Ikuti Kami

Dewan Pembina Megawati Institute Ingatkan Danantara Harus Jadi Mesin Pertumbuhan, Bukan Sekadar Pengelola Aset

Darmadi Durianto, menilai keberhasilan Danantara tidak boleh diukur hanya dari besaran aset yang dikelola atau dividen yang dihasilkan

Dewan Pembina Megawati Institute Ingatkan Danantara Harus Jadi Mesin Pertumbuhan, Bukan Sekadar Pengelola Aset
Dewan Pembina Megawati Institute, Darmadi Durianto.

Jakarta, Gesuri.id - Pembentukan Danantara dinilai sebagai momentum penting bagi perubahan arah pembangunan ekonomi nasional. Namun, lembaga ini diperingatkan agar tidak berhenti sebagai pengelola aset negara semata, melainkan diarahkan menjadi instrumen pencipta pertumbuhan ekonomi baru.

Dewan Pembina Megawati Institute, Darmadi Durianto, menilai keberhasilan Danantara tidak boleh diukur hanya dari besaran aset yang dikelola atau dividen yang dihasilkan.

“Negara boleh mengelola aset sebesar apa pun. Tetapi tanpa keberanian mengubah struktur ekonomi, yang tumbuh hanyalah angka—bukan kemajuan,” ujar Darmadi Durianto.

Menurut Darmadi, pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa kepemilikan aset besar tidak otomatis menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Faktor penentunya justru terletak pada arah kebijakan dan keberanian politik dalam memanfaatkan aset negara untuk mendorong industrialisasi dan inovasi.

Baca: Darmadi Durianto Terima Audiensi Warga Sunter Jaya

Ia merujuk pada teori pertumbuhan endogen yang dikembangkan ekonom Philippe Aghion dan Peter Howitt, yang menekankan bahwa pertumbuhan jangka panjang hanya dapat dicapai melalui inovasi berkelanjutan, riset, serta persaingan usaha yang sehat.

Pandangan tersebut, kata Darmadi, relevan dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Meski pertumbuhan ekonomi relatif stabil, produktivitas nasional dinilai masih tertinggal.

Kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) berada di kisaran 18–19 persen, jauh menurun dibandingkan era 1990-an yang pernah melampaui 27 persen. Sementara itu, belanja riset dan pengembangan (R&D) nasional masih sekitar 0,3 persen dari PDB.

Dalam konteks itu, Darmadi menilai posisi Danantara berada di titik penentuan.

“Jika Danantara hanya berfungsi sebagai financial holding atau alat stabilisasi jangka pendek, dampaknya terhadap struktur ekonomi akan sangat terbatas,” katanya.

“Namun jika diarahkan sebagai instrumen kebijakan industri aktif, Danantara bisa menjadi pengungkit transformasi ekonomi yang selama ini absen.”

Ia juga mengingatkan bahwa target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang kerap disampaikan pemerintah tidak akan tercapai tanpa perubahan struktural yang mendasar.

“Tanpa Danantara yang berani memaksa inovasi, target pertumbuhan 8 persen bukan mimpi besar, melainkan ilusi yang akan diwariskan dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya,” tegas Darmadi.

Lebih lanjut, Darmadi menyoroti peran negara dalam pengalaman negara-negara yang berhasil melakukan industrialisasi, seperti Korea Selatan dan Taiwan. Menurutnya, negara-negara tersebut tidak menyerahkan sepenuhnya arah pembangunan pada mekanisme pasar, melainkan menjalankan kebijakan industri yang disiplin dan menuntut kinerja.

Dalam konteks Indonesia, ia menilai kebijakan industri selama ini terlalu sering berhenti pada proteksi dan insentif umum tanpa kewajiban inovasi yang jelas, sehingga berisiko menciptakan ekonomi rente.
BUMN, menurut Darmadi, menjadi contoh paling nyata. Banyak BUMN besar dari sisi aset, tetapi masih lemah dari sisi inovasi. Belanja R&D BUMN rata-rata masih di bawah 1 persen dari pendapatan, jauh tertinggal dibandingkan perusahaan global seperti Samsung atau Huawei.

“BUMN tidak boleh lagi hanya besar secara neraca dan politik. Ia harus dipaksa besar secara teknologi dan produktivitas,” ujarnya.

Karena itu, Darmadi mendorong perubahan indikator kinerja BUMN. Selain laba dan dividen, ukuran keberhasilan harus mencakup belanja R&D, jumlah paten, penguasaan teknologi, substitusi impor bernilai tinggi, serta ekspor produk industri berteknologi menengah hingga tinggi.

Baca: Darmadi Ingatkan Garuda Sudah Empat Kali Dapat Tambahan

Ia juga mendorong peningkatan belanja riset dan pengembangan nasional secara bertahap menuju minimal 1 persen dari PDB. Dengan PDB Indonesia sekitar Rp20.000 triliun, kebutuhan dana riset diperkirakan mencapai Rp200 triliun per tahun.

“Tanpa keberanian menaikkan belanja riset dan memaksa inovasi, target pertumbuhan tinggi hanya akan hidup di pidato, bukan di pabrik dan laboratorium,” kata Darmadi.

Meski demikian, ia mengingatkan bahwa transformasi ekonomi berbasis inovasi tidak boleh mengabaikan dampak sosial. Negara, menurutnya, harus hadir mengelola transisi melalui pendidikan vokasi, pelatihan ulang tenaga kerja, dan jaring pengaman sosial.

“Negara Pancasila bukan negara yang takut perubahan, tetapi negara yang memastikan perubahan berjalan adil dan manusiawi,” ujarnya..

Darmadi menegaskan, Danantara akan menjadi catatan penting dalam sejarah ekonomi Indonesia.

“Danantara akan dicatat sejarah bukan dari besar kecilnya aset yang dikelola, tetapi dari keberaniannya memaksa Indonesia keluar dari ekonomi nyaman menuju ekonomi berdaya saing,” pungkasnya.

Quote