat tentang apa pun. Ketika seorang anak sering melakukan pertanyaan dimulai dengan kata kenapa dan diikuti bagaimana, itu artinya anak itu siap untuk menampung ilmu apa pun, dengan inisiatif sendiri, mencarinya kalau perlu. Apalagi teknologi sekarang dengan media sosial sudah lebih memudahkan sekarang ini dan ini harus dimaksimalkan. Saya kira itu ya, pertanyaan kenapa dan bagaimana itu menjadi penting, bukan hanya sekedar apa.

Sebagai aktivis pada jamannya, bagaimana mas Iko melihat para aktivis-aktivis sekarang ini?

Nggak ada masalah ya saya lihatnya. Sejauh mereka tidak melakukan tindak pindana lho ya. Memang belum tentu benar apa yang menjadi tuntutan mereka, tapi hak mereka untuk berekspresi jangan dimatikan.

Ya sejauh ini saya melihat mereka masih on the track lah, asal ya itu tadi, tidak melakukan tindakan pidana atau kekerasan ya saya kira tidak ada masalah. Tapi pemerintah juga harus bisa menjelaskan bahwa programnya itu seperti apa, beri pengertian juga lah.

Saya juga melihat aktivis-aktivis ini ada yang sebagian masih murni dan itu masih banyak, saya tahu itu. Belum tentu benar semua tuntutannya, belum tentu legitimate tetapi mereka masih punya good intention, niat baik. Bisa jadi naif tapi saya sih menghargai niat baik mereka. Asal setelah itu diikuti dengan pemahan sehingga kemudian bisa berdebat dengan pemerintah. Misalnya, berdebat dengan pemerintah kenapa menolak bandara NYIA (New Yogyakarta International Airport) dan pemerintah juga harus bisa menjelaskan. Kemudian kenapa harus ada ganti rugi yang memadai, itu penting. Karena sebaik apa pun proyek fasilitas umum kalau ada yang diributkan hak-hak asasinya rakyat itu nggak boleh, tapi mahasiswa atau aktivis-aktivis ini juga harus kuat argumentasinya, harus bisa juga menjelaskan.

Setelah 20 tahun reformasi ada harapan tersendiri dari seorang Budiman Sudjatmiko untuk Indonesia kedepannya?

Harapan tersendiri ya. Saya selalu bilang gini, saya suka sama kata-kata Mark Twin yang mengatakan bahwa 20 tahun dari sekarang kamu akan lebih menyesali apa yang tidak kamu lakukan daripada apa yang kamu lakukan.

Artinya begini, jika ada sesuatu yang kamu anggap benar, lakukan atau katakan. Mungkin kamu akan disalahkan sekarang, mungkin kamu akan dikalahkan sekarang, dan mungkin orang jadi takut disalahkan atau dikalahkan akhirnya mereka memilih untuk diam. Tapi 20 tahun lagi kamu akan menyesal, kenapa dulu aku nggak melakukan itu ya? Kenapa dulu aku nggak mengatakan itu?! Jadi kamu akan lebih menyesal karena kamu tidak melakukan sesuatu 20 tahun yang lalu. Ketimbang menyesal, aduh kenapa dulu aku melakukan ini ya?! Nggak ada itu!

20 tahun lagi apa yang kamu anggap sebagai sebuah kesalahan yang pada akhirnya kamu disalahkan atau kamu dikalahkan, itu kamu nggak akan menyesal. Seperti tahun 2016, saya mengingat peristiwa 27 Juli 1986, 20 tahun yang lalu, yang membuat saya mendukung bu Mega kemudian dituduh melakukan kerusuhan dan masuk penjara. 2016 saya mengingat apa yang terjadi 20 tahun lalu, ternyata saya tidak menyesali sejengkal pun apa yang saya lakukan pada waktu itu. Justru saya mikir, untung saya melakukan itu.

Nah, kalau misalnya tahun 2016 atau 2018, saya mengenanng apa yang terjadi di tahun 98 atau 96. Dan kamu pada saat itu padahal mampu, padahal ada kesempatan, tapi cuma diam saja, pasti mikir kemana ya aku pada saat lompatan sejarah itu? Ketika orang-orang sebaya ku yang satu pikiran dengan ku memutuskan sesuatu, entah mereka berhasil atau gagal, tapi aku nggak ikut, terus apa yang harus aku banggakan apa yang harus aku sesali. Nah, satu-satunya yang harus kamu sesali adalah bahwa kamu tidak melakukan apa-apa padahal kamu sanggup melakukannya, ada kesempatan melakukannya.

Kalau ditanya harapan saya kedepannya setelah 20 tahun reformasi adalah anak muda pikiran hal-hal yang impposible dalam imajinasi-imajinasi terliarmu tentang society, tentang Indonesia, tentang dunia. 20 tahun lalu siapa sih yang menyangka kalau kita bisa ngomong real time dengan orang dari belahan dunia mana pun lewat Whatapp, twitter. Nah, 20 tahun kedepan kita harus memikirkan hal-hal yang impposible. Bukan karena kamu tidak realistis. Realistis itu artinya get a real, menjadilah realistis sesuai dengan kenyataan. Nah, kenyataan kan bukan sesuatu yang mandeg (berhenti), 20 tahun lagi kenyataan tidak hanya bergerak tapi melompat-lompat. Saya ingin Indonesia seperti itu.

Quote