Ikuti Kami

Andreas Hugo Singgung Rangkaian Pelanggaran HAM Selama Kekuasaan Orba 

Andreas menekankan bahwa proses penetapan Pahlawan Nasional harus berjalan secara transparan, inklusif, dan berbasis pada kriteria objektif.

Andreas Hugo Singgung Rangkaian Pelanggaran HAM Selama Kekuasaan Orba 
Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira.

Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira menyinggung soal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di masa kekuasaan rezim Orde Baru, pemerintahan Soeharto.

Andreas menegaskan, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh-tokoh bangsa merupakan bagian penting dari upaya menjaga kesinambungan sejarah dan membangun kebanggaan nasional.

“Oleh karena itu, keputusan yang menyangkut figur publik dengan catatan sejarah pelanggaran HAM seperti Soeharto harus ditempatkan dalam kerangka objektivitas moral dan etik bernegara demi menjaga harkat dan martabat pendidikan kebangsaan,” kata Andreas Hugo Pareira, Senin (10/11).

Baca: Ganjar Tegaskan Pemuda Harus Benar-benar Siap

Seperti diketahui, Presiden Prabowo Subianto akan mengumumkan nama-nama tokoh yang dianugerahi gelar pahlawan nasional hari ini bertepatan dengan perayaan Hari Pahlawan, 10 November ini. Terdapat 10 nama tokoh yang dianugerahi gelar pahlawan nasional untuk tahun 2025.

Menurut Mensos Syaifullah Yusuf atau Gus Ipul, 10 tokoh yang akan diberi gelar Pahlawan Nasional itu berasal dari 40 usulan baru serta 9 dari usulan sebelumnya yang belum ditetapkan oleh Presiden. Ia menyebut pemberian gelar pahlawan nasional ini sudah melalui proses panjang yang sesuai aturan.

Dari 49 nama tersebut, terdapat sosok Presiden RI ke-2 Soeharto serta aktivis buruh Marsinah. Selain itu adapula nama Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Terkait pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto, Andreas menekankan bahwa proses penetapan Pahlawan Nasional harus berjalan secara transparan, inklusif, dan berbasis pada kriteria objektif yang diatur dalam undang-undang.

“Masyarakat berhak mengetahui bagaimana sebuah nama diajukan, apa kontribusi yang menjadi dasar pengakuan, dan sejauh mana peran tersebut memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi bangsa dan negara,” ungkapnya.

Andreas juga menyebut Pemerintah perlu memastikan prosesnya terbuka dan akuntabel agar tidak menimbulkan tafsir politis.

“Jangan sampai pemberian gelar Pahlawan Nasional hanya demi kepentingan politik atau kepentingan kelompok tertentu karena akan mencederai rasa keadilan bagi rakyat Indonesia,” sebut Andreas.

Pimpinan Komisi HAM DPR ini pun mengingatkan pentingnya semua pihak memperhatikan jejak sejarah. Andreas kemudian menyinggung tentang banyaknya tudingan pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto, baik sebelum dan selama ia menjabat sebagai Presiden puluhan tahun lamanya.

Baca: Ganjar Ajak Kader Banteng NTB Selalu Introspeksi Diri

“Pahlawan Nasional bukan sekadar gelar kehormatan, tetapi cermin nilai dan arah moral bangsa. Karena itu, setiap keputusan negara dalam memberikan penghargaan ini harus mempertimbangkan semangat persatuan, rekonsiliasi, dan pembelajaran bagi generasi muda,” tutur Legislator dari Dapil NTT I itu.

“Kita tidak boleh lupa bahwa Soeharto punya jejak sejarah kelam, yang sudah menjadi pengetahuan umum, khususnya dalam hal pelanggaran HAM dan praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) selama ia memimpin negeri ini,” imbuh Andreas. 

Andreas kemudian menyinggung sejumlah kasus pelanggaran HAM yang ditudingkan kepada Soeharto. Hal ini berdasarkan laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang juga menyebut setelah Orde Baru berakhir pada 1998, tuntutan untuk mengungkap dugaan terjadinya pelanggaran berat HAM masa lalu banyak bermunculan.

Setidaknya ada 10 kasus pelanggaran HAM yang diduga dilakukan Soeharto saat berkuasa menurut catatan Kontras. Pertama tindakan kejahatan kemanusiaan di Pulau Buru pada 1965-1966 saat Soeharto bertindak sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang disingkat Pangkoops Pemulihan Kamtub.

Quote